1

40.7K 3.8K 319
                                    

Ada sesuatu yang berbeda pada malam hari ini.

Mungkin penerangan dari luar jendela kedai seluas 45 meter persegi dengan tembok bata putih itu yang terlihat padam, papan gantungan di depan pintu kaca yang menerangkan kata Closed meski baru pukul tujuh malam, atau lampu gantung bertuliskan Watari di samping pintu masuk yang dimatikan.

Area parkir di depan kedai terlihat lenggang. Tidak ada kendaraan roda empat di sana, hanya motor para pegawai Watari yang terparkir di sudut kedai.

Penampilan Watari yang sunyi itu, jelas terlihat kontras dengan bangunan coffee shop di samping kanan dan bakery di samping kirinya yang ramai. Mungkin ada sesuatu yang terjadi hari ini.

***

Nyatanya, kesunyian yang terlihat dari luar kedai berbanding terbalik dengan keadaan di dalam.

Enam orang berseragam putih tengah berkumpul di dapur dengan wajah berseri. Senyuman dan tawa canda meluncur dari bibir mereka, sebagian besar untuk mengelu-elukan Chef Daman yang diyakini mereka bakal jadi pemilik baru Watari.

Hari ini, Watari memang sengaja tutup untuk tujuan satu itu.

Thaddeus Raka, pemilik kedai Jepang sederhana ini mengumumkan bahwa dia tak lagi ingin meneruskan kepemilikannya atas Watari. Alasannya tidak diungkapkan. Bisa saja jenuh, atau merasa kurang tantangan, karena Watari hanya sekeping debu dari semua aset kekayaan milik keluarganya. Watari tak lebih dari sebuah rumah makan kecil yang dibeli Thaddeus Raka untuk alasan nostalgia belaka. Sekarang, mungkin sang pengusaha itu sudah bosan.

Champagne sudah disiapkan di meja dapur. Jarum jam sudah menunjukkan lima menit lewat dari pukul tujuh. Saat itu, Daman sudah semakin kewalahan meladeni kelima pegawai juniornya yang terus mengejeknya dengan panggilan 'bos'.

"Sudahlah. Hentikan." Garis keriput menekuk di kedua sudut mata Daman. Senyumannya merekah lebar.

Sudah dua puluh tahun lebih Daman mengabdikan diri di Watari. Saat itu Rusli Adenan, sahabat lamanya yang mencintai kuliner Jepang, mengajaknya bergabung di kedai kecil yang dibangunnya. Hanya mereka berdua yang mengerjakan segalanya. Daman di balik dapur, Rusli melayani pelanggan. Saat itu segalanya terasa mudah dan menyenangkan.

Lalu Rusli mulai sakit-sakitan dan tak mampu lagi menjalankan bisnis restoran kecil ini. Sejak saat itulah kepemilikan Watari diambil alih oleh Thaddeus Raka, salah satu pelanggan setianya.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa Rusli tidak menurunkan kepemilikan Watari kepada Daman. Saat itu Daman tidak siap. Ia masih ingin bekerja di balik dapur tanpa harus susah payah mengurusi administrasi atau keuangan yang tidak ia mengerti.

Maka hampir lima tahun Watari menjadi milik Thaddeus Raka, sebelum akhirnya kemarin malam sang pengusaha itu mendatangi mereka semua dan mengatakan bahwa sudah saatnya ia mengundurkan diri.

"Besok malam, saya akan mengumumkan siapa pemilik baru Watari."

Maka berkumpullah semua orang di dapur kecil ini.

Tepat pukul tujuh lewat sepuluh menit, langkah kaki yang anggun terdengar sayup-sayup membelah lantai kedai berlapiskan keramik tua itu. Semua wajah menoleh ke pintu dapur, melihat sosok Thaddeus Raka akhirnya muncul.

Di usianya yang sudah menginjak 34 tahun, sosok Thaddeus Raka menyiratkan kesan gagah dan matang. Setelan jas mahal tidak pernah absen dari penampilannya. Kulitnya pucat, postur tubuhnya tinggi dengan bahu lebar, garis rahangnya tegas dengan sorot mata tajam dan bibir tipis yang jarang terlihat mengurai senyum. Rambut pendeknya terlihat praktis tanpa harus banyak ditata.

"Malam, Pak Thaddeus."

"Malam," Thaddeus Raka mengangguk singkat. "Sudah berkumpul di sini semuanya?" Tidak banyak senyum dan tidak gemar berbasa-basi, seperti biasa.

"Sudah, Pak." Jawab beberapa pegawai di sana.

"Singkat saja, ya, karena saya masih harus pergi setelah ini." Thaddeus mengusap dagunya yang bersih. Pandangannya menyapu sudut dapur Watari sekilas, tampak seolah-olah ingin bernostalgia, walau mungkin juga hanya basa-basi. "Pertama kali saya masuk ke kedai kecil ini, kira-kira delapan tahun lalu. Betul, Chef Daman?"

Daman mengangguk mengiyakan.

"Sejak Chef Rusli berpulang, saya diberi tanggung jawab mengurusi Watari, sampai pada hari ini. Saya merasa telah mengecewakan beliau karena kesibukan saya. Rasa-rasanya Watari jadi terbengkalai. Oleh karena itu, merupakan keputusan yang tepat untuk memberikan Watari bagi orang yang lebih pantas."

Beberapa pasang mata menoleh terang-terangan kepada Chef Daman.

Sang chef senior itu pun tidak mampu menahan senyumannya. Jika dulu ia belum siap mengambil alih Watari, maka sekarang ia telah siap. Kedai ini, dan segala sejarahnya, sudah menjadi bagian dari seluruh hidup Daman. Tidak ada yang lebih mengerti Watari selain dirinya.

Watari adalah Daman. Daman adalah Watari.

Thaddeus bergeser sedikit dan mempersilakan perempuan muda yang sejak tadi mengikutinya untuk maju ke depan. Telapak tangan Thaddeus mendarat di belakang pinggang sang perempuan, mendorongnya maju dengan pelan.

Perempuan itu masih terlihat sangat muda. Tubuh rampingnya terbalut kemeja hitam satin dengan celana jins simple. Rambut panjangnya tergerai melewati bahu. Wajah cantiknya yang bersih terbingkai rambut poni menyamping, sepasang alis tebal, dan hidung mancung. Garis bibirnya yang menyunggingkan senyum tampak sangat kontras dengan sosok Thaddeus Raka.

Thaddeus memandang semua orang. "Anak asuh saya, Sersha, yang akan menggantikan saya. Saya harap kalian bisa mengajarinya banyak hal, dan kalian bisa bekerja sama."

Senyuman-senyuman di wajah keenam pegawai Watari sirna sedikit demi sedikit. Mata-mata itu memandangnya bingung, sepenuhnya tidak mengerti, apalagi menyangka, bahwa hal ini akan terjadi.

Apa-apaan ini? Mengapa bukan Daman? Mengapa perempuan asing yang tidak jelas itu, yang mengambil alih kepemilikan Watari?

Di sisi meja pemotongan sushi, Daman hampir terperosok jatuh. Jantung pria paruh baya itu seperti diremas. Seakan anak tunggal satu-satunya, baru saja dirampas paksa dari dirinya.

Tanpa banyak berbasa-basi memperkenalkan diri, perempuan muda itu melemparkan senyum hangat kepada semua sosok di dapur. Hanya seuntai nama yang meluncur dari bibir kemerahan itu. Sersha. Tidak ada satu pun yang pernah melihatnya singgah di Watari.

Tatapan perempuan itu menyapa wajah-wajah bingung di hadapannya, satu per satu. Lalu pandangannya mendadak terhenti di satu wajah di sebelah Daman. Sang pemilik baru Watari berhenti lama menatap laki-laki itu, tatapannya turun membaca nama Sato yang terbordir di dada kanan seragam putihnya.

Kemudian senyumannya semakin lebar.

Namun, sesuatu seakan menyadarkannya, dan membuatnya mengalihkan pandangan dengan senyum yang tertelan canggung.

***

Hoaaaaaa akhirnya kita bertemu lagiiiii.
Numpang catet tanggal dulu ya : 30 Maret 2022.

Baiklah.
Yang pertama, sudah pasti cerita ini masuk ke genre mati lampu, alias mengandung unsur mature dan tidak disarankan untuk pembaca di bawah 17 tahun.

Kedua, para tokoh di sini (baik male lead maupun female lead) tidak perlu dicari-cari moralitasnya, daripada kalian kecewa.

Ketiga, cerita ini bakal lama updatenya. Jadi mohon bersabar ya 🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

For All the WanderersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang