Seorang pemimpi, tak kenal lelah

4.4K 11 1
                                    

  Dari dalam sebuah kendaraan roda empat, sudah terparkir di depan sebuah gedung salah satu rumah dengan baik. Seorang pria turun dari dalam, menghembuskan napas dengan tenang, terlihat ekspresinya begitu riang, tersenyum dengan sendirinya melihat gedung yang di depannya saat ini. Pasalnya bahwa ada dua anggota manusia di dalam sana, dia cintai sekali, saat ini, di kehidupannya saat ini. Pria tersebut mulai memanggil orang yang ada di dalam sana dengan menekan tombol lonceng pada dinding, secara berulang-ulang.

Hingga akhirnya, Pria mendengar suara gerbang terbuka, dirinya langsung berhenti menekan tombol lonceng itu. Dari balik pintu gerbang yang sudah terbuka, tampak sosok seorang wanita yang dari dulu tampak mempesona. Dua insan yang terpisah antara jarak serta waktu, membuat kedua mata mereka saling memandang lurus, tak menyangka akan bertemu lagi. Keduanya langsung saling memeluk satu sama lain dengan harmonis.

"Akhirnya kamu pulang juga, sayang, sungguh aku merindukan kamu. Aku rindu pelukan hangat seperti ini dari kamu, sudah ku tahan-tahan, di saat kamu pergi berlayar, satu tahun lalu." Pecah air dari dalam mata Callista membasahi pipinya, di dalam dekapan dada kekar milik Kaemon, Callista meringis tak henti.

Sedikit memberi jarak wajah Kaemon pada Callista, Kaemon tersentuh mendengar kalimat yang di berikan Callista, namun dirinya hanya bisa memberi senyum untuk saat ini. "Mengapa musti sedih?" kedua telapak tangan Kaemon mengusap pipi Callista yang basah. "Aku, kan, hanya pergi bertugas sementara saja, terlebih, aku pulang dengan selamat, bertemu dengan kamu, sayang. Dan, saat ini yang aku inginkan hanya melihat kamu tersenyum."

Mengangkat dagu, Callista mencoba untuk lebih tegar dari pada Kaemon. "Ok, fine, sekarang aku senyum." Callista langsung melempar senyum ceria.

Sejenak bergeming, saat Kaemon membalas senyum dari Callista. Gemas melihat wajah sang istri yang begitu manis, Kaemon sedikit memiringkan kepalanya, bibir- nya langsung nyosor kepada bibir merah kering, milik istrinya itu. Agar terasa lebih hangat lagi, kedua tangan Kaemon berada pada pinggul Callista, mendorong pinggul Callista, ke depan, lebih dekat lagi dengan tubuhnya. Sepasang kekasih yang rindu akan soal kehangatan cinta dalam rumah tangga secara pribadi, seperti mereka berdua, pada saat bertemu kembali, tanpa henti saling memberi sentuhan-sentuhan bibir yang hangat.

Terasa ada yang menarik  pakaian miliknya, lekas Callista menjauhi wajah nya dengan Kaemon, terpaksa menghentikan berciuman dengan romantis bersama sang suami tercinta. Menengok ke arah bawah dada- nya, tampak sosok seorang pria kecil sedang menatapnya kebingungan. Membuat kedua orang dewasa yang bersama- nya saat ini terkekeh pelan.

"Dia siapa, mom?" tanya Kaifur pada Ibu- nya.

Mendengar pria kecil itu, memanggil Callista dengan sebutan 'mom,' semakin membuat rasa percaya, yakin bahwa Kaifur itu adalah anak kandungnya. Berlutut di hadapan Kaifur, memberi, kan, pelukan yang rasa penuh rindu antara ayah dengan anak- nya.

"Dia adalah ayah kandung kamu, Kaifur." terang Callista pada Kaifur agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Sembari berjalan bersama menuju kedalam rumah, saling bergandengan dengan mesra. Satu keluarga tersebut akhirnya bahagia, merasakan anggota keluarga mereka sudah lengkap, jadi sudah tidak ada lagi yang namanya rasa cemas membuat pikiran berat.

"Sayang, apakah kamu setuju, jika kita sekeluarga pindah ke kampung halaman- ku, lusa nanti?" tengok Kaemon pada Callista begitu serius.

"Memang kita mau pindah kemana lagi, Sayang. Lagi pula, kan, kamu baru pulang, apa kamu enggak lelah untuk pindah rumah?"

"Tidak, kok, sayang, justru saat di laut, aku berharap jika bertemu dengan kamu serta Kaifur. Akan segera mengajak kalian ke kampung halaman- ku, terlebih aku ingin memberi tau pada Kaifur bahwa dia memiliki kampung, yang kaya akan alam, dan budayanya, di sana."

"Baiklah, aku setuju jika itu yang membuat kamu senang sayang. Kemana, pun, kamu ingin pergi asal bersama- ku. Aku akan selalu setuju."

"Benar kata mom, Dad, aku enggak ingin lagi memiliki kehidupan yang jauh dari seorang Daddy!" sambar Kaifur yang mendengar pembicaraan kedua orang tuanya sedari tadi.

Mengingat sebagai seorang pelaut, Kaemon harus kuat menahan air mata akan kalimat yang keluar dari mulut Kaifur, dirinya hanya bisa menguatkan dengan senyum, dan anggukan. Bimbang dirinya seperti sebuah kapal yang terombang, berada di tengah laut lepas, kini yang di rasakan dari Kaemon, sebagai seorang pria dewasa yang masih memiliki banyak mimpi yang musti dia capai, hingga harus lebih kuat lagi menjalani hidup sebagai seorang pelaut.

~~~

Jaman digital mempermudah bagi penulis untuk mencurahkan segala isi ide dalam pikirannya untuk menjadi karya tulis. Sama seperti yang di lakukan oleh Nicholas James saat ini, di atas kursi menghadap sebuah komputer miliknya, jemarinya terus sibuk mengetik keyboard diatas meja persegi tersebut. Selagi pikirannya masih berjalan, tak ingin Nicholas menghentikan jarinya.

Sakin seriusnya Nicholas mengetik sebuah naskah, suara pintu tergeser, pun, sampai tidak terdengar olehnya. Dari arah belakang punggung Nicholas seorang pria muda gemuk, mengendap-endap, lebih mendekati ke arah punggung sahabatnya yang ada di kursi sana. Menyentak bahu Nicholas dengan kedua telapak tangannya.

Reflek kejut Nicholas bangkit berdiri dengan kesal menghadap pria yang mengganggu suasana pikirannya. Terlihat jelas sosok sahabatnya yang tersenyum gembira karena berhasil mengganggunya, membuat Nicholas pasrah untuk meredamkan rasa kesalnya. "Aduh, kok, lu enggak ketuk pintu dulu, sih, Nadhan ... kan, udah sering gue bilang." tegur Nicholas dengan suara malas.

"Hehehe, maaf untuk kesekian kalinya, Nicholas. Habisnya kalau gue ketuk pintu dulu, pasti, lu bakal bilang tunggu dulu." Balas Nadhan, merasa tak bersalah. Lebih baik mengganggu Nicholas, dari pada dia harus menunggu di luar hingga satu jam lebih lamanya, melamun sendirian, seperti kemarin-kemarin.

"Oh, iya, Nadhan. Gimana karya tulis gue kemarin, lu udh koreksi semua atau belum?" tanya Nicholas.

Dari dalam saku celananya, Nadhan mengeluarkan sebuah benda pipih yang langsung dia sambungkan pada perangkat komputer yang ada di atas meja sana. Sibuk tangan  Nadhan menggerakkan kursor pada layar komputer, membuka sebuah file yang di tanya oleh Nicholas padanya. Usai mendapatkan file tersebut, Nadhan menengok pada Nicholas yang berada tepat di sampingnya.

"Jelas sudah, dong, ini karya tulis lu yang ke lima yang gue koreksi, dan edit naskahnya sebaik mungkin. Dan seperti biasa gue ijin dulu ke lu untuk menerbitkan karya tersebut menjadi sebuah bentuk fisik novel ke penerbit mayor?"

"Tentu gue akan mengiyakan itu. Karena itu adalah sebuah impian gue untuk memperkenalkan karya gue ke seluruh dunia untuk kali ini." Setuju Nicholas dengan pendapat yang di berikan oleh Nadhan.

Sudah empat karya Nicholas, di tolak oleh penerbit-penerbit besar di Indonesia. Bukan karena setingan naskah yang sudah di edit oleh Nadhan, namun banyak penerbit beralasan karena karya tersebut ceritanya sudah umum. Akan tetapi semua itu tidak membuat Nicholas berubah tekad untuk berhenti menulis, melainkan membangkitkan rasa semangatnya, belajar dari semua kesalahan tulis yang dimilikinya.

Begitu juga dengan Nadhan, sebagai sahabat selalu mendukung Nicholas dalam impiannya. Bagi Nadhan, apapun itu yang membuat Nicholas gembira, akan selalu mendampingi- nya. Karena menurut Nadhan, seorang sahabat sejati itu, bukanlah orang yang mau ikut senangnya saja, melainkan mau ikut menderita juga, hingga akhirnya kelak senang bersama dengan apa yang mereka gapai.


Temporary hot loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang