8

11.7K 2.7K 481
                                    

Irama dangdut koplo menyambut Sersha begitu pintu Watari terbuka. Di tengah kedai, Asura tengah berjoget sambil mengenakan outer kimono lengkap dengan hachimaki—ikat kepala khas Jepang. Tubuhnya menungging dengan lengan dijulurkan ke bawah lutut, pinggul menghentak-hentak, lengannya meliuk-liuk.

Kai merekam semuanya dengan ponsel. Sementara Sato dan Rumi menonton dari balik sushi bar. Meja-meja terlihat kosong, Watari rupanya sepi di pukul empat sore ini.

"Sore, Bu Bos!" Kai langsung menurunkan ponsel. "Sesuai instruksi Bu Bos, saya udah bikin sosmed buat Watari. Ada akun Instagram sama TikTok sekalian. Ini Asura lagi goyang buat konten TikTok."

Sersha mengerut kening. "Hubungannya dangdut koplo sama Japanese cuisine ... apa ya?" Kemudian melirik hachimaki yang melilit dahi Asura. "Itu arti tulisannya apa?"

Asura menggaruk-garuk kepala. "Anu ... kamikaze."

"Serangan bunuh diri?"

Asura mengangguk serba salah, lalu mendecak ke tempat Kai. "Udah gue bilang pake Doraemon aja."

Kai mendesah lemas sembari menghapus video joget barusan. Asura melepas ikatan kepala serta outer kimononya, lalu menanyakan apakah Sersha ingin makan sesuatu sore hari ini.

"Tonkotsu ramen lagi, Bu Bos?"

Kebetulan Sersha memang lapar. Begitu meninggalkan apartemen, ia langsung menemani Ibu di rumah sakit. Belum sempat mengisi perut selain jus wortel tadi.

"Hmmm ...," Sersha duduk di bangku tinggi depan sushi bar. "Tempura udang."

"Menu langganan Pak Thaddeus. Baik. WAKARIMASHITA! Satu nasi tempura udang untuk Bu Bos!" Asura menunjuk Darto yang berdiri di dinding dekat pintu masuk. "Kalau gajahnya, mau dikasih makan apa, Bu Bos?"

Darto memberi embusan napas marah, dan Asura segera mengangguk-anguk minta maaf sebelum meluncur ke dapur.

Sato membungkuk di balik sushi bar itu. Tersenyum pada Sersha di hadapannya. "Sore banget baru ke sini? Susah bangun gara-gara mabok semalem?"

Sersha hanya menimpalinya dengan senyum tipis.

"Ngomong-ngomong," bisik Sato. "Semalem waktu kita mabok, gue ... nggak ngomong yang aneh-aneh, kan?"

Sersha menggeleng. "Kayaknya enggak. Gue juga mabok waktu itu, nggak inget apa-apa."

"Yang terakhir gue inget cuma waktu Kai tau-tau berdiri baca puisinya AADC."

"Iya. Yang kulari ke hutan."

Keduanya tertawa di saat bersamaan.

Tujuh menit kemudian, sajian terhidangkan di atas meja Sersha. Sepiring besar nasi pulen dengan telur mata sapi setengah matang di atasnya, dan empat tempura udang garing ditemani kremesan tepung yang memenuhi hampir separuh piring.

Senyuman Sersha mengembang. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Asura sebelum mulai mengambil sendok.

Pertama-tama, dibelahnya kuning telur menggoda itu hingga lelehannya mengalir membasahi tumpukan nasi. Dicicipinya sedikit. Hangat dan gurih. Pinggiran telur sangat garing tanpa diberi terlalu banyak garam. Kemudian Sersha mengambil sumpit dan mulai mengambil salah satu udang tempura. Dicelupkannya sajian itu ke saus tentsuyu sedikit saja.

Ia menggigit dan mengunyahnya. Enak. Crispy dan tidak berlebihan minyak. Daging udangnya juga sangat segar. Sersha menggigit lagi potongan tempura yang tidak terkena saus tentsuyu. Lalu termangu. Kini rasanya berbeda.

"Kenapa, Bu Bos?" Asura ternyata menunggu sejak tadi.

Sersha tersentak dari lamunannya dan menggeleng kikuk. Digigitnya udang itu lebih banyak lagi hingga habis. "Kalau makan polos begini, rasanya seperti masakan Ibu saya."

For All the WanderersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang