Gadis itu berbaring di ranjangnya. Keadaan kamar yang gelap tidak membuatnya takut, ia tidak percaya hantu, atau hal-hal mistis lainnya. Ia tidak pernah percaya hantu sebelum benar-benar melihatnya. Ia tidak percaya tangan-tangan gaib yang keluar dari bawah ranjang akan menariknya ke dunia lain. Ia tidak percaya pada hantu yang konon katanya berkeliaran di sekitar tempat sepi, atau hantu yang mencari mangsa. Baginya, itu hanya dongeng pengantar tidur orang-orang tua untuk anak-anaknya.
Gadis itu, Akisa Namiwa, menyalakan ponselnya. 23:55, 5 menit menuju tengah malam.
Akisa harusnya tidur, karena besok ia harus masuk SMA pertamanya. 2 hari lalu, Akisa pulang dari Amerika setelah mengunjungi Bibinya.
Gadis itu sudah mencoba berbagai cara agar terlelap, mulai dari menghitung domba atau bernyanyi lirih, namun semua selalu gagal.
'Deng... Deng... Deng... Deng...'
"Ah, sudah tengah malam."batinnya ketika jam kuno di ruang tengah berbunyi.
Samar-samar, suara Biola tertangkap oleh indra pendengarannya. Terasa begitu manis dan murni.
Nadanya yang berat terdengar mengganggu, apalagi saat nada-nada dari Biola mulai tidak beraturan. Musik yang di hasilkan turun naik, seolah ingin mengaduk perasaan pendengar.
Akisa merasa terhipnotis oleh alunan Biola itu. Kini dirinya benar-benar duduk terjaga, Akisa menghampiri jendela dan membuka tirainya.
Saat berada di Amerika, Akisa sudah sering di ajak Bibinya menikmati Orkestra, atau bertemu dengan penyanyi jalanan yang menggunakan Biola. Mereka sangat luar biasa, tapi musik yang di dengar Akisa malam ini..... SANGAT SANGAT LUAR BIASA!
Akisa memperhatikan si pemain Biola. Seorang gadis dengan gaun putih selutut, bertelanjang kaki, dan rambut hitam sepinggangnya berkibar setiap kali di tiup angin malam. Gadis itu berjalan lambat sekali, seolah menghayati tiap langkahnya, dan juga alunan Biolanya. Akisa tidak bisa melihat wajah sang gadis, cahaya bulan tidak membantunya untuk benar-benar mengenal gadis itu.
Sampai di satu titik di mana sang gadis berhenti memainkan Biola lalu mata keduanya bertemu, oh, sekarang Akisa bisa melihat gadis itu dengan jelas.
Netra gadis itu biru cerah, bibirnya mancung kemerahan, dan bibirnya merah ranum. Akisa tidak yakin jika itu polesan lipstik.
Namun, gadis itu tampak pucat. Matanya menatap Akisa sayu, seolah memberi tahu Akisa tentang kesedihan dan keputusasaan di dalam dirinya.
Gadis itu kembali memainkan Biolanya. Berjalan agak cepat. Akisa mengikutinya, walau beberapa kali sang gadis berhenti dan menoleh ke belakang, Akisa tidak berniat untuk bersembunyi sama sekali.
Hingga sampailah ke duanya di pemakaman. Akisa yang tadi berani mendadak kehilangan nyali. Ia berhenti tepat di perbatasan tanah makam dan jalan biasa. Tapi tidak dengan sang gadis. Ia terus berjalan sembari memainkan Biolanya, lalu berhenti di satu tanah kosong di pemakaman.
Ia berkata lirih pada Akisa, tapi karena malam itu sangat sunyi, perkataan sang gadis terdengar jelas.
"Seseorang, akan berada di sini. Orang-orang akan menangis di hari terakhirnya. Dan aku, aku akan datang dengan pakaian hitam dan memainkan Biola di pemakamannya"kata sang gadis dengan sendu.
Akisa membeku, bergetar ketakutan. Ia lalu berbalik arah dan berlari. Beberapa kali terjatuh namun tetap berdiri dan kembali berlari. Tidak teriak, bukan karena tidak mau, tapi tidak bisa. Suaranya tertahan di tenggorokan.
Akisa menggedor pintu rumahnya, lalu jatuh tak berdaya.
***
Keesokan harinya, Akisa tidak masuk sekolah. Ia demam setelah apa yang terjadi semalam.
Ibunya masuk mengantarkan makanan dan obat, juga memberi kabar.
"Pak Murayaki, tetangga sebelah kita....."
".....meninggal dunia."
Akisa tersentak bak tersetrum listrik tegangan rendah. Matanya membulat tak percaya dan mulutnya terbungkam.
Akisa memaksa Ibunya untuk datang ke pemakaman, setelah semua paksaannya, Akisa pun di izinkan mengikuti pemakaman Pak Murayaki.
Pemakaman berlangsung khidmat, Keluarga Murayaki berusaha menahan isak tangis, setidaknya di depan banyak orang.
Akisa celingukan mencari gadis semalam. Gadis itu berkata ia akan datang, tapi Akisa tak melihatnya saat ini. Kakak perempuan Akisa menyenggol lengannya, membuat Akisa pun kembali menunduk dan meremat ujung pakaian hitamnya.
***
Pemakaman telah usai. Satu persatu pelayat pergi meninggalkan tanah makam. Termasuk keluarga Pak Murayaki.
Akisa berdiri mematung, sejak tadi ia hampir tak berkata apapun. Kakak dan Ibu Akisa membujuknya untuk pulang, namun Akisa menolaknya. Putus asa, keduanya lalu pergi dari makam sesuai permintaan Akisa.
Akisa menunggu, terus menunggu. Hingga sang Surya tenggelam, dan di gantikan oleh bintang.
Lelah dan putus asa menghinggapi dirinya. Dengan langkah gontai Akisa menyusuri tanah pemakaman, memutuskan untuk pulang.
Sekelebat bayangan melewati dirinya. Akisa menoleh dengan cepat dan mendapati gadis yang sama.
Biola di gesek dengan pelan, menciptakan alunan melody berlatar belakang kematian. Wajahnya menunjukkan raut kesedihan. Bibirnya samar-samar bergerak seolah bernyanyi, nyanyian yang tak di dengar Akisa. Perlahan Akisa menyadari, tercium bau-bauan yang wangi.
Sesuai perkataannya, gadis itu datang berbalut gaun hitam tanpa renda berlengan pendek. Bertelanjang kaki dengan sarung tangan hitam sepanjang siku.
Ia terus bermain Biola, saat itulah ia melihat bayangan Pak Murayaki. Air mata mengalir di pipi keriputnya. Meninggalkan duka yang mendalam hingga tak sadar Akisa ikut meneteskan air mata.
Biola sang gadis berhenti di gesek. Ia lalu menatap Akisa lekat-lekat.
"Inilah pekerjaanku. Mengiringi kematian setiap makhluk di muka bumi. Memainkan Biola terakhir untuk mereka. Orang baik akan meninggalkan nama baik, orang jahat akan meninggalkan nama jelek. Pak Murayaki sangat baik, aku menghargai dan segan pada catatan kebaikannya. Kelak, jika catatan itu di sebar, padang rumput kering akan menjadi rindang, binatang-binatang yang mati di hutan gundul akan hidup kembali, dan sumur-sumur kering akan berisi."
Itulah ucapan terakhir Sang Gadis Biola. Ia menuntun Pak Murayaki dengan tangan kanannya. Lalu melayang pergi ke Surga.
🍁🍁🍁🍁🍁