Part 1***
Kapal Tugboat itu memuat dua puluh orang lebih penumpang imigran gelap asal Malaysia menuju Indonesia. Saat mereka di tengah laut terjadi hujan badai yang cukup kuat disertai aksi kejar-kejaran polisi laut Malaysia memburu kapal tersebut.
Rahma merapatkan jaketnya ke tubuh mungil bocah yang ada dipelukannya. Bocah tujuh tahun itu kedinginan sekaligus ketakutan berada di atas kapal dengan kondisi hujan badai, Kapal itu terus terombang ambing dipermainkan ombak lautan.
Rahma melafazkan zikir dan doa disela isak tangisnya, ketakutan juga menderanya seandainya kapal ini tertangkap atau tenggelam di lautan, Rahma bergidik mengingat itu. Hanya pada yang maha kuasa dia menyerahkan hidup dan matinya. Dia terisak tak kala mengingat Tuhan, saat seperti ini dia baru ingat sang Pencipta yang selama ini diabaikannya.'Maafkan hamba, ya Allah, bisiknya takut.
Keinginan untuk bertemu Ibunya yang sedang sakit memaksa Rahma pulang kampung dengan pasport yang sudah kadaluwarsa, dia terpaksa jadi imigran gelap untuk sampai di kampung halamannya.
Rahma menatap gadis kecil dalam pelukannya dengan iba, tak ada lagi tangisannya, sepertinya di tertidur.
Gadis kecil itu bernama Prita, dia adalah anak yang dititipkan sahabat yang sekampung dengannya bernama Yasinta, mereka sama-sama menjadi TKW ke negeri tetangga karena tuntutan ekonomi keluarga yang kurang baik.Beberapa jam sebelumnya.
Tepat jam dua belas malam, terdengar ketukan lirih dari pintu kamar sewanya. Dia memang belum tidur, pikirannya masih melayang mengingat perjalanannya nanti, banyak cerita buruk yang didengarnya dari kasus imigran gelap. Namun bagaimana lagi, kepulangan ini tidak bisa ditunda lagi. Semua perlengkapan sudah siap tinggal menuju keberangkatan saja nanti malam.
Rahma membukakan pintu, tampak di luar berdiri sahabatnya Yasinta beserta gadis kecil di sampingnya.
"Yasinta? Ada apa tengah malam begini datang?" tanyanya heran. "Masuklah!" Segera Rahma mengunci pintu sambil melihat ke kiri dan kanan.
Yasinta duduk di tikar lusuh yang satu-satunya ada di rumah sewa Rahma. Merantau bukanlah hidup berfoya-foya, bisa makan serta tempat tinggal nyaman saja sudah lebih dari cukup.
"Aku dengar kau akan pulang, Ma? Bolehkah aku menitipkan anakku ini?" tanya Yasinta penuh harap.
Rahma melongo. "Kenapa memangnya, Sin? Bukankah kalian tak ada masalah di sini?" tanya Rahma pada wanita berusia dua puluh lima tahun itu.
"Aku tak sanggup lagi mengurusnya di sini. Tolonglah, Ma, Kamu tahu sendiri aku harus bekerja siang dan malam, sedangkan Prita kutinggal sendiri. Tetangga yang biasa tempatku menitipkan Prita kalau aku bekerja sudah pindah. Aku tak mau hal buruk terjadi padanya. Bang Saif sering datang sesukanya, itu juga membuatku takut dia melakukan hal yang tidak-tidak pada Prita," papar Yasinta sambil meraih kepala kecil itu dan mengecupnya dengan mata berembun.Rahma menghela napas. "Apakah Saif tahu akan hal ini?"
"Tidak, makanya aku sengaja membawanya tengah malam begini, biar dia tak curiga nanti akan ku katakan padanya kalau Prita main bersama anak Cik Sam." Yasinta membaringkan Prita di pangkuannya karena melihat gadis kecil itu mulai terkantuk-kantuk.
"Sini, di atas kasur saja, kasihan dia," ucap Rahma sambil membersihkan alas kasur yang acak-acakan karena ulahnya yang bolak balik memejamkan mata tapi tak bisa.
Yasinta mengangkat tubuh kecil itu ke atas kasur dan mengecupnya lama. Air mata ibu muda itu mengalir deras. Perasaannya hancur harus berpisah dengan buah hati tercinta.
Mata bulat berbulu mata panjang dan lentik itu terbuka."Mama, kenapa nangis? Kan Mama janji akan menjemput Ita kembali?" ucap gadis kecil itu terbangun karena terkena air mata sang Ibu.
"Oh, maaf sayang, Mama sedih saja harus berpisah denganmu. Sekarang tidur, ya, besok kan mau ikut onty pulang kampung," ajak Yasinta membelai kepala mungil itu.
Prita mengangguk, matanya kemudian terpejam dan tertidur bersama mimpi indahnya."Kau masih melakoni pekerjaan malam itu?" selidik Rahma.
Yasinta tak menjawab, dia sibuk membelai wajah putri kesayangannya itu."Kuharap kau segera mengakhirinya, toh pekerjaanmu di kedai Pak Cik Mujad sudah bisa mencukupi kebutuhanmu_" Tapi tidak untuk lelaki Bangla itu!" imbuh Rahma sedikit kesal.
Yasinta tetap tidak menjawab, dia hanya mendengarkan omelan Rahma yang sudah dianggapnya seperti saudara kandung itu.
"Apakah Ibumu sudah kau beritahu tentang hal ini?"
"Belum, nanti kamu saja yang bilang sama Ibukku.
Ini ada sedikit uang untuk biaya hidup Prita, nanti akan aku kirim uang sekali sebulan untuk biaya hidup Prita di kampung," ujar Yasinta seraya menyerahkan amplop putih cukup tebal itu pada Rahma.*****
"Syukurlah, polis air itu tidak mengejar lagi," ucap seorang pria yang duduk di samping Rahma pada rekan di depannya.
Rahma pun bersyukur. Wajahnya yang tadi pias kini beransur normal."Tapi cuaca belum bersahabat, kita tinggal berdoa, semoga kita semua selamat," ucap rekan pria itu. Rahma mengaminkan.
Malam semakin pekat, hujan badai masih mengombang ambingkan kapal tersebut. Para kru kapal dan ABK masih berjibaku mengendalikan kapal. Sementara Rahma berusaha menenangkan Prita yang terbangun kemudian menangis memanggil Mamanya.
"Cup... Cup... " Sayang, sebentar lagi kita sampai, ya. Prita tidur lagi, oke!" bujuk Rahma. Rahma meraih tubuh mungil itu dan mendekapnya sambil bersenandung kidung penghantar tidur.
Tepat jam dua dini hari, cuaca mulai membaik, mereka sudah memasuki kawasan perairan Indonesia. Rahma mengerjabkan matanya karena pancaran lampu kapal, dia sempat tertidur beberapa saat.
"Alhamdulillah, kita sudah sampai di pelabuhan," teriak Ibu-Ibu yang tadi meringkuk di pojokan kapal.
"Alhamdulillah!" Rahma juga berseru senang.
Satu persatu penumpang turun, begitu pula Rahma, dengan membimbing Prita, dia menyeret koper dan
sebuah tas keluar kapal.
Udara sejuk pagi menyambut kedatangannya di pelabuhan itu, kemudian dia menyewa taxi menuju terminal bus yang akan membawanya ke kampung halaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama, kapan pulang?
RomanceNasib seorang gadis cilik anak TKW Malaysia yang dipulangkan mamanya ke Indonesia karena alasan tertentu. Akan tetapi, mamanya berjanji akan menjemput kembali, sehingga dia terus menunggu. Namun, hidup di kampung halaman mamanya tidaklah mudah. Dia...