06.

165 35 12
                                    

Niskala Nalini
30 Desember 2019

Aku berdiri di depan pintu sebuah rumah bercat putih, menunggu seseorang keluar dari dalam sana. Sudah 30 menit aku menunggu, tapi yang ditunggu tak kunjung menampakkan diri, membuatku sedikit jenuh. Namun, rasa rindu yang menggebu-gebu menuntut jumpa membuatku bertahan.

Beberapa saat kemudian terdengar suara derit pintu yang dibuka, lalu muncullah seorang pria bersurai hitam dari dalam sana, wajah tanpa ekspresinya memandang fokus ke depan.

Aku tersenyum kecut, tak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan, membuatku sedikit bingung.

Ahh, itu sudah tidak penting sekarang, semuanya sudah berbeda.

Tamara berjalan ke arahku, berhenti sebentar saat tubuhnya berada tepat di sampingku. Mataku sedikit terbelalak saat mencium aroma blueberry dari tubuh Tamara. Aku ingat betul aroma itu, aroma parfum blueberry yang kuberikan padanya di hari ulang tahunnya tahun lalu. Saat itu ia marah, dan mengatakan bahwa parfum itu lebih cocok digunakan oleh anak-anak usia 6 tahun. Aku tersenyum mengingatnya.

Aku tersentak saat menyadari Tamara berjalan melewatiku tanpa sepatah kata. Tidak ada pilihan lain bagiku selain mengikutinya. Hari ini dia memilih berjalan kaki. Aku mengingat waktu saat kita masih berpacaran dia akan repot-repot mengeluarkan mobil mewahnya hanya untuk mengantarku jalan-jalan ke taman yang tak jauh dari rumahnya.

Kami berjalan beriringan menyusuri trotoar, larut dalam pikiran masing-masing. Tak ada satupun yang membuka suara hingga kami sampai di taman yang sedang ramai.

Tamara terus berjalan di depanku tanpa menoleh sedikitpun, melewati lapak pedagang yang sedang menjajakan aneka makanan dan minuman. Langkahnya terhenti di depan sebuah bangku taman yang berada di bawah pohon rindang. Lalu kami-aku dan Tamara--duduk berdua di sana, menikmati angin sore, seperti kebiasaan kami, dulu. Aku senang sekali karena taman yang kita kunjungi kali ini bukan lagi taman rumah sakit.

Aku menoleh, kepalaku sedikit terangkat hanya untuk memandang wajah Tamara lebih dekat. Sinar mentari menerobos celah dedaunan hingga mengenai wajah pria itu, membuat kulitnya yang putih bersih mengkilap ditambah dengan rambutnya yang mulai gondrong melambai-lambai dihembus angin. Hal itu semakin menambah ketampanannya.

Sifat jahilku tiba-tiba muncul, aku meniup-niup tengkuk Tamara, tapi hanya sekali Tamara bereaksi dengan memegang tengkuknya, setelahnya dia kembali tak peduli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sifat jahilku tiba-tiba muncul, aku meniup-niup tengkuk Tamara, tapi hanya sekali Tamara bereaksi dengan memegang tengkuknya, setelahnya dia kembali tak peduli. Kupikir dia sedang marah padaku karena bulan lalu aku harus pergi ke Singapura. Selama berada di Singapura aku tak pernah mengabarinya. Sengaja, untuk bisa memberinya kejutan seperti ini. Aku sudah tidak merasa sakit lagi setelah operasi pengangkatan sel kanker di otakku sudah dilakukan. Aku harap Tamara ikut senang dengan hal itu.

Sebuah bola menggelinding dari arah depan menyadarkanku dari lamunan. Tamara memungut bola itu lalu berdiri dari duduknya, menghampiri seorang anak kecil yang kuduga adalah pemilik bola itu.

"Jangan main bola di sini, kamu bisa mengenai pengunjung lain. Main di sana aja, ya?" ucap Tamara. Tangannya terangkat menunjuk area taman yang cukup luas. Anak kecil itu mengangguk paham, lalu segera pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Dahiku mengernyit saat melihat Tamara berjalan menjauh, entah ingin kemana. Aku segera beranjak mengikutinya. Sebelum itu, Tamara terlihat membeli minuman dengan varian coklat kesukaanku, lalu ia kembali berjalan semakin menjauh dari taman.

Setelah berjalan beberapa menit, aku mulai menebak-nebak kemana Tamara akan pergi.

Dan tebakanku benar. Tamara mulai berbelok ke arah pemakaman umum. Deretan batu nisan menyambut kami, mata sipit milik Tamara mulai berkaca-kaca, tak butuh waktu lama hingga kaca-kaca itu berubah menjadi cairan bening yang mengalir di pipi mulusnya.

Tamara menangis pilu di samping salah satu makam. Dipeluknya erat nisan yang bertuliskan namaku.

Aku tertegun saat melihat Tamara mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ternyata itu adalah serbuk, aku juga tak tahu persis serbuk apa itu. Tamara memasukkannya ke dalam minuman yang ia beli, setelah itu segera meminumnya. Beberapa saat kemudian ia tertidur di samping makamku.

-END-

Sampai Jadi DebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang