0 2 | bitter x sweet

30 8 4
                                    

•••
please kindly vote and comment if you enjoy this story, it means a lot (*''*)
•••

Hari Sabtu pukul setengah tujuh pagi. Dinginnya udara tidak membuatku berhenti menggigit popsicle Gari Gari Kun rasa soda yang kubeli di konbini dekat rumah. Duduk di pelataran toko hanya dengan memakai kaos tipis dan celana pendek, aku yakin sebentar lagi Sugawara akan—

"Ckckck. Lihat anak ini. Kamu seharusnya memakai baju yang lebih layak untuk dipakai saat hawa dingin, bukannya malah pakai baju kurang bahan sambil gigit es krim. Kamu sengaja mau cari penyakit? Kalau sampai beneran sakit, nenekmu akan repot, aku juga ikut repot. Pakai jaket ini."

—menceramahiku habis-habisan.

Punggungku menghangat ketika Sugawara melampirkan jaketnya ke punggungku. Aroma parfum maskulin Jo Malone andalan lelaki itu memenuhi indra penciumanku. Parfumnya tidak berubah sejak puber. Mungkin kebiasaannya menyemprot parfum sepuluh kali sehari juga tidak berubah karena baunya tidak hilang sedikitpun sejak kemarin pagi kita berangkat bersama.

"Seingatku, kemarin kamu juga makan es krim 'kan? Pokoknya kalau batuk jangan dekat-dekat aku," kata Sugawara tepat setelah meletakkan bokongnya di sampingku.

Uap panas mengepul dari cup kopi yang ia pegang dengan hati-hati. Ia menyeruput kopinya perlahan, kemudian mendesah lega ketika kehangatan kopi berhasil lolos dari tenggorokannya.

"Aku bukan anakmu, Koushi," ucapku membalas omelannya.

Aku menyelesaikan gigitan es krim terakhirku, lantas melempar stiknya ke tong sampah yang berada jauh di depanku.

Plung!

Aku tersenyum puas. Tepat sasaran.

"Kenapa kamu minta bertemu pagi-pagi begini?" tanyaku tanpa menatapnya. Ini bukan pertama kalinya terjadi dan tiap kali terjadi, alasannya pasti sama: dia sedang ada masalah.

"Aku diputusin pacarku," kata Sugawara, memulai sesi curhatnya

"Pft—" aku berdehem setelah nyaris tertawa. "Alasannya?"

"Dia cemburu padamu."

Aku menghela napas gusar, sama sekali tidak terkejut. "Sudah kubilang, kamu harus jauh-jauh dari aku saat punya pacar. Kalau nggak, endingnya akan sama terus."

"Nggak bisa," sanggah Sugawara dengan cepat.

"Kenapa nggak?"

"Bagaimana bisa jauh-jauh? Kita satu kelas. Rumah kita bersebelahan persis. Mau nggak mau, kita juga naik bus yang sama. Kita pasti bertemu, nggak peduli seberapa keras usaha kita jauh-jauhan. Tanganku akan otomatis menarik rambutmu saat melihatmu dan kamu pasti bakal balik memukuliku. Selanjutnya kita akan bertengkar habis-habisan, namun orang lain justru menganggap kita hanya bercanda dengan imut."

"Haruskah kita bawa pisau sungguhan saat bertengkar?"

Sugawara tertawa hambar mendengar candaanku yang payah.

Aku menatapnya cukup lama, mencari-cari kalimat yang tepat untuk menyadarkan kebiasaan buruknya yang satu ini.

"Tahu nggak kalau kamu menyakiti hati banyak perempuan? Sebaiknya kamu jangan pacaran dulu."

"Aku ingin begitu, tapi..."

"Tapi kamu nggak tega menolak cewek-cewek yang menembakmu duluan? Kamu takut penolakanmu akan menyakiti mereka?" tebakku.

Sugawara menatapku ragu, kemudian mengangguk pelan.

Aku mendecih.

"Justru sikapmu yang seperti ini lebih menyakiti mereka daripada penolakan sejak awal. Idiot."

𝐒𝐮𝐦𝐦𝐞𝐫 𝐓𝐫𝐢𝐚𝐧𝐠𝐥𝐞 | 𝐓𝐬𝐮𝐤𝐢𝐬𝐡𝐢𝐦𝐚 𝐊𝐞𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang