2J : Bab 4

3.9K 485 19
                                        

4. Jangan ngerasa sendirian.

***

Jam pelajaran pertama, Juandra sudah dibuat pusing dengan hitung-hitungan. Jujur, kalo bisa memilih, ia akan dengan senang hati memilih untuk menghafalkan sejarah apapun itu, asal jangan bertemu dengan rumus-rumus yang menguras otaknya.

Hardian yang melihat temannya frustasi, berniat ingin membantu, namun mengingat Juandra yang lebih suka belajar sendiri, ia jadi mengurungkan niatnya. Hampir dua jam, otaknya berurusan dengan hitung-hitungan dan kini saatnya bel istirahat berbunyi.

Hardian dan salah satu temannya yang lain —Rayan, membantu Juandra untuk berjalan menuju kantin.

"Aduh, lo berdua apaan sih? Gue udah bisa jalan, plis nggak usah alay kayak Jerdian!" Juandra menggerutu sambil berusaha melepaskan tangannya yang ada di bahu Hardian.

"Heran gue, Jerdian kok bisa betah punya kembaran cerewet kayak lo," ujar Pragas dengan tampang meledek.

"Sialan lo! Gini-gini, gue kembaran idaman," balas Juandra, ketus.

Mereka berempat sampai di kursi yang sudah duduki oleh dua orang lainnya. Tak sedikit yang menatap kagum ke arah segerombolan cowok itu. Eden. Itu adalah kata yang mendeskripsikan jika Juandra sedang berkumpul dengan kelima temannya. Arti dari kata Eden sendiri adalah sempurna. Menurut murid disini, masing-masing dari mereka memang tidak sempurna, tapi karena mereka bersama saling melengkapi untuk jadi sempurna. Persahabatan mereka yang berjalan baru satu tahun sudah terlihat begitu kental. Ketika setiap siswa itu diberi keahlian yang berbeda-beda, dan menjadi ciri khas dari diri mereka masing-masing.

"Za, gue lama-lama mau ngundurin diri jadi temen lo aja lah, yakali tiap pulang sekolah, kolong meja gue selalu ada surat buat lo. Ya kalo di dalem surat di kasih duit buat uang jalan mah nggak apa-apa, lah ini, kosong mlompong, cuma kertas doang, mana tulisannya alay-alay." keluh Rayan yang membuat teman-temannya sontak tertawa.

"Woy, lo jangan gitu lah, cara orang buat mengekspresikan perasaannya kan beda-beda," jawab Mirza sambil terkekeh pelan.

"Gue tandain muka lo, Ray. Kalo sampe lo suka sama orang terus jadi alay, motor lo gue pretelin ya, biar nggak bisa balik," timpal Zelo seraya melempar bungkus ciki yang isinya telah habis.

"Tapi, gue heran, cewek yang demen sama Mirza, cakep-cakep anjir. Sekelas seleb semua, emang nggak ada yang bikin lo nyantol, Za?" Mirza menatap Pragas sekilas kemudian menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan cowok itu.

"Za, tapi, lo nggak belok kan?," tanya Hardian menyelidik, dan yang lain pun langsung ikut mengalihkan atensinya ke Mirza. Mirza yang di tatap hanya menautkan kedua alisnya, bingung. "Gue nggak lagi naik motor, belok kemana?,"

"Oasu, Mirza ngelawak. Maksud Hardian, lo nggak suka—" Zelo melanjutkan ucapannya dengan menunjuk dirinya dan keempat temannya yang lain.

"Gue suka temenan sama kalian," jawab Mirza dengan polosnya.

"Za, nggak gitu konsepnya. Maksudnya, lo nggak gay kan?" Kini semua berbalik menatap Juandra dan menunjuk dia seraya berteriak lantang. "NAH! ITU MAKSUDNYA."

"Ya nggak lah, gila. Gue masih normal banget ini."

Semuanya menghela nafas lega. Hingga akhirnya, topik obrolan mereka berganti menjadi lebih serius. Dua hari tidak masuk sekolah, ternyata ada beberapa hal yang telah Juandra lewatkan, salah satunya adalah pemberitahuan soal olimpiade sejarah nasional yang akan di selenggarakan di kota Malang. Tak perlu ditanya, sudah pasti Juandra akan ikut berpartisipasi dalam olimpiade tersebut untuk menambah koleksi piala nya. Hal yang tak semua orang miliki adalah, optimis. Tapi, Juandra punya sikap optimis dan positif thinking yang selalu ia tanamkan dalam dirinya. Menurutnya, punya pemikiran yang baik juga akan mendorong dirinya menuju hal yang baik.

Dua Sisi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang