6.

514 98 14
                                    


"Gue boleh masuk atau nggak?" tanya Mavendra sambil menatap Aurora yang berdiri di sampingnya.

"Nggak terima tamu," jawab Aurora dengan nada datar.

"Gue bukan tamu, Ra. Gue cuma mau pamit sama Mamah lo doang." Mavendra mulai turun dari motor, namun segera ditahan oleh Aurora.

"Kenapa?" tanya Mavendra heran.

"Pulang!" Aurora sengaja mengusirnya.

"Kenapa, sih, Ra? Kenapa gue nggak boleh pamitan sama Mamah lo? Gue cuma nggak enak aja, udah nganterin lo sampai kesorean."

"Nggak usah, pulang aja."

"Gue nggak mau pulang sebelum ketemu sama Mamah lo."

"Ven!"

"Apa?"

"Pulang!"

"Kalau gue nggak mau, emang kenapa?"

"Gue panggil satpam."

"Silakan." Mavendra tersenyum tipis, merasa tertantang.

Aurora mendengus kesal. Cowok di depannya ini memang keras kepala. "Terserah lo!" ucapnya sambil melangkah cepat menuju gerbang rumah.

Mavendra yang melihat Aurora masuk ke dalam gerbang segera melebarkan matanya, lalu cepat-cepat turun dari motor dan berlari menyusulnya.

Begitu berhasil menyamai langkah Aurora, Mavendra tersenyum lebar dan segera melepas sepatunya, mengikuti apa yang dilakukan Aurora.

"Ngapain?" tanya Aurora dengan alis terangkat.

"Mau masuk," jawab Mavendra dengan senyum penuh kemenangan.

"Nggak boleh!"

"Gue udah lepas sepatu, Ra. Masa lo tega banget sama gue?"

"Drama banget, sih, lo."

Mavendra mengerucutkan bibirnya. "Nggak apa-apa. Walaupun lo nggak bolehin gue masuk, gue tetap bakal masuk."

"Ada, ya, orang kayak lo?" Aurora menggeleng prihatin, lalu melangkah masuk ke rumahnya, sementara Mavendra mengekor di belakangnya.

Di ruang tamu, Aurora melihat Mamahnya yang sedang menonton televisi. Mereka saling memandang sejenak.

"BARU PUL—" Ambar berteriak, namun suaranya langsung terpotong begitu melihat seseorang di belakang anaknya. Wajahnya yang semula tampak galak tiba-tiba berubah menjadi ramah. "Eh, kamu bawa siapa?" tanya Ambar dengan lembut.

Aurora hanya mengedikkan bahu. "Nggak tau."

"Loh, kok nggak tau, sih? Eh, silakan duduk dulu. Aurora, ambilin dia minum."

Mavendra tersenyum dan duduk di sofa, sementara Aurora, dengan ekspresi datarnya yang biasa, berjalan menuju dapur untuk membuatkan minuman. Dia sudah terbiasa dengan sikap Mamahnya, jadi tidak lagi merasa heran.

Setelah selesai menyiapkan minuman, Aurora kembali ke ruang tamu. Di sana, dia melihat kedua orang itu tertawa terbahak-bahak, entah membicarakan apa.

"Duduk dulu, Ra," kata Mavendra saat melihat Aurora hendak pergi.

"Iya, duduk di sini dulu. Masa ada pacar kamu, kamunya malah pergi," tambah Ambar sambil tertawa.

Aurora mengerutkan dahinya, lalu menatap Mavendra dengan tajam. "Gue bukan pacar lo!" ucapnya dengan penekanan yang jelas.

"Nggak boleh gitu, Ra. Eh, kamu tahu nggak, Nak Mavendra? Aurora itu sebenarnya anaknya manja, loh. Dia selalu manja sama Mamahnya. Nggak manja selama satu hari aja, dia pasti nangis—"

Aurora tertegun. Apa yang barusan diucapkan oleh Mamahnya?

Kapan? Kapan dia pernah manja dengan Mamahnya? Kapan? Bahkan, kasih sayang saja ia tak pernah merasakannya.

Merasa tidak tahan lagi, Aurora berlari menuju kamarnya, mengunci pintu dari dalam, dan menangis. Hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Aurora kenapa, Tan?" tanya Mavendra bingung.

Ambar tertawa canggung. "Eng—nggak, dia nggak kenapa-kenapa kok. Mungkin dia cuma malu aja."

Mavendra mengangguk pelan.

"Nak Maven mau pulang kapan? Udah sore, loh. Apa nggak dicariin sama Mamah kamu?" tanya Ambar.

"Iya, Tan. Kalau begitu, saya pulang dulu, ya?" Mavendra tersenyum ke arah Ambar.

"Iya. Hati-hati, ya, Nak Maven." Ambar membalas senyumnya.

Setelah Mavendra pergi, Ambar langsung berjalan menuju kamar Aurora. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuknya dengan keras.

"KELUAR LO!" teriaknya penuh emosi.

Aurora masih menangis, tak mendengar teriakan Mamahnya.

"KELUAR, AURORA!" teriaknya lagi, kali ini lebih keras.

Dengan terpaksa, Aurora berjalan menuju pintu kamarnya. Begitu pintu terbuka, rambut panjangnya langsung ditarik oleh Mamahnya.

Aurora merintih kesakitan. "Sakit, Mah!" rintihnya.

"SURUH SIAPA LO PUNYA PACAR, HAH?"

"Dia bukan pacar aku, Mah."

"BOHONG!" Ambar menarik rambut Aurora semakin kuat.

Aurora meringis. "Awwwh—sakit, Mah. Aku nggak bohong, dia bukan siapa-siapa aku."

Ambar akhirnya melepaskan tangannya dari rambut Aurora. "Awas, kalau lo berani bohong sama gue. Nggak bakalan gue kasih ampun." Dengan penuh amarah, ia meninggalkan kamar anaknya.

Aurora menutup pintu kamarnya kembali, tubuhnya merosot ke lantai. Air mata terus mengalir deras.

"Pah, Aurora mau ikut Papah," lirihnya penuh kesedihan.

***

M

avendra melemparkan tasnya ke sudut ruangan dengan asal. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur, pandangannya terpaku pada langit-langit kamar.

Pikirannya masih kacau setelah kejadian tadi. Aurora tiba-tiba berlari cepat meninggalkan dirinya dan Tante Ambar saat mereka sedang membicarakan kepribadiannya.

Mavendra menggelengkan kepala, berusaha menghapus bayangan gadis itu dari pikirannya. Kenapa ia malah memikirkan Aurora sekarang?

Ia baru saja menyadari sesuatu. Dengan cepat, Mavendra merogoh saku celananya, mengeluarkan gelang yang tadi dibelinya di mall saat bersama Aurora.

"Lo itu misterius. Tapi, gue akan cari tahu lebih dalam tentang lo, Aurora," gumam Mavendra tanpa sadar.


ketik 1 buat santet ambar sama maven

instagram : hrdntaar

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang