Awal Mula Permusuhan

8 1 0
                                    

Tania
Dia setuju, ketemuan di Part.
Tahu kan Part Coffe Shop?
Saras
Aku tahu, tempat biasa  nongkrong bareng Dera abis dari bimbel.

Berbarengan kelegaan yang meledak dalam dada, setitik rasa iri mengganggu semangat Mondi menantikan jam pulang sekolah. Dia berupaya jangan sampai rasa itu terlalu mempengaruhinya bahkan sampai tercetak pada tampangnya. Dalam beberapa menit berhasil, mi ayam lezat dengan bakso berlemak bisa mengalihkannya, tapi setelah mangkuk kosong dan es teh manis tandas, Ardi yang masih mengunyah karena dari tadi malah main HP terus, lalu kini sekilas menatap Mondi, bisa mengetahui ada yang tak beres dengan Mondi.

"Kenapa, Mon?"

Mondi mendelik. Menyembunyikan sesuatu di depan Ardi, sering kali gagal.

"Nyaho wae, maneh."
Ardi terkikik, lalu melahap besar-besar potongan siomaynya. "Tadi wajah kamu langsung mengkerut gitu pas datang balasan dari Saras."

Jadi, rasa iri itu tidak hanya setitik bila Ardi yang sibuk dengan ponselnya saja bisa merasakan aura negatif yang menguar dari seberangnya. Tepatnya, menjadi noda besar yang nyaris saja menyumbat kegigihan Mondi mencari Dera. Kebersamaannya dengan Dera tidak sampai  menginjak usia remaja. Halaman rumah dan sekolah menjadi latar yang paling sering digunakan untuk mempererat hubungan mereka. Kemudian, Saung Lembang dan beberapa tempat mancing menambah daftar tempat wajib yang harus mereka datangi ketika libur menjelang. Kisah mereka berakhir di tahun terakhir sekolah dasar. Lalu tumbuh menjadi remaja di tempat berbeda tanpa saling mengetahui keadaan masing-masing. Otomatis, tidak ada kisah hang out atau nongkrong di tempat tertentu yang sedang trend, sambil bercanda tawa sampai mendapat delikan dari pengunjung lain. Tidak ada kisah saling mentraktir makanan, tidak ada kisah saling curhat tentang kejenuhan di sekolah dan rumah.

Mereka menjalani kisah itu masing-masing, dengan orang berbeda, di tempat berbeda.
Part Coffe Shop berada sekitar 500 meter dari tempat bimbel Saras. Mereka datang berbarengan, tapi tidak satu kendaraan. Motor Mondi memasuk parkiran, tepat ketika angkot hijau menurunkan Saras di depan bangunan kotak bernuansa abu oranye itu. Saras memilih naik angkot yang padat dan panas daripada dicurigai teman-temannya. Kemarin, dia sudah berlagak harus pulang cepat, sekarang tidak bisa lagi seperti itu. Harus ekstra hati-hati, jangan terlalu mencolok.

"Pakai alasan apa lagi kamu bisa nggak pulang bareng sama duo bodyguard itu?"

Saras mengerlingkan mata. Di sampingya, Mondi membuka pintu coffe shop, sekaligus mempersilakan Saras masuk duluan. Sikap baik itu spontan saja terbentuk, gara-gara kebersamaan di Saung Lembang kemarin.

"Mau konsul soal kimia di tempat bimbel," jawab Saras setelah memilih di bangku paling pojok jauh dari jangkauan mata orang-orang di luar sana. "Alasan paling ampuh biar mereka berhenti nanya-nanya."
Mondi terkekeh. Dia melirik jam tangannya sekilas. Masih setengah jam lagi waktu yang disepakati dengan Alden. Saras menyarankan datang lebih awal agar menunjukkan keseriusan mereka meminta pertemuan ini. Selain itu, agar mereka bisa bersiap-siap lebih matang menghadapi cowok itu.

"Kemarin alasannya apa, sampai mereka rela kamu nggak ikut rapat?" Mondi tertarik mengulik  bagaimana orang-orang pintar ini bergaul.

"Sepupuku yang paling bawel, resek, bossy, ngerasa paling kaya dan cantik dan ya...nggak cukup pintar itu minta aku harus cepat pulang, ngajarin matematika yang menurut aku gampang banget, tapi buat dia kayak ngadepin bencana dahsyat. Kalau aku nggak nurut, dia bakal laporan ke Papaku yang galak."

Mondi tak berkedip, menganga, lalu dari sana tawa meledak tanpa habis semenit penuh. Saras yang galak, irit ngomong, dan sekalinya ngomong panjang lebar yang hanya membicarakan hal yang amat penting, sekarang bagai bayangan masa lalu bagi Mondi. Hanya menjadi jejak yang pelan-pelan menghilang dan digantikan dengan Saras si julid yang ingin mengajak temannya menggibah.

I Caught You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang