Mama, kapan pulang, Aunty?

1 1 0
                                    

***

Sudah beberapa hari ini, setiap melewati persimpangan yang membatasi desa dan desa tetangga untuk pergi mengajar mengaji, dari jauh Mayra selalu melihat seorang gadis cilik duduk di tepi jalan kecil seorang diri, seperti menanti seseorang yang akan datang.
Sepulang dari mengajar mengajipun Maura masih melihat gadis itu duduk di sana padahal magrib hampir menjelang.
Dengan mengendarai sepeda butut miliknya Mayra mendekat, dia penasaran melihat gadis kecil itu dari dekat dan baru kali ini dia melihatnya di desa ini.
Gadis kecil itu berkulit hitam manis dengan mata bulat dan bulu mata lentik dan rambut panjang tebal sepinggang, cantik! seperti wajah orang Asia Selatan yang sering di lihatnya di film-film Bollywood.

"Cantik, ngapain di sini? Sudah mau malam, lo, pamali di luar magrib." Mayra mengamati kaki telanjang yang berdebu itu.

"Mama kapan pulang, Aunty?" tanyanya membuat Mayra tertegun. 'Ini anak siapa ya? batinnya.

Seorang wanita paruh baya mendekati mereka.

"Dasar anak bandel, dicari kemana-mana, masih juga duduk di sini!" omel nek Mirah yang terkenal sebagai pencari kayu bakar dan berladang umbi-umbian di desa ini.
Di ujung desa ini ada sebuah hutan yang tak terlalu rimbun, di sanalah Nek Mirah mencari kayu untuk menyambung hidupnya bersama anak lelakinya yang masih betah melajang diusianya tak lagi muda.
Tapi sekarang mereka bertiga bersama kehadiran gadis kecil itu.

"Itu siapa, Nenek?" tanya Mayra penasaran. "Jangan di tarik, Nek, kasihan kaki nya luka kena kerikil kecil!" Mayra sedikit terpekik dengan aksi Nek Mirah yang menarik paksa tangan bocah kecil itu tanpa memperdulikan pertanyaannya.

"Itu cucunya, Ustazah," ujar seorang bapak yang kebetulan lewat." Itu anak si Yasinta yang jadi TKW di Malaysia, baru beberapa hari datang bersama Rahma anak bu Yuyun penjual ketoprak dekat mesjid.

Mayra baru ingat sejak beberapa hari yang lalu rumah bu Yuyun selalu ramai kedatangan tamu, rupanya untuk melihat Rahma yang datang dari luar negri.
Mayra menatap kepergian gadis kecil itu dengan perasaan kasihan.

*****
Prita menahan tangis saat Neneknya menjewer kuat kupingnya yang meninggalkan bekas merah.

"Kalau di bilang itu dengerin! Jangan, ya jangan, bikin malu saja!" omel Nek Mirah.

Wanita paruh baya itu meluruskan kakinya yang pegal.

"Sini, pijit dulu kakiku!" perintah Nek Mirah pada cucunya.
Prita menurut walaupun badannya terasa lelah karena seharian ini menolong Neneknya mencari kayu bakar, menyapu rumah, mencuci baju dan mencabut beberapa batang ubi yang akan dimasak untuk makan malam hari ini.

"Jangan makan nasi malam-malam, nanti kolesterol." Itu pesan sang Nenek jika Prita bertanya kenapa kita tidak makan nasi kalau malam.

Nek Mirah menatap wajah kecil yang kelelahan itu masam, walaupun dalam hatinya merasa iba, tapi semua dikalahkan dengan kemarahannya pada Ibu Prita. Yasinta yang tak pernah memberi kabar atau berkirim uang.

"Untuk apa merantau kalau kamu tak mengirim uang untukku," ucapnya saat Yasinta pernah menelpon sekali pada ponsel anak Pak Rt. Dia semakin berang dengan kehadiran Prita, seolah kemarahannya tersalurkan.

"Sudah, sana! Cuci muka, makan dan tidur. Besok pekerjaan banyak," usirnya pada Prita.

Gadis kecil yang sudah cantik di usianya sekarang itu berdiri dan beranjak menuju kamarnya dan sang Nenek.
Setelah cuci muka dan makan sepotong ubi, Prita pergi tidur. Dia tak berganti pakaian karena baju yang kemarin masih basah.
Baju Prita hanya tiga potong. Satu di badan, satu dicuci dan satu buat esok.

Dalam keheningan malam dan suara klentang klentong panci yang dicuci sang Nenek, air mata Prita meluncur turun.

"Mama, kapan pulang? Prita rindu," Gumannya sendu.

Dia ingat sang Mama yang tak pernah membolehkannya bekerja membantu pekerjaan rumah, terbalik dengan sekarang. Hampir semua pekerjaan diajarkan Nenek, kalau salah Prita akan dicubit atau dipukul. Kalau cuci baju tak bersih, dia tak dapat jatah makan siang.
Tapi Prita tidak mengeluh, dalam hatinya selalu ada harapan Mamanya akan datang menjemput.

*****
Pagi menjelang, Nek Mirah sudah bangun dari sebelum subuh tadi, dia memasak air dan nasi untuk dibawa ke ladang. Rencananya dia akan panen ubi untuk dijual ke pasar. Di tengok nya kamar Trisno masih tertutup.

"Dasar kebo! Jam segini masih tidur," omelnya.
Trisno biasa bangun siang, dia bekerja pada juragan tanah di desa ini, sebagai penggarap.
Dia memasuki kamarnya. Dilihatnya Prita masih bergelung di bawah selimut usang.

"Hei! Bangun, Sudah siang!" bentaknya seraya menggoyangkan tubuh kecil Prita.
Prita menggeliat dan buru-buru bangun kala melihat wajah marah di depannya. Segera dia ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dengan masih menahan rasa kantuk, Prita mencomot sebongkah ubi untuk sarapan. Tak ada nasi pagi ini, hanya ubi sisa semalam.

"Buruan! Kita harus ke ladang, panen ubi, sebelum jam delapan ubi itu harus sampai ke pasar," terangnya.

"Nek, sandal Prita kemarin putus, bisakah belikan sandal baru?" tanyanya tak berani menatap wajah sang Nenek.

"Tak ada sandal baru! Ubi saja belum tentu laku, kamu sudah minta ini, minta itu. Buruan! Kita   harus cepat sampai,"

Di luar masih gelap, Prita mengikuti langkah panjang Neneknya, sekali-sekali kaki kecilnya tersandung batu karena jalan masih gelap ditambah dia harus mengejar langkah Neneknya dengan kaki telanjang.
"Aduh, Nek! kaki Prita berdarah!" pekik Prita dengan air mata berlinang.
Nek Mirah menghentikan langkahnya. Dia melirik sedikit kearah kaki Prita yang mengeluarkan darah, sepertinya dia terinjak sesuatu. Dengan malas diperiksanya juga kaki kecil itu. sebilah kaca menancap ditelapak kaki Prita. Dia bergidik sendiri.

"Tahan sakit! Akan ku cabut kacanya dulu," ujarnya seraya menarik kaca itu.
Prita menjerit kesakitan. Diambilnya rumput hijau yang tak jauh dari situ, mengunyahnya dan meneteskan air berwarna hijau itu ke telapak kaki Prita.

"Sudah, nanti sembuh itu." Nek Mirah kembali berjalan, dengan tertatih menahan nyeri Prita mengikutinya.

Mama, kapan pulang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang