Kompas dalam Genggaman

9 1 0
                                    

Bertepatan dengan kembalinya Saras ke belakang panggung, Mondi segera keluar, menuju pintu lain yang terhubung ke ruang persiapan yang terletak beberapa langkah dari pintu utama auditorium. Ruangan tersebut terhubung ke belakang panggung. Tanpa mengetuk, sedetik kemudian, tubuh besarnya sudah berdiri menjulang di ambang pintu, diapit oleh daun pintu yang setengah terbuka. Dia memperlebar daun pintu, seiring dengan sepasang mata Saras yang membulat kaget.
Saras tenggelam dalam ketegangannya. Dia membalikkan badan, lalu mengambil dengan kasar botol air mineral yang masih tergenggam di tangan Darwin.

"Ada apa ke sini?" tanya Darwin sembari mendekat dengan tatapan andalannya.

Mondi menatap melewati Darwin. "Saras, aku perlu ngomong sama kamu."

"Kayaknya Saras lagi nggak enak badan. Nanti saja ya kalau mau ngobrol." Gara menatap Mondi dengan penuh permohonan, disertai suara lembut yang dikiranya bisa meluluhkan kekerasan Mondi. Bagi Mondi, semua anak A+ sama saja, menyebalkan semua, selalu merasa paling benar dan hebat karena diberi kepintaran lebih. Dia mengerlingkan mata, dan matanya tetap terpagut pada punggung Saras.

"Mumpung sekarang masih hari pertama, pembelajaran juga belum sepenuhnya berjalan, jadi aku lebih leluasa ngikutin kamu ke mana pun sampai kamu mau ngomong sama aku."

"Mon, udah kelas tiga lho ini, kamu bukannya fokus, tapi--"

"Aku ngomong sama Saras." Mondi menatap Darwin dengan sadis. "Aku nggak perlu nasehat dari kamu, cukup dari Bundaku aja."

"Saras, nggak--"

"Kalian ini terlalu ngatur ya." Mondi gemas setengah mati. Dua cowok ini bagai juru bicaranya Saras. "Aku tahu Saras itu kebanggan anak-anak A+, tapi nggak gitu juga memperlakukan dia. Bikin kesel yang lihat."

"Cukup." Saras berbalik dengan raut menantang. "Ayo kita bicara di luar."
Ujung bibir Mondi menanjak. "Nah gitu dong dari tadi, susah amat."

"Tapi Sar--"

"Santai, Win." Saras menepuk-nepuk bahu Darwin. "Masih di lingkungan sekolah, dia nggak akan macem-macem."

"Tapi faktanya, bulan lalu dia berulah sama fasilitas sekolah."
Mondi terkekeh mendengarnya. Dia yang sudah selangkah di dekat ambang pintu, berbalik dengan bangga. "Takut amat ya sama aku. Tenang, stok cacing lagi abis. Ntar ngumpulin dulu."

"Maneh--"

"Win, win." Gara menarik Darwin yang hendak menyerbu Mondi. "Ada murid baru, jangan berulah, kita baru aja tampil."

Kedua tangan Saras terangkat sejajar dadanya, memberi isyarat pada Darwin agar tetap tenang. Mereka melewati ambang pintu, bertemu Ardi yang menunggu di depan ruangan.

"Tunggu di kantin aja, Di."
Ardi mengacungkan jempolnya, sempat dia menatap Saras dengan sorot tak suka, yang kemudian dibalas Saras dengan delikan mata. Mondi yang melihat kejadian singkat itu tertawa rendah. Dia dan Ardi sudah sepaket dalam hal membenci Saras.

Dua pasang kaki itu menyusuri koridor dan berhenti di depan jajaran laboratorium sesuai permintaan Saras. Untuk saat ini menjadi tempat paling sepi karena kegiatan belajar masih berlangsung di dalam kelas. Tak perlu basa-basi lagi, Mondi langsung mengeluarkan ponsel tersebut, dipegang menggantung melalui tali dari plastik HP.

Saras memejamkan mata beberapa detik. Dia menghela napas cukup panjang, dan dari mulutnya keluar kalimat berlawanan dari yang diucapkannya pagi tadi. "Iya, itu punya aku. Bagian dari masa laluku, dan aku berusaha ngelupainnya. Puas? Aku rasa nggak perlu diceritan semua, emangnya kamu siapa."

Mondi menggeleng dengan tegang.
"Ada nama yang belum kamu sebutkan."

Saras membuang pandangan, mengusap tengkuknya seakan merasakan sesuatu yang horor. Sorot mata Mondi tak lepas dari setiap detail gerak resahnya. Bibir yang bergetar setiap hendak akan menjawab, tapi selalu urung, berganti dengan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Pandangan tak fokus, yang berusaha tak berserobok tatap dengan orang di depannya. Rahang yang menguat, menahan kekesalan, dan akhinya agak mengendur ketika mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Mondi mendengus pelan. Dalam masalah ini, Saras yang selalu menjadi penolong, kini butuh pertolongan dalam hal 'mengatur ekspresi tegang agar tidak tampak bodoh'.

I Caught You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang