Daffodil flowers

288 27 10
                                    

"Setiap akhir sebuah cerita, akan selalu menciptakan awal cerita baru, begitu juga dengan perpisahan."

---

First meremas selembar kertas yang sebelumnya dia baca,membentuknya menjadi sebuah gumpalan lalu melempar kertas tersebut asal kearah lantai. Bukan hanya satu,namun puluhan gumpalan kertas tampak mengotori lantai kamar pria berwajah cantik itu.

"Berakhir tanpa sempat aku memulai". Lirih First. Linangan air mata turun dari wajahnya begitu saja. Hatinya terasa sangat sakit,dan dadanya sesak. Mengingat setiap isi tulisan dari surat-surat tersebut membuatnya sedih dan merasa bingung untuk melakukan apa.

"Kau membohongiku". First berucap pedih. Kepalan tangannya dia arahkan pada dada bagian kiri miliknya,dan dia pukuli bagian itu kuat berulang kali. Tangisan First pecah. Dia menangis dengan raungan yang keras. Disela tangisnya yang memilukan itu,dirinya menyebut satu nama. Ja.

"Bukan aku".

Jawaban singkat yang dikatakan oleh Ja membuat First terdiam. Dia menatap wajah laki-laki itu lekat. Jelas dirinya tahu jika laki-laki dihadapannya saat ini tengah berbohong.

"Ja,aku-"

"Aku tidak memiliki perasaan apapun padamu". Lanjut Ja dalam satu tarikan nafas.

First membiarkan air matanya mengalir begitu saja. Dirinya hanya membutuhkan kejujuran Ja saat ini. Tidak lebih. Setiap sangkalan yang laki-laki itu katakan,malah semakin menguatkan keyakinan dirinya tentang kebohongan yang Ja ucapkan padanya.

"Surat-surat itu bukan aku yang menulisnya".

First mengepalkan jemari tangannya erat dan wajahnya tertunduk dalam. Hatinya tertohok sakit dengan hunusan tajam luka yang berhasil Ja torehkan karena kebohongannya. First tidak bisa melakukan hal apapun selain menangis. Tangisannya bertambah kencang seiring dengan menjauhnya sosok Ja yang berjalan meninggalkan dirinya.

---

Aku tak mencintaimu
Kau mungkin sudah tau itu
Bahkan jika kau menangis
Hatiku tidak akan sakit

Aku tak mencintaimu
Tidak ada alasan lain
Aku tidak ingin mengatakan kata "Aku minta maaf" ataupun "Maafkan aku"
Semua itu

(Urban Zakapa - I dont love you)

---

Suara lonceng yang terpasang diatas pintu sebuah butik menyita perhatian seorang pria yang tengah memperhatikan berbagai model pakaian didalam katalog butik tersebut. Melihat kedatangan seseorang yang ditunggunya membuat pria itu menghentikan kegiatannya dan menyimpan kembali buku katalog itu diatas meja.

"Ja,kau sudah datang?". Tanyanya pada orang tersebut. Pria bernama First itupun beranjak dari duduknya,demi untuk menyambut kedatangan Ja.

Tidak ada jawaban. Ja memberikan tatapan lelahnya pada First yang memasang senyum diwajah cantik milik pria itu. "Kumohon hentikan". Ucap Ja dengan raut wajah yang gelisah.

"Apa yang harus aku hentikan,jika memulaipun aku tidak bisa".

Ja diam. Dia amati wajah First yang sama lelahnya dengan dirinya. Ingin dia dekati pria itu dan dia bawa kedalam pelukannya untuk menghilangkan raut lelah pada wajah cantik tersebut. Namun dia tidak bisa. Tidak akan pernah bisa melakukan hal yang menjadi keinginannya saat ini.

"Akhirya kedua calon mempelai telah tiba". Seru sang pemilik butik pada Ja dan First.

Ja hendak membuka mulut untuk membantah,namun rangkulan tangan yang dilakukan oleh First menahan perkataannya. "Bisa kami coba pakaiannya sekarang?". Tanyanya antusias.

"Tentu saja". Balas sang pemilik butik.

"First,kau-".

"Sekali ini saja,sebelum semuanya benar-benar berakhir". Sela First memotong perkataan Ja.

Entah apa yang persisnya dia rasakan saat ini. Rasa bersalahkah?. Atau rasa menyesal yang lebih mendominasi hatinya. Melihat First tersenyum dengan raut kesakitan diwajahnya itu semua adalah salahnya. Pria itu terluka karena dirinya. Menahan jutaan sakit karena sikapnya yang pengecut dan lebih memilih untuk lari dari kenyataan,lalu bersembunyi dibalik kata pengorbanan. Sungguh Ja bingung kata apa yang pantas tersemat untuk dirinya.

—-

Itulah yang ku rasakan
Aku tak mencintaimu
Aku tak mencintaimu
Aku tak mencintaimu
Kau mungkin sudah tau itu

(Urban Zakapa - I dont love you)

—-

"Aku mencintai First". Aku Dew tanpa sedikitpun berniat untuk menyembunyikan apapun pada lawan bicaranya saat ini.

Ja terkejut untuk sesaat. Sebelum Dew mengatakan hal itupun,dirinya sudah tahu bahwasannya sahabatnya tersebut memiliki perasaan lain untuk First. Perasaan yang terlampau dalam hingga tidak ada cara untuk melarikan diri lagi. Dia jelas tahu perasaan itu,karena ia pun memiliki perasaan yang sama. Dan celakanya Ja bukan seperti Dew yang mau menunjukkan perasaannya secara gamblang. Dia lebih memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.

Dew menatap lekat wajah Ja yang meski menampilkan raut yang datar,tetapi dirinya tahu lelaki bertubuh jangkung dihadapannya saat ini merasa tidak nyaman karena pengakuannya pada lelaki tersebut.

Satu langkah Dew ambil untuk mendekati Ja yang mematung. Dia menarik nafas panjang,sebelum tangan kanannya merogoh saku celana yang ia kenakan.

"Teruslah berpura-pura untuk tidak mempunyai perasaan pada First".

Perkataan Dew membuat Ja membeku. Dia hendak membuka mulut untuk membalas,namun lagi-lagi Dew membuatnya bungkam.

"Seperti yang selama ini telah kau lakukan".

Ja terbangun dari tidurnya dengan keadaan yang tidak jauh dari sebelum-sebelumnya. Keringat dingin membanjiri wajah dengan nafas yang memburu sesak disetiap tarikan nafas yang ia lakukan.

"Maafkan aku First". Lirih Ja. Sedetik kemudian terdengar isak tangis yang keluar dari bibirnya yang bergetar karena tangis yang sekuat tenaga dia tahan. Rasanya sakit. Teramat sangat sakit.

2 tahun lamanya dia harus menderita karena perasaan yang dia pendam untuk First. Tidak,bukan hanya dirinya yang menderita. Tetapi juga First dan Dew. Semua karena salahnya,seharusnya dia jujur dari awal tentang surat-surat itu. Bahwa dialah orang yang menulis rangkaian kalimat disetiap surat yang dia kirimkan untuk First. Dan seharusnya dia mengakui perasaannya pada pria itu,dia mencintai First.

"Maaf".

Ja terus menangis. Meluapkan sesal dan juga amarah pada dirinya sendiri. Tangisannya semakin keras,bahkan sesekali teriakan terdengar dari kamar yang hanya diterangi lampu redup. Ja tidak pernah berharap untuk mati secepat ini sebelumnya. Dia sungguh tersiksa.

-tbc-

My old storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang