4

1 3 0
                                    

Happy reading....

"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" Tanya Ryan saat dokter itu selesai memeriksa Aleta.

"Pasien baik-baik saja. Pasien sepertinya mengalami keleIahan hanya perlu beristirahat lebih dan jangan terlalu banyak berpikir."

"Ini resep obatnya." Dokter tersebut menyerahkan selebaran kertas pada Ryan.

"Kalau begitu, saya permisi yah. Masih ada pasien yang harus saya tangani."

"Baik pak, terimakasih." Ryan mengantarkan dokter tersebut sampai pintu depan.

Nadin beralih duduk di sebelah Aleta yang sudah siuman sejak beberapa menit yang lalu. Nadin menggenggam tangan Aleta. Mata Nadin berkaca-kaca. Ia merasa trauma dengan kepergian Agil. Sehingga ia benar-benar takut pada kondisi yang tidak baik-baik saja.

"Mama gapapa sayang. Jangan nangis." Aleta tertawa kecil melihat putrinya begitu khawatir.

"Mama cuma kecapekan. Gak usah nangis lagi. Gak boleh cengeng."
Nadin memeluk Aleta menyembunyikan mukanya yang sudah merah.

"Nadin takut ma. Nadin gak suka mama sakit."

"Iya, nanti  mama minum obat kan biar sembuh."

Ibu dan anak itu saling berpelukan. Nadin rindu bermanja dengan mamanya. Rasanya sudah lama tidak seperti ini.

Clekk...
Pintu kamar terbuka menampilkan Ryan dengan bingkisan di tangannya. Tadi Ryan langsung ke apotek setelah mengantar pak dokter ke pintu depan. Nadin segera melepas pelukannya dan turun dari kasur.

"Nadin ambilin bubur dulu yah, Ma. Tadi Nadin udah masak."

"Sekalian papa ikut ke dapur. Lapar juga." Ryan menyusul Nadin ke dapur.

"Papa jangan keluar dulu yah malam ini. Papa di rumah aja kan mama lagi sakit. Nadin takut kalau terjadi apa-apa lagi."
Ryan menoleh ke arah Nadin yang tengah menyiapkan makanan untuknya. Ryan hanya mengangguk.

"Papa makan sendiri yah, Nadin mau bawain bubur dulu buat mama." Pamit Nadin kemudian membawa nampan menuju kamar Aleta.

***

"Lama banget sih lu. Dari mana aja?" Sambar Vano saat Andra muncul dari balik tenda. Andra seharusnya tiba sejak sore tadi. Namun kejadian di rumah Nadin membuatnya terlambat sampai di lokasi.

"Habis ketemu si mantan kali, minta balikan. Hahah " Alice ikut nimbrung, pacar Vano yang juga ikut camp mereka.

"Lah? Alice lu ngapain ikut?" Tanya Andra sedikit tidak nyaman.

"Emang kenapa sih, gak gue apa-apain juga." Jawab Alice.

"Lu emang gak ngapa-ngapain, tapi si Vano tuh awas lu sampe diapa-apain." Jelas David.

"Ish apasih. Kan ada lu juga, udah ngomong sama mama tadi. Kalian bertiga tanggung jawab." Alice mengomel sendiri. Pasalnya Alice adalah adik sepupu David dan David lah yang meminta izin pada mama Alice agar diizinkan ikut camp mereka.

Andra memilih duduk menyendiri. Menatap pemandangan kota di malam hari dari atas bukit. Meski belum bisa menerima keputusannya dengan Alya, namun ia juga tidak bisa menerima bagaimana Alya terlalu pandai mempermainkannya. Lebih satu tahun hubungan mereka berjalan. Andra tak pernah terpikirkan akan seperti ini. Andra sudah terlalu percaya  hingga akhirnya terlalu kecewa. Tak ingin kembali terlarut dalam pikiran yang melemahkannya, Andra membuka handphonenya berniat mengambil gambar. Sementara Vano, David dan Alice sedang menikmati jagung bakar.
"Jangan menyendiri terus, Ndra. Ntar lo kesurupan kan gak lucu." Teriak Alice yang berada agak jauh dari Andra. Andra hanya menoleh sambil tertawa kecil. Ia membayangkan bagaimana jadinya jika Andra benar kesurupan.

Andra kembali fokus pada ponselnya. Ia membuka akun whatsappnya. Melihat beberapa pesan yang menurutnya tidak penting untuk dibalas. Ia mebuka menu story dan yang teratas terlihat nama Nadin. Tanpa berpikir lama ia segera menekan video callnya. Namun lama berdering tak ada jawaban. Andra pun menghentikan aksinya. Pikiran Andra kembali pada masa dimana Nadin tiba-tiba histeris. Andra berpikir apakah mamanya Nadin punya penyakit berbahaya.

Drett..drett..
Getaran di tangannya membuatnya tersadar. Rasa tak percaya ia melihat nama Nadin tertera di layar ponselnya. Andra mengira bahwa Nadin sengaja tidak mengangkat teleponnya.

"Halo, Andra. Ada apa? Tadi waktu kamu nelpon gak kedengaran soalnya aku lagi di luar." Andra tersenyum mendengarnya. Nadin selalu saja to the point.

"Iya, maaf jadi ngeganggu." Balas Andra.

"Nggak kok. Ada apa memangnya?" Tanya Nadin lagi.

"Aku cuma mau nanyain mama kamu gimana keadaannya? Soalnya tadi aku liat kamu khawatir banget sampai histeris gitu. Aku mikirnya mama kamu punya riwayat... Maaf kalau menyinggung." Jelas Andra.
"Mama gapapa. Tadi udah dipanggilin dokter sama papa. Katanya kelelahan. Makasih buat yang tadi."

"Iya santai aja. Syukurlah kalau mama kamu baik-baik saja." Lanjut Andra.

"Kamu nelpon cuma buat nanyain itu?" Tanya Nadin memastikan.

"Eh i.. Iya sih. Emang kenapa? Gak boleh?" Tanya Andra kembali.

"Ya boleh. Jaket kamu bersih kok, gak ada lecet-lecetnya." Andra terkekeh mendengar penuturan Nadin yang terdengar polos.

"Iya." Jawab Andra singkat.

"Kalau begitu sudah dulu ya. Selamat malam."

"Selamat malam"

Sambungan telepon terputus. Andra terkekeh pelan menyadari dirinya sendiri akhir-akhir ini lebih tertarik memikirkan Nadin. Ia lalu bangkit ikut bergabung dengan yang lain menikmati jagung bakar yang sudah mulai dingin.

"Udah mendingan?" Tanya David. Andra mendengar itu lebih seperti ejekan daripada perhatian.

"Habis telponan sama siapa sih? Udah ada obat nih kayaknya. Hahah..." Goda Alice.

"Berisik." Andra hanya fokus menyantap jagung bakarnya.











Masih semangat nulis, meskipun gak disemangatin ayang...
🤣

Halo readers...
Untuk kamu yang baca cerita ini, sesekali sapa aku balik dong di komen . Masa iya aku nyapa terus, gak ada yang nyapa balik.

Terus semangat readers....

It's not about Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang