AUF-6

70 10 0
                                        

"Bunda selalu memberikan aku segalanya, bunda selalu melakukan segalanya buat aku. Dari kecil aku cuman nyusahin bunda, bahkan bunda pernah nangis gara-gara aku. Aku cuman mau ngasih apa yang bunda mau, aku cuman mau melakukan apa yang bunda impikan, dan kalau itu buat bunda bahagia, kenapa enggak?" Nanda akhirnya mengeluarkan segala yang dia rasa, menumpahkan semua hal yang menjadi alasannya untuk tetap bertahan.

"Kakak..." Bunda mengusap pipi sang anak, guna menghilangkan jejak air mata di sana.

Nanda menggenggam tangan bunda, untuk mengehentikan gerakannya, agar bunda bisa fokus mendengarkan perkataannya.

"Aku cuman mau balas semua hal yang pernah bunda beri dan lakuin buat aku, aku ingin membalas semua yang bunda rasain selama ini saat ngerawat aku. Aku kepengen jadi apa yang bunda mau, kalau itu memang butuh pengorbanan? Aku siap." Ucap dengan nada tegas di akhir kalimatnya. "Bunda dulu bahkan sampai rela menutup toko kue bunda, karena mau ngerawat aku lebih leluasa. Bunda banyak mengorbankan apa yang bunda punya buat aku, dan aku cuman mau ngelakuin hal yang sama."

Bunda ikut menangis. Sebegitu sayangnya Nanda kepada dirinya? Hingga bahkan tidak mampu untuk mengecewakannya? Bunda bahagia mengetahui itu, tapi ini berlebihan! Bunda menyayangi Nanda, lebih dari Nanda kepada bunda. Itu harus bagi bunda!

"Bunda tau? Bahkan apa yang aku lakuin sekarang tidak sebanding dengan segala yang bunda lakuin..." Nanda menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalanya dengan senyuman. "Aku baik baik aja bunda.. aku lakuin semua ini demi bunda."

Bunda memeluk anaknya ini dengan erat. "Cukup kak! Bunda kecewa sama kamu!"

Nanda membeku dalam pelukan sang bunda. Bunda kecewa padanya? Dia gagal menjaga perasaan bunda? Dia anak durhaka! Dia sudah menyakiti bunda lagi! Dia buat bunda kecewa lagi! Cukup! Nanda merasa dirinya tidak berguna sekarang...

"Bunda kecewa karena kamu lebih memilih untuk menyimpan semuanya sendiri ketimbang membicarakannya dengan bunda."

Nanda terkejut saat bunda melepaskan pelukan dan menatapnya intens.

"Tau apa yang buat bunda bahagia?" Nanda terdiam atas pertanyaan bunda. "Itu adalah ngeliat kamu bahagia."

"Tapi–"

"Kamu tau? Bahkan mendengar tangisan kamu waktu pertama kali kamu lahir pun, itu adalah kebahagiaan untuk bunda. Semua yang bunda rasain saat melahirkan kamu, itu hilang karena suara kamu."

Nanda terdiam sejenak, dia sedikit terenyuh mendengar perkataan bunda. Tapi Nanda tetaplah Nanda, jika tekadnya sudah bulat maka tidak mudah untuk goyah.

"Bunda ingin anak bunda jadi dokter, kan? Jihan gak mau, jadi biar aku yang–"

"Siapa bilang Jihan gak mau?"

"Tapi Jihan takut darah..."

"Justru karena itu, dia bilang mau jadi dokter, dia pengen buktiin kalau dia bisa mengahadapi ketakutan dia.. kak, dia udah bilang ke bunda sejak lama tentang ini, tapi dia juga bilang gak enak sama kakak, karena kakak mati-matian pengen jadi dokter."

Untuk kesekian kalinya Nanda terdiam. "Jadi, bunda?"

"Jadi ya.. kamu gak perlu lagi ngejar beasiswa itu. Nanti bunda daftarkan di universitas dengan jurusan sastra terbaik di kota ini!!" Ucap bunda yang terdengar berapi-api.

Nanda terkekeh. Tapi kemudian kembali sendu. "Maaf, maaf udah ngelanggar janji aku sama bunda buat terus terbuka. Aku takut keterbukaan aku malah membuat bunda kecewa..."

"Kamu harus terbuka, dan menjelaskan kepada bunda. Dari pada bunda tau dengan sendirinya, itu malah membuat bunda jauh lebih kecewa, kak."

Nanda pun mengangguk sambil tersenyum.

Ana Uhibbuki Fillah {ENHYPEN}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang