25

9.5K 2.5K 255
                                    

Sersha serius, saat mengatakan tidak banyak yang tahu ia pandai menggambar. Saat masih kecil, Ibu sering meminjamkannya komik-komik bekas milik anak temannya. Ia bisa menghabiskan seluruh harinya hanya dengan mengagumi gambar-gambar indah itu dan belajar menirunya. Di usia tujuh tahun, Sersha sudah mulai membuat komik sendiri dengan cerita Serigala dan Tiga Anak Babi. Meski ceritanya dimodifikasi dengan Tiga Anak Babi yang akhirnya merasa kasihan pada Serigala, lalu mengundangnya masuk ke rumah dan menjamunya makan.

Ibu tertawa kala itu. Beliau berkata, Tiga Anak Babi terlalu baik dan polos, bagaimana kalau ternyata setelah masuk ke rumah, sang Serigala justru memakan habis semua Babi?

Sersha berkata mungkin Serigala tidak sejahat itu, dia cuma butuh teman, bisa jadi setelah Tiga Anak Babi berbuat baik padanya, Serigala akan sadar lalu bertobat.

Sersha usia tujuh tahun dengan segala kepolosannya.

Kini di usianya yang ke dua puluh dua, ia sadar dunia memang tidak selalu diisi oleh kebaikan. Ada kalanya, jika sebuah kebaikan terjadi di luar akal sehat, manusia patut mempertanyakan kecurigaannya.

Serigala tetaplah serigala, jangan berbaik sangka dengan menjamunya masuk ke dalam rumah.

"Kamu tahu? Dari sekian banyak hal yang pernah diajari Ibu ke aku, hal apa yang paling aku ingat?" Sersha menurunkan buku dengan sketsa wajah Ibu hasil gambarnya, dan meletakkannya ke samping tangan Ibu yang tidak bergerak.

Thaddeus, yang sudah berdiri di ambang pintu kamar sejak semenit yang lalu, kini melangkah masuk dan menutup pintu.

Sersha beranjak dari kursinya untuk berbalik memandangi Thaddeus. Dua tangannya terlipat di belakang pinggang.

"'Jangan takut berbuat salah, karena hidup akan selalu menawarkan kesempatan kedua'." Sersha memandang Thaddeus datar, tidak menampakkan reaksi terhadap memar di wajah maupun perban di kepalanya. Suaranya meluncur dingin. "Aku harap, Ibu juga mendapat kesempatan keduanya, setelah kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap dia."

Untuk sekian lama Thaddeus menatapnya pilu, lalu menunduk dengan tetap berdiam diri.

"Aku belum beri tahu siapa pun tentang kamu, bahkan pada ayah aku yang polisi, karena aku mau mendengar penjelasan langsung dari kamu."

Thaddeus mengangkat kepala dan maju selangkah, namun langsung berhenti begitu melihat Sersha mundur selangkah.

Pemandangan itu menyakitkan hati Thaddeus. Meski alam bawah sadarnya selama berhari-hari ini telah mengirimnya peringatan, bahwa hal seperti ini bakal terjadi.

Pengakuan itu pun meluncur sampai ke ujung lidahnya, meronta-ronta meminta dimuntahkan.

"Jonas, adik aku, memakai kokain di malam itu," ujar Thaddeus pelan. "Dia memukul pacarnya, Lila, di dalam mobil, lalu ibu kamu datang dan berusaha memisahkan mereka. Jonas memaksa diri untuk menyetir dengan kondisi dia yang kacau, dan dia menabrak ibu kamu. Aku, yang membawa ibu kamu ke rumah sakit."

Kedua mata mereka saling bertemu. Namun, kali ini tidak senyum membias di wajah Sersha.

"Dan selama ini—"

Thaddeus lekas memotongnya. "Selama ini, apa pun yang aku perbuat ke kamu, semuanya nyata."

"Termasuk merahasiakan adik kamu dan melindungi dia dari hukuman."

Lidah Thaddeus berubah kelu. "Sersha ... dia adik aku."

"Dan wanita yang dia celakakan adalah ibu aku."

Thaddeus mengatup bibir dan menatap Sersha dengan perasaan hancur. Ia bisa membaca segalanya dari mata cokelat jernih itu; kemarahan, kesedihan, dan pengkhianatan. Bagi Sersha tidak ada yang lebih menyakitkan saat ini, selain semua kebohongan yang telah diperbuatnya.

For All the WanderersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang