Two

306 29 3
                                    

Pria berambut latte dengan tinggi badan mencapai 190 cm itu duduk dengan gaya khasnya, bersedekap dada dan menyilangkan kakinya, kopi hitam di meja kayu bulat di depannya sudah tinggal ampas saja. Jean menatap nanar ke Eren yang posisinya tidak berubah sedari tadi, dan dirinya yang benar-benar menikmati waktu bersantai sudah mulai bosan.

Tiga jam. Selama tiga jam penuh pria berambut cokelat diikat ponytail itu berdiri berhadapan dengan sebuah cermin yang menempel pada dinding ruang pribadinya hanya untuk berlatih mengucapkan lima patah kata yang akan ia ucapkan di akhir dialognya. Bahkan sejak di mobil dalam perjalanan menuju studio, ia mati-matian memasang ekspresi benci terbaik yang ia miliki, namun tetap saja kalau sudah berhadapan dengan sepupu Levi Ackerman itu, semuanya langsung menghilang. Baik kemampuan berekspresi maupun daya ingat untuk dialognya.

“Kau hanya perlu mengucapkan dialogmu, itu saja, apa susahnya?”

“Mudah untukmu mengatakannya tapi sulit untukku melakukannya,”

Entah apa yang membuatnya mendadak beku kalau sudah di depan kamera dan banyaknya staff studio yang memperhatikannya, padahal nyatanya Eren Jaeger adalah aktor terbaik yang sudah berhasil memenangkan piala Oscar dalam dunia perfilman. Lalu kenapa sekarang ia malah jadi begini? Masalahnya hanya satu ....

“Tidak bisakah dialogku diganti saja? Kenapa harus mengatakan benci sedangkan hatiku merasakan hal yang sebaliknya?” ia membatin.

Eren memukul dinding yang ada di depannya, alis matanya sedikit menukik dan rahangnya mengeras, jujur saja mungkin ia tidak akan bisa totalitas untuk episode 14 mendatang. Pintu ruangannya diketuk, lalu tanpa ada perintah balasan dari dalam, orang itu langsung masuk. Itu Armin, ia membawakan sebungkus burger keju yang ia beli di cafe tepat di sebelah studio mereka. Tentu saja dengan setelah melewati banyak rintangan.

“Kau terlihat buruk, ada masalah?” Armin meletakkan bungkusan plastik putih di tangannya ke meja kayu yang tidak jauh dari posisi Eren. Pria itu menoleh, makanan kesukaannya kali ini gagal mendapatkan perhatiannya.

“Tidak ada,”

Armin melipat tangannya di depan dada lalu menyilangkan posisi kakinya. “Jangan bohong, telingamu memerah,”

Untuk pertama kalinya, Eren sedikit merutuki sifat kepekaan yang begitu tinggi kepada Armin. Hanya dengan sekali melihatnya saja pria berambut pirang yang kini tengah duduk di sofa ruangannya itu sudah langsung mengetahui kejanggalan penampilannya.

“Dia tidak bisa fokus untuk episode mendatang. Lihat saja kerutan di antara kedua alisnya,” tutur Jean.

Eren berdecak, ia berbalik lalu menghampiri keju burgernya yang masih hangat. Eren duduk di sofa single, sedikit berseberangan dengan Armin. “Hanya masalah episode selanjutnya. Kemampuan beraktingku menurun,” ungkapnya pelan disusul dengan gigitan pertama pada burgernya.

“Bukan menurun lagi, tapi sudah hilang,” Armin menghela nafas panjang, ia merentangkan tangan di atas sandaran sofa. “Aku sudah lelah mengulangi adegan yang sama terus menerus, Eren,”

“Aku kasihan dengan Mikasa, dia jadi terhambat gara-gara ulahmu,” Armin mengangguk setuju dengan tambahan kalimat pria bermarga Kirschtein itu.

“Aku juga lelah dengan jalan ceritanya. Kenapa bisa berakhir begini? Sungguh tidak terduga. Sekarang para penggemarku pasti akan membenciku, 'kan?” Eren meminum sekaleng soda yang juga dibawakan Armin untuknya.

“Ya,” jawab pria bermarga Arlert itu ceplas-ceplos. “Tapi tidak semua, bahkan ada penggemarmu yang mendukung tindakanmu,”

“Siapa?”

“Yang jelas bukan aku,” entah karena moodnya yang memang sedang tidak bagus atau memang hari ini Armin dan Jean sangat menyebalkan. Yang jelas Eren ingin menendang kedua orang itu sekarang juga.

Within 112 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang