Bad Boy - Dream

6.9K 70 13
                                    

"Hei, Je-" Sapa Mark yang baru saja melintas di depanku. Darah dan wajah keturunan Inggrisnya begitu kental dengan senyum merekah membuat kedua matanya semakin hilang ditelan tulang pipi yang menonjol. Dia telah ada di depanku sambil berjalan mundur. Anehnya, semua orang seperti secara otomatis menghindarinya sehingga tabrakan mustahil terjadi. 

"Bisakah kau tidak menggangguku hari ini, Mark? Dan kumohon panggil aku Jeanne!" Ucapku setengah mengeluh. Suaraku lemah seperti orang yang tidak makan tiga hari ditambah dengan wajah yang tertekuk. Semakin aku tampak seperti zombi yang berjalan-jalan di area kampus. 

"Ada apa denganmu?" Langkahnya terhenti dan suara perintahnya terdengar memaksa dan tentu aku tahu bagaimana menghindari semua omong kosong perhatiannya. 

"Urusan bulanan wanita." Jawabku datar sambil melewati tubuh Mark yang menghalangi jalanku. 

"Apa kau masih memikirkan cibirannya tadi? Aku bisa membuatnya menyesal jika kau mau!" Ucapannya memang setenang lautan pasifik tapi sebuah palung paling dalam di dunia siap-siap menjerat mangsanya hidup-hidup. 

Kami berdua berjalan menyusuri lorong dalam diam menuju ruang biologi. Kebalikan dengan suasana CSU yang saat ini ramai dipadati mahasiswa dan mahasiswi dengan segala aktivitasnya. Lorong-lorong yang berjajar loker telah dirayapi berjejal-jejal mahasiswa hanya untuk melakukan hal sepele seperti menyimpan buku, hal-hal tidak penting lainnya bahkan ada dari mereka yang memanfaatkan ruang sempit yang terbentuk dari sisi ujung loker dengan pintu kelas yang terbuka untuk saling bercumbu dengan pasangannya. 

Tidak adakah tempat lain? Mataku memutar sebal. 

"Nerd!" suara-suara yang sangat aku kenal tiba-tiba saja menggaung tanpa alasan di balik otak sadarku. 

Cibiran itu... Peduli apa kalian padaku? Aku mengutuk dalam-dalam suara itu. 

"Maukah kau mendampingiku?" Suara lain yang akhir-akhir ini menghantuiku hadir dalam wujud suara tanpa rupa. 

Pergi dari amigdala ku! Kutukan demi kutukan terus mengalir di dalam benakku dan menguat semakin hari. 

Genap 2 bulan aku singgah di dunia penuh kacau ini maka depresi akan menjadi makananku kelak. 

Hampir mulutku mengumpat kasar saat sebuah tangan menepuk pundakku lembut. 

"Je, wajahmu pucat sekali!" Raut wajah Mark semakin memburuk. Keningnya berkerut dalam dan aku tahu dia sedang mengkhawatirkanku. 

"Ikut aku!" Perintahku seraya menggeret pergelangan tangan Mark. 

Kami tiba di depan sebuah pintu. Kepalaku melongok ke kanan dan kiri memastikan bahwa tidak ada orang yang memperhatikan gelagat kami. Setelah merasa yakin tidak ada satu orang pun yang peduli dengan keberadaan kami, aku membuka pintu itu tanpa itu tanpa melepaskan Mark dan menariknya masuk ke sebuah ruangan dengan pencahayaan redup. Di dalam ruangan ini sangat pengap dan lembab. Samar-samar aku melihat beberapa sapu, alat pel, dan ember plastik tertata rapi menempel pada dinding-dinding. Luas ruangan itu hanya cukup untuk 5 orang berdiri tegak tanpa mampu meluruskan kaki-kaki mereka. 

"Je, kau kenapa?" Desak Mark. 

"Mark, aku memimpikannya lagi!" Tenggorokanku bergetar saat harus mengungkapkan mimpi yang terus berulang dan terus menerus menghinggapi alam bawah sadarku tanpa izin. 

"Masih suara yang sama?" Tanya Mark. 

Aku mengangguk cepat. 

Mark tampak berpikir keras dan aku hanya mampu menunggu pendapat darinya. 

Suasana dingin tiba-tiba saja melanda ruangan yang kami tinggali. Tengkukku berdiri begitu saja. Setiap saraf dalam tubuhku mendadak saling merapat guna menghangatkan diri. 

Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang