"Hallo..." Dry menelpon seseorang dengan raut wajah yang cemas. Dia berlindung di belakang bus pariwisata. Matanya mengamati sekitar, dia terlihat begitu waspada.
"Kita dalam masalah," ujar Dry pada seseorang yang diteleponnya.
"Bunda sudah tau semuanya,"lanjutnya. Suaranya setengah berbisik, matanya masih awas memperhatikan segala sudut.
Kemudian telepon pun ditutup. Tak lama berselang, Hanz datang menghampirinya setengah terburu-buru.
"Ada apa Lu manggil gua?" tanya Hanz.
"Bunda sudah tau semuanya, Hanz..." ucap Dry. Matanya mulai berkaca-kaca, ia menatap nanar pria di hadapannya itu.
"Ah, heboh Lu. Gitu aja panik," ujar Hanz. Lantas, lelaki itu kembali meninggalkan Dry yang masih bersembunyi di belakang bus.
Dry merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Segala cemas yang ia redam justru membuatnya kewalahan dalam menahan beban, akhirnya ia menjatuhkan air mata.
Suasana masih tampak sepi. Semua santri sedang menikmati makan siang di restoran tempat peristirahatan. Dry memutuskan untuk kembali dan menunggu saja di dalam bus. Dia duduk sendiri di kursinya. Sambil mencoba menenangkan hati.
Tak lama berselang semua santri pun kembali ke dalam bus. Beberapa di antaranya menanyai Dry kenapa tidak ikut makan siang. Sementara Dry hanya membalasnya dengan senyuman, seraya mengucapkan " Aku lagi nggak enak badan."
Saat itu, wajah Dry semakin pucat. Mataya semakin memerah. Sesekali air mata menetes di pipinya. Tak seorangpun berani bertanya. Hanya memperhatikan saja.
"Lu tenang aja. Gua ada di sini," ujar Hanz. Setengah berbisik di telinga Dry, membuat napasnya terdengar jelas menyelinap lewat jilbab yang dikenakan Dry.
Dry menoleh sejenak, Hanz memang tak bisa dilewatkan begitu saja. Seraut wajahnya dapat menjadi magnet yang memikat siapa saja yang melihat. Saat itu, Dry semakin kacau. Lukanya semakin parah. Dia semakin larut dalam perasaan. Bagaimanapun, Hanz itu memang berulang kali membuat dia jatuh cinta, tapi berulangkali juga menyadarkan bahwa dia tak nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Teen FictionRetak, patah, hancur, lalu apa lagi? Semua kata tak dapat mewakili