Semasa hidupku, aku tidak pernah membayangkan betapa sengsaranya hidup di masa mendatang. Meskipun hidup dan tumbuh di panti asuhan, aku tidak merasa kurang sedikit pun. Mereka-para pengurus panti-selalu memberikan kasih sayang yang begitu tulus hingga aku merasa benar-benar tidak membutuhkan orang tuaku lagi. Sampai akhirnya, dua tahun silam, mereka membawa kabar tentang keberadaan orang tuaku. Namun, mereka tidak memaksaku untuk menemui orang tuaku. Aku tidak ingin banyak berharap, tetapi aku sungguh penasaran.Hari demi hari terlewati, aku telah berusaha untuk mengabaikan kabar itu. Namun, ada sesuatu yang nyaris mendobrak hati dan mengatakan bahwa aku perlu bertemu mereka. Bukan, bukan untuk mencari kebenaran atas keputusan mereka yang meninggalkanku saat masih kecil. Bukan juga meminta pengakuan dan berharap diambil dari tempat yang sudah kuanggap rumah ini, melainkan untuk memastikan bahwa mereka menyesal telah menyia-nyiakan aku yang seharusnya tumbuh sebagai seorang perempuan dengan keluarga lengkap.
"Aku ingin mereka menyesal, tapi bukan seperti ini! Bukan ini yang aku inginkan, Tuhan!" Aku terus meracau bersamaan dengan derai air mata yang terus tumpah dari pelupuk mata. Aku ingin melihat mereka menyesal, bukan menemukan mereka yang sudah tertanam di dalam tanah kuburan.
Aku tidak mengerti mengapa sesakit ini. Aku bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang mereka, tetapi aku sangat merasa kehilangan. Aku terpuruk dan hancur.
Pertahananku selama 25 tahun hidup dalam bingkisan "kebahagiaan" seolah roboh tertiup angin pilu. Aku benar-benar telah kehilangan mereka. Aku juga kehilangan perangai ceriaku begitu saja.
Dibalut rasa kecewa yang memilukan, berkawan dengan duka yang menyesakkan, aku memutuskan menyerah atas hidupku. Di saat angin hampir saja menjadi saksi atas kegagalan pertahananku, satu nyawa melayang tanpa perkabaran, tanpa berpamitan. Dia adalah Maureen Clarence, sahabat baikku yang telah memintaku untuk tidak mengakhiri hidup. Namun, justru ia yang kehilangan nyawanya sendiri. Sebuah ketidaksadaran yang menjadikanku sebagai tersangka atas jatuhnya Maureen dari lantai dua puluh, membawaku pada pertemuan yang sarat akan kebencian dengan Alpha Frans. Pria yang memiliki tangan ajaib hingga dapat menghasilkan melodi-melodi indah itu adalah suami dari sahabatku-Maureen.
"Argh!" Sejak semalam, aku terus meremas perut yang terasa ngilu karena kelaparan.
Seminggu belakangan aku selalu diperlakukan dengan layak. Setelah kurang lebih dua tahun Alpha menghukumku atas kesalahan yang tidak aku lakukan, baru satu minggu ini pria itu membiarkanku bernapas layaknya seorang manusia. Namun, hari ini aku kembali merasakan perih yang sama seperti sejak pertama ia mengurungku di tempat gelap dan kotor ini.
Barcelona telah menjadi saksi betapa kejamnya Alpha mengasingkanku dari radar yang semestinya. Tidak ada siapa pun yang dapat menemukan keberadaanku. Hanya dia yang dapat menjangkauku. Bersyukur dia tidak melecehkanku sedikit pun. Dia juga tidak membawaku ke balik jeruji besi. Namun, caranya memenjarakan dan mengasingkanku benar-benar membuatku seperti hidup tanpa bernapas. Aku ingin mati saja.