04 - Pesan-pesan rindu, yang tak kunjung sampai.

6 2 0
                                    

Aku mengerjap beberapa kali ketika sinar matahari menusuk-nusuk mata aku.

Ah sial, aku terlambat!

Dan bagai orang kesetanan detik itu juga aku langsung meloncat dari atas kasur, berlari ke sana kemari untuk sekedar menyiapkan baju, mencari handuk dan kemudian mandi.

Karna aku pikir, aku tidak ada lagi waktu, maka ku putuskan untuk mengambil dua lembar roti tawar lalu memberikannya selai coklat kacang, dan kemudian berlari tanpa pedulii waktu.

Perlu di ketahui bahwa aku bukan manusia kaya raya yang memiliki transportasi pribadi, sementara taksi online atau ojek online cukup untuk aku makan siang.

Aku serius, nasi uduk di belakang kantor, harga nya murah meriah. Mana lauk pauk nya banyak. Jelas saja bisa bikin kenyang.

Namun jika di tanya, lalu bagaimana aku ke kantor? Solusi nya ya bus. Sumpah, bus tuh sekarang murah. Sangat bersahabat dengan warga dompet ku yang keseringan tipis.

Bukan merendah, tapi aku berkata jujur. Tau lah, aku ini bujangan yang tentu saja ingin menikah. Harus punya tabungan cukup di kemudian hari.

Mengharap orang tua? Halah.... Jangan deh, nanti menyesal. Kakak ku? Tidak dong, dia menegaskan arti mandiri sejak dini. Memang aku bisa membantah? Jelas tidak.

Langit hari ini terlalu cerah, banyak pekerja yang sibuk. Membuat kursi di dalam bus jadi habis. Aku jadi terpaksa berdiri.

Tapi tidak masalah sih, ini sudah menjadi kebiasaan. Otot kaki ku sudah terlatih.

Omong-omong masalah bus, aku jadi ingat Hana. Dia suka bus, apalagi di dekat jendela--- ya meski Hana memang suka tempat di dekat jendel. Dimana pun itu.

Biasanya, Hana tidak perna protes jika aku mengajaknya jalan-jalan hanya dengan bus atau jalan kaki. Dia tidak pernah keberatan sekali pun.

Tapi pernah sekali, aku mengajak Hana jalan-jalan memakai mobil. Mobil Kak Dejun saat itu yang aku curi diam-diam. Bahagia Hana saat itu bukan main.

Kami pergi ke dufan, restoran, taman kota. Lalu kami juga mengelilingi kota di hanya di tempat yang sama, berputar-putar saja. Hingga kami berhenti di pinggir jalan hanya untuk memakan mie.

Dan ketika pulang, Kak Dejun jelas memarahi aku habis-habisan. Kalau di ingat, dulu aku cukup nekat ya. Pulang larut malam, hanya berdua bersama Hana.

Hingga bus ini berhenti pada perhentian nya. Aku turun sebab ini adalah tujuan ku, sementara di seberang sana ada gedung tinggi tempat aku bekerja.

Entahlah, aku ingat pernah tidak bekerja nyaris satu bulan. Tapi aku lupa apa sebabnya dan hebatnya aku tidak di pecat. Hingga saat ini aku masih bekerja tuh.

Aku melangkah dengan begitu santai. Satpam di pintu masuk masih sama ramah nya, bahkan seingat ku jauh lebih ramah.

Rekan-rekan kantor ku juga terasa jauh lebih memperhatikan ku.

"Hen, kopi buat lo. Semangat ya hari ini!!!"

Aku terkekeh kecil, "makasih, Sarah!" Kemudian aku berseru untuk mendapatkan balasan lambaian tangan.

Aku juga tidak begitu paham. Sarah itu aslinya ketus. Dia jarang membantu dan jarang pula meminta bantuan.

Contohnya saja kopi. Dia jarang meminta ob untuk membuatkan atau membeli kopi. Sebab katanya, kopi buatannya jauh lebih enak. Sementara Sarah, akhir-akhir ini jauh lebih sering membuatkan kopi untuk saya.

Dan benar, kopi nya enak.

Aku tersenyum menatap pigura Hana di atas meja ku. Aneh ya, seolah seperti, aku begitu lama tidak bertemu Hana. Seolah ada jarak begitu lebar antara aku dan Hana. Seakan, Hana pergi meninggalkan rumah tanpa di urus, nyaris roboh. Tapi sekarang, nyatanya aku dan Hana baik-baik saja. Dan aku, menikmati segalanya.

In The End You Are My Home | Huang Hendery✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang