Irtayata Januar Wilangsa seketika tersentak kala mendapati rasa sakit yang menjalar, bersamaan dengan cairan berwarna merah pekat yang mengalir dari jari telunjuknya. Entah apa yang kini tengah menggerogoti benaknya, namun ia sedikit— ah, bukan sedikit lagi. namun ia sangat kesulitan untuk fokus terhadap satu hal. Apa yang ia rasakan mengenai ketidakfokusannya itu memang benar. OH, YA TUHAN! Bahkan ia tidak sadar jika sedari tadi ia hanya memotong kentang yang sudah hampir sepenuhnya busuk tanpa menyadarinya sedikit pun sebelumnya.
“Yekkk, mambu.” Setelah membuang kentang busuk yang sedari tadi dicincangnya, Irta menuju wastafel di sampingnya. Pancuran air dari keran ia biarkan mengucuri tangannya yang bau dan telunjuknya yang berdarah itu.
Irta adalah anak ketiga dari keluarga Janu Wilangsa. Ia mempunyai dua kakak laki-laki. Ratana Juna Wilangsa, dan Arkanajendra Wilangsa. Mempunyai dua kakak laki-laki bukanlah hal mudah. Satu kakak saja sudah mumet, apalagi dua kakak laki-laki. Irta sudah mewanti-wanti jika suatu saat nanti ia terserang penyakit mental akibat ulah dua kakaknya yang dianggapnya seperti remaja tantrum. YA BAGAIMANA TIDAK, HAH? Masih ingat betul Irta dengan kelakuan tangan jahil kakak-kakaknya. Menarik rambut, menggelitik, menendang (dalam konteks bercanda) bahkan memecahkan parfumnya. Kalau saja mereka bukan kakak-kakaknya, Irta akan mengajukan petisi untuk membasmi kuman-kuman yang ndableg itu.
Kembali dengan Irta yang membasuh tangannya dengan cucuran air dari keran wastafelnya. Seusai mengeringkan tangannya, Irta kembali memotong kentang yang tentunya sudah ia pastikan tidak busuk seperti tadi. Tolong jangan diingat-ingat, itu memalukan.
“Ati-ati ntar makanannya keasinan.”
Suara berat bang Juna praktis mengagetkan Irta yang sedang bergelut dengan kentang yang dipotongnya. Mencium wangi kaos bang Juna yang super wangi serta kunci mobil yang dibawanya, tertebak sudah jika bang Juna ini mau keluar nongkrong bareng teman-temannya. Ya namanya juga anak laki-laki kan. Hambar terasa hidupnya jika kegiatan tongkrong menongkrong dihilangkan. Orang tidak nongkrong 3 hari saja sudah ayan bang Juna tuh.
“Belom aja nih piso mendarat di udelmu. Mau nongkrong lagi, lo?” Ucap irta bersungut-sungut karena bang Juna sudah mengganggu fokusnya. Bang Juna hanya tertawa melihat adik tersayangnya itu memasang wajah kesal karena ulahnya.
“Iya elah, santai napa.”
“Lo mau nongkrong lagi?”
“Iya. Udah tau nih sudah rapi nan wangi nan tampan.”
Irta hanya merotasikan netranya mendengar jawaban bang Juna serta pujian yang ditujukan kepada dirinya sendiri. “YEKK, NGGILANI!” Begitu kalau kata Irta.
“Kerjaan lo selain ngalor-ngidul gitu ga ada apa?” sewot Irta karena sudah lelah dia tuh lihat abangnya yang kerjaannya keluyuran. Ingin rasanya ia menyerahkan bang Juna sebagai terdakwa kepada mama atas kasus pencemaran pemandangan. Pasalnya bang Juna tuh kerjaannya ngalor ngidul ngetan ngulon yang secara langsung bikin Irta gondok karena hampir setiap sore atau menjelang malam, ituuuu aja pemandangannya. Ya apalagi kalo bukan bang Juna yang nenteng kunci mobil.
“Ada, kerja. Nih harusnya lo bangga punya Abang kek gue yang rajin ngasih lo jajan tambahan.”
Benar juga kata bang Juna. Jika bukan dia yang memberi Irta uang tambahan, lantas siapa lagi? Hubungan kakak adik antara kedua kakaknya dan Irta itu sebenarnya bisa dibilang love-hate. Keduanya juga sama-sama tsundere alias tidak bisa menunjukkan kasih sayang mereka terhadap sesama karena malu biasanya. Percayalah jika sebenarnya mereka itu saling menyayangi. Bukan hanya sekedar menyayangi, namun sudah sampai level sangat menyayangi. Namun, kembali lagi mereka itu sama-sama tsundere.
“Ck, iyo-iyo. Wes, sana! Lo memperburuk pemandangan.”
“Iya-iya bawel.”
Kalimat tersebut menjadi kalimat penutup bagi percakapan mereka. Setelah memastikan bahwa bang Juna sudah lenyap dari penglihatannya, atensi Irta kembali ter fokuskan kepada kentang dan beberapa jenis sayuran di hadapannya. Jikalau ditanya Irta suka memasak atau tidak? Maka dengan semangat 45 86 berkobar-kobar api membara, Irta akan menjawab YA!! Terlebih lagi jika dirumah sendirian. Seharian tanpa internet dia jabanin asal diizinkan memorak-porandakan dapur. Perginya lama juga enggak apa-apa, barokkah.
“Nduk, ayamnya ini ya. Udah bersih, udah di cuci. Bumbu alus e opo wis di tumis?” Mama datang ke dapur dengan satu baskom ayam mentah yang siap untuk diolah.
“Sampun ma.” Bisa dibilang kegemaran Irta dalam memasak itu menurun dari mama yang juga sangat menggemari kegiatan memasak. Masakan mama tuh uenak banget kalau kata Irta. Bahkan makanan sesederhana tempe goreng saja terasa sangat enak jika tersentuh tangan mama. Irta sudah berkali-kali bilang jika masakan mama ini nomor satu terenak di dunia. Irta tidak bohong. Ia berani bertaruh jika makanan terenak yang pernah menyentuh lidahnya itu ya masakan yang terlahir dari tangan ajaib mama. Udah enggak peduli seenak apa, semahal apa makanan di luar sana, masakan mama tetap juara.
“Wealah, garam e tumpah.” Satu wadah kecil garam tumpah karena tersenggol oleh tangan Irta yang sebetulnya hendak menaruh pisau di dekat garam tersebut. Ia hendak melangkahi tumpahan serbuk putih dengan rasa asin itu namun dihentikan oleh teguran mama.
“Heh! Ojo dilangkahi!”
Irta praktis mengembalikan kakinya yang sebelumnya ingin melangkahi garam ke posisi semula. “Emang e kenapa sih?” Sembari bergegas untuk mengambil sapu tanpa melangkahi tumpahan garam, Irta bertanya alasan mengapa ia tidak diperbolehkan untuk melangkahi tumpahan itu. Karena pikir Irta, ya kenapa sih? Orang mau lewat ngelewatin garam aja gak boleh. Takut garamnya julid sama telapak kaki Irta apa gimana sih?
“Yen kamu ngelewati garam iku, kamu bakalan pipis terus. Ora capek tah, Bolak-balik kamar mandi cuma buat ngeluarin cairan mambu pesing?”
“Ora masuk akal lho ma. Masa ngelangkahi garam bisa begitu.” Irta memberi protes mengenai alasan mengapa ia tidak diperbolehkan melangkahi gar tadi. Karena menurutnya melangkahi tumpahan garam dan buang air kecil secara terus-menerus itu sama sekali tidak ada hubungannya. Tidak logis.
“Ora ilok, Irta.” Irta mencebik mendengar jawaban mama. Ia segera menyapu bersih garam yang tumpah dengan sapu ditangannya. Sedangkan mama masih meracik kuah masakan yang akan disajikannya malam ini.
Perlu diketahui bahwa keluarga Wilangsa sendiri ialah keluarga dari Jawa yang masih mempertahankan atau melestarikan adat Jawa. Bisa dibilang, keluarga Wilangsa adalah keluarga dengan adat Jawa yang masih cukup kental. Seperti tadi, mama masih mempercayai beberapa mitos, seperti tidak boleh melangkahi tumpahan garam, tidak boleh menduduki bantal, tidak boleh meninggalkan sisa nasi, tidak boleh duduk di ambang pintu, dan tentunya masih banyak lagi. Kadang Irta tidak habis pikir dengan itu semua dan tak jarang ia berpikir bahwa ialah yang paling kuno di antara teman-temannya karena keluarganya. Namun ia sangat menyayangi keluarganya, hahahahaha. Karena keluarganya juga ia menjadi penggemar kisah tanah Jawa. Ia hanya pencinta kisah tanah Jawa seperti pewayangan dan kisah Jayabaya. Tenang saja, Irta tidak sekuno orang tuanya (mama, anakmu benar-benar bercanda, jangan dicetol).
Irta menjadi penggemar kisah tanah Jawa semenjak mama bercerita mengenai sejarah aksara Jawa yakni hanacaraka yang berkaitan dengan legenda Aji Saka beserta dua abdi setianya, Dora dan Sembada. Irta yang sebelumnya ogah-ogahan mendengarkan mama berceloteh tentang sejarah hanacaraka tiba-tiba saja mendengarkannya dengan sungguh khidmat. Ia tak tahu mengapa, namun ia merasa kisah itu memiliki mantra yang sangat kuat untuk mengikat pemikirannya. Apalagi di bagian saat Dora dan Sembada berseteru sengit, Ia merasa sangat kagum pada masing-masing dari mereka begitu gigih untuk menjaga kepercayaan dari Aji Saka. Sebegitu berterima kasih mereka kepada kepercayaan Aji Saka hingga rela berseteru dengan beringas. Irta juga berpikir—apa nanti ada yang menjaga kepercayaan yang ia berikan segigih itu?
“Ma, aku arepe ke Suhat. Mau ketemu Nina. Ini anaknya mau berangkat.” Usai menyapu bersih lantai yang tertumpah garam, Irta mengajukan izin kepada mama untuk pergi ke Suhat, Kota Malang.
Kota Malang merupakan kota kelahiran Irta. Ia sudah bertahun-tahun menetap di Malang. Berkali-kali ia terkesima akan Kota Malang, berkali-kali pula ia jatuh hati pada Kota Malang. Namun, ia nyaris belum pernah jatuh hati pada penghuni kotanya.
“Iyo, kalo mau berangkat, berangkat aja. Ini biar mama yang handle. Pulang e jangan malam-malam lho ya. Perawan ndak boleh pulang malem-malem. Nggak baik.” Tuhkan, mama memang suka begitu. Tidak boleh ini-itu. Kadang Irta memang sebal. namun—ya memang benar jika anak perempuan tak seharusnya pulang larut malam. Irta juga tidak akan pulang selarut itu karena IRTA YA NGANTUK KALO PULANG MALEM-MALEM.
Setelah berpamitan kepada mama tersayang, Irta bergegas menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Kamar dengan aroma super caramel dan desain simple namun nyaman yang selalu menjadi tempat Irta untuk larut dalam lamunan dan pikirannya yang ramai. Kamar yang sudah ditempatinya semenjak umur tujuh tahun itu tidak pernah berubah. Masih tetap nyaman baginya untuk berkecamuk dengan pikirannya. Tapi lebih nyaman lagi buat rebahan sama molor.
Irta membuka lemari putihnya guna memilik ootd kekinian yang ingin dikenakannya untuk bertemu temannya di Suhat. Ootd Irta mesti ok, sih. Kalau seadanya, takut kebanting sama style para remaja sosialita yang lagi keluyuran di Suhat buat hangout, metime, qtime, pacaran, mboh wes pokoknya banyak anak sliweran di Suhat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGANI
أدب الهواة| ON GOING | "Aku kepengen bisa jadi Arjuna buat kamu, Irta." Dibawah adiwarna gunung Bromo pukul 5 pagi, Nakula memegang tangan kanan Irta "Kamu cukup jadi Nakula aja. Gak perlu jadi Arjuna biar aku mau sama kamu." Kedua ujung bibir Irta tertarik m...