Prolog

8 4 0
                                    

Langit malam itu tampak mendung. Hanya ada dua-tiga bintang yang menampakkan cahayanya yang hampir redup dari pandangan. Tidak lama lagi sepertinya hujan akan turun. Entah untuk bersahabat atau sekedar menjatuhkan beban-beban yang tidak lagi dapat ia bendung di atas sana. Seorang gadis duduk termenung di balik jendela kamarnya. Menampakkan kesan dingin, sedingin hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Ia memeluk lututnya dan menopang dagunya disana. Tatapannya menerawang jauh kedepan. Tatapan yang menyiratkan kesedihan, kehampaan,  kekosongan dan luka yang mendalam. Rambutnya yang terurai ia biarkan melambai tertiup angin.

Nadin, remaja berusia 16 tahun baru saja kehilangan adiknya tercinta. Padahal baru kemarin Agil merengek meminta jalan-jalan di alun kota. Semua detik-detik terakhir bagaimana Agil pergi untuk selamanya membuat Nadin hampir depresi. Ia kecewa pada papanya, kecewa pada mamanya,  kecewa pada kakaknya dan dirinya sendiri. Semua orang egois.

Perlahan bulir bening itu kembali mengalir indah di pipinya. Memikirkannya membuatnya semakin sesak. Seperti pertama kali merasa kehilangan.

Praaang....
Suara piring pecah terdengar dari luar membuyarkan Nadin dari sedihnya. Ia segera mengusap sisa-sisa air matanya dan beranjak dari kamar.
"Ini semua salah Papa. Kalau Papa tidak egois waktu itu, kalau saja Papa tidak lebih mementingkan perasaan sendiri, semua ini tidak akan terjadi. Agil pergi. Selamanya. Selamanya Pa..." Teriakan frustasi Aleta-mama terdengar dari dapur. Nadin berdiri di pintu masuk yang memisahkan antara dapur dan ruang keluarga. Berdiam menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya.

"Mama boleh menyalahkan papa karena egois. Tapi kepergian Agil itu sudah takdir, Ma" Sanggah Ryan-papa tidak terima.
"Oh, jadi kepergian Agil itu takdir? Dan kamu baik-baik saja? Bahkan kamu tidak terlihat sedih sekarang. Hiks..." Tanya mama masih dengan tangisnya.
"Papa sedih, Ma. Sangat sedih. Tapi tidak seperti ini caranya. Disini kamu yanga egois." Jawab Papa dingin. Ia kemudian beranjak dari kursi yang sedari tadi ia duduki.
"Kamu yang egois. Oh,,, atau mungkin beselingkuh itu juga takdir?" Aleta terdengar serak menahan tangisnya.
"Jaga omongan kamu, Aleta." Pinta Ryan.
"Aku hampir kecewa pada Tuhan." Kata mama berlalu mendahului papa. Mama melirik Nadin sekilas kemudian menuju kamar.
Brakk...
Ia menutup pintu dengan kasar. Sementara Ryan berjalan keluar rumah. Dan menghilang entah kemana.

Nadin hanya diam terpaku ditempatnya. Air matanya kembali mengalir deras dalam diam. 'Selalu saja begitu. Bahkan di saat seperti ini' batinnya. Nadin kembali ke kamarnya. Bersamaan itu, hujan turun deras seolah memahami apa yang sedang Nadin rasakan. Ia kembali pada posisinya. Duduk didekat jendela yang ia biarkan terbuka. Ia tidak tahu harus apa. Ia hanya ingin menangis bersama alam.

It's not about Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang