1. Big News

12 4 2
                                    

Langit pagi ini begitu cepat berubah warna menjadi kelabu. Padahal beberapa saat yang lalu, matahari masih terlihat gagah di ufuk timur. Udara di sekitar berembus dengan kecepatan meningkat, menerbangkan butir-butir debu dan beberapa daun kering ke segala arah.

Naya mempercepat langkah menuju warung makan untuk membeli bekal terlebih dahulu. Karena bangun terlambat, jangankan untuk sarapan, sekadar memasak saja Naya tidak sempat.

Di saat seperti ini, Naya merasa sedikit beruntung karena bekerja di tempat yang tidak jauh dari tempat kos sehingga tidak perlu merasakan kemacetan lalu lintas pada jam kerja, ataupun harus berdesakan di dalam kendaraan umum.

"Nay ... Naya ...."

Seseorang memanggil Naya dengan suara kencang. Perempuan itu segera mendongak, mengalihkan pandangan dari jalan aspal yang dilalui untuk mencari sumber suara.

Dari kejauhan, terlihat Laras sedang berjalan mendekat ke arah Naya. Perempuan berusia 20 tahun itu terlihat begitu bersemangat. Sorot matanya tampak berbinar menatap Naya dengan senyum riang, juga dengan gaya centilnya.

Naya melihat Laras pagi ini lebih cantik dari biasanya. Rambutnya yang lurus ditarik sebagian ke belakang, menonjolkan wajahnya yang oval.

Naya tersenyum ketika Laras telah sampai di hadapan. Melihat napasnya yang tersengal-sengal membuat Naya refleks menghentikan langkah dan menyorongkan air mineral yang baru saja dibeli ke arah Laras.

"Ada apa, sih?" Naya bingung dengan tingkah Laras. Tidak biasanya Laras menyusulnya saat belum sampai di kafe.

Laras mengatur napas sedemikian rupa sebelum akhirnya membuka suara. "Capai juga," tuturnya. "Udah tahu, belum? Denger-denger, Pak Husain mau pindah ke luar Jawa. Dan manajer baru kita nanti, katanya masih muda, Nay. Denger-denger lagi, cakep gitu orangnya. Aku jadi penasaran!" celoteh Laras panjang lebar. Ada raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya.

Naya berdecak sambil mengangkat sebelah alisnya. "Kamu denger dari siapa? Lagian, Pak Husain mau pindah malah kamu seneng. Tega, ya."

Bukannya merasa bersalah, Laras justru meringis mendengar tanggapan Naya. Tanpa menghiraukan Laras, Naya mulai melangkahkan kaki. Laras pun mengekor.

"Tadi Pak Husain sendiri yang cerita, Nay." Laras mensejajarkan langkahnya dengan Naya. "Katanya sih, mulai Senin depan Pak Husain udah nggak di sini. Jadi, Senin depan beliau udah digantikan sama manajer baru ...," lanjut Laras.

Naya manggut-manggut.

"Hari Sabtu nanti, Pak Husain ngajakin kita makan-makan bareng," ucap Laras semringah. "Tapi kalau dipikir-pikir, sayang juga ya, kalau Pak Husain pindah. Nanti nggak ada yang traktir kita lagi, dong ...," lanjutnya dengan wajah sedikit murung.

Naya menggeleng-geleng mendengar ucapan Laras. "Berdoa aja! Semoga manajer baru kita nanti nggak kalah baiknya sama Pak Husain."

Laras tersenyum sendiri, mengingat apa yang telah disampaikan Pak Husain kepadanya. "Kata Pak Husain sih, manajer penggantinya juga baik. Cakep, pula!" ucap Laras seolah tidak sabar menanti kedatangan sang manajer pengganti.

Dalam perjalanan menuju cafe yang masih tersisa beberapa langkah lagi, Naya menepis segala pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran. Toh, nanti juga akan tahu sendiri jawabannya.

Dari kejauhan, tampak Pak Husain menggeleng sambil berkacak pinggang. "Kalian ini mau kerja atau jalan santai? Jam berapa, ini?" tanyanya sambil menunjuk jam yang melekat di pergelangan tangan kanannya.

Naya dan Laras hanya meringis malu mendengar teguran Pak Husain yang tidak pernah terlihat memarahi bawahan.

"Maaf, Pak. Tadi mampir beli makanan dulu," ujar Naya seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Pasti kamu beli sambal hejo lagi, ya?" tebak Pak Husain saat melihat kantong plastik yang menggantung di pergelangan tangan kiri Naya.

Naya meringis mendengar tebakan Pak Husain yang tepat.

"Ya sudah, ya sudah." Pak Husain mengibaskan tangan. "Buruan masuk! Kerjaan belum beres loh, keburu buka. Kalian malah asyik jalan santai," omel Pak Husain yang sama sekali tidak menampakkan amarahnya.

"Baik, Pak. Permisi," ucap Laras. Ditariknya lengan Naya.

Dengan sedikit membungkukkan badan, Naya dan Laras berjalan melewati sang manajer.

***

Suasana kafe semakin ramai ketika Naya hendak keluar karena jam kerjanya telah usai. Pelayan yang menggantikannya bekerja bagian shift sore sudah terlihat hadir dan mengisi presensi.

Sebelum memasuki ruang pegawai, Naya melihat Vicko, sang barista yang melambaikan tangan ke arahnya. Perempuan itu hanya membalas dengan senyum.

Sejak pertama Naya bekerja di kafe, Vicko sudah mulai menunjukkan rasa kagum terhadapnya. Akan tetapi, perempuan itu sama sekali tidak menggubris. Dia menganggap Vicko tidak lebih dari seorang teman.

Laras yang sempat melihat Vicko melambaikan tangan ke arah Naya, merasa penasaran kenapa Naya tidak pernah menanggapi lelaki itu. Padahal yang Laras tahu, Vicko benar-benar jatuh hati terhadap Naya.

"Nay," panggil Laras.

"Hmmm," sahut Naya sambil membuka loker dan mengambil tas yang disimpannya sejak pagi.

Laras mendekati Naya sebelum akhirnya membuka suara. "Kenapa sih, kamu cuekin Kak Vicko?"

Naya duduk di lantai yang beralaskan karpet untuk tempat istirahat para pegawai kafe. Diraihnya gawai yang sejak pagi bersemayam di dalam tas.

Merasa pertanyaannya tidak dihiraukan, Laras menyusul duduk di samping Naya.

"Nay ...." Laras menyiku lengan rekan kerjanya.

"Apa?" tanya Naya yang akhirnya menoleh menatap Laras.

Laras berdecak. "Tadi aku udah nanya loh, Nay," gerutunya.

Naya kembali memusatkan pandang pada gawai yang berada dalam genggaman. "Aku nggak bisa, Ras .... Kalau kamu mau, ambil aja seluruh perhatian Kak Vicko, biar semua buat kamu aja," jawab Naya datar.

Perempuan centil yang selalu menguncir rambutnya seperti ekor kuda itu langsung mencubit pinggang Naya.

"Aduh!" Naya beringsut kesakitan. Dia kembali menoleh ke arah Laras.

"Aku serius, Nay."

"Aku lebih serius, Larasati Rasyadiii ...."

Mendengar nama lengkapnya disebut, Laras mengurungkan niatnya untuk kembali menanyakan perihal Vicko kepada Naya. Dia hapal betul jika Naya menyebut nama lengkapnya, itu berarti Naya bersungguh-sungguh dan tidak bisa diajak bergurau.

"Kamu ... udah punya gebetan, ya?" tanya Laras hati-hati. Dia takut pertanyaannya akan menyinggung perasaan Naya.

Naya yang sedang memusatkan perhatiannya pada layar gawai, hanya menggeleng sebagai jawaban.

Laras menghela napas panjang. "Aku salah ngomong, ya?" Laras tampak menyesal. "Setiap kali aku bahas Kak Vicko, sepertinya kamu nggak pernah suka," celotehnya kemudian.

"Sekeras apa pun Kak Vicko berusaha mengambil perhatianku, tetap nggak akan bisa, Ras. Ada nama lain yang udah terukir di dalam sana."

Naya memasukkan gawai ke dalam tas sebelum akhirnya beranjak. "Aku duluan, ya? Bye ...," ucapnya sambil berlalu tanpa memberi kesempatan Laras untuk berbicara kembali.

Naya melangkahkan kaki keluar kafe dengan muka masam. Tidak dihiraukannya beberapa teman yang melambaikan tangan dari dalam saat melihatnya keluar.

Langkah gontai mengiringi perjalanan sampai Naya tiba di perempatan jalan. Dia menunggu lampu lalu lintas berubah merah supaya bisa menyeberang dengan leluasa. Namun, begitu lampu merah menyala, Naya tidak kunjung melanjutkan langkah. Tatap matanya tertuju pada seorang pengendara di dalam sebuah mobil berwarna hitam yang sedang berhenti.

Naya membeku di tempatnya berdiri. Rasa sesak memenuhi rongga dada, wajah pun memanas begitu menyadari siapa sosok yang dilihat. Naya tidak percaya, tapi ini nyata. Dia benar-benar melihatnya di depan mata. Ingin sekali Naya memanggil namanya, tapi urung ketika lampu manyala hijau dan mobil hitam itu menjauh pergi.

Love and SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang