LANGIT

22 4 0
                                    

Haii jangan lupa dukung kami dengan vote + komen

Happy reading 💫

****

Seseorang mendorong ku jatuh dari atap gedung kantor. Sensasi yang terasa nyata itu membuat bulu tengkuk ku berdiri. Sengatan listrik mengalir di seluruh tubuh. Meninggalkan rasa panas di dada.

Aku berteriak sekencang yang ku bisa. Saking kerasnya Aku berteriak, Aku bahkan bisa merasakan jiwa yang ikut keluar dari mulut ku yang terbuka lebar.

Panik menguasai seluruh tubuh. Tanah tempat Aku akan menghembuskan napas terakhir sudah menunggu di bawah sana. Perlahan waktu mulai terasa semakin melambat. Suara kebisingan di sekitar mulai senyap dan tak lagi terdengar.

Aku tau kalau waktu ku telah tiba. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan selain menyesali semua yang sudah ku perbuat selama ini. Andai saja Aku bisa kemabali ke tiga puluh menit yang lalu, Aku pasti sudah mengingatkan diriku yang tengah sibuk mengurus klien untuk mendorong orang itu sebelum dia membuat ku terjatuh.

Tapi semuanya sudah terlambat. Kini kepala ku sudah setengah membentur tanah. Semua panca indra ku mati. Tak lagi bisa ku rasakan kengerian saat Aku terjatuh dari atap gedung dua puluh lantai. Padahal perasaan itu masih terus menghantui ku sampai tadi.

Semuanya menjadi gelap. Ketenangan yang ku coba dapatkan sedari tadi akhirnya tiba. Suara jantung yang seharusnya bisa ku dengar dengan jelas kini sudah menghilang. Ia berhenti begitu saja tanpa terlebih dahulu meminta izin dari ku.

Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Ingin rasanya Aku menangis, mengeluarkan semua emosi yang ku rasakan di dalam hati. Tetapi kalau Aku bisa menangis, maka artinya Aku masih hidup kan?

Sebuah tetesan air terasa mengalir dan membasahi pipi ku. Air itu terus turun hingga dagu, kemudian terjatuh dan membasahi tanah. Aku kembali tersadar di sebuah kursi panjang berbahan kayu tua yang sudah lapuk. Sedang tertegun, sembari menatap lamat-lamat sekumpulan semut yang sedang bekerja untuk menghidupi ratu mereka.

Aku mengusap air asin di mata ku dan mulai menilik ke sekitar. Meski gelap, bisa ku lihat kalau kursi tempat Aku duduk sekarang dikelilingi ilalang setinggi kepala. Aku terus memutar pandang. Mencoba untuk mencari hal lain yang bisa ku lihat selain daun panjang berwarna hijau gelap yang besarnya bukan main.

Sebuah pendar kuning terlihat bersinar redup di kejauhan. Cahaya itu beberapa kali berkedip, seolah mengundangku untuk mendatanginya. Aku beranjak dari kursi panjang tempat Aku duduk, memeriksa sekitar, kemudian kembali melihat pendaran kuning tadi.

"Lagipula tidak ada juga yang bisa aku lakukan saat ini. Jadi, kenapa tidak?" kata ku berbicara sendiri.

Aku mulai berjalan. Pelan. Sekali dalam beberapa saat, Aku menyempatkan diri untuk menggaruk kulit akibat rasa gatal yang menyapa saat para ilalang itu mencolek tangan dan kaki ku.

Cahaya itu sudah sekamin dekat. Rumput ilalang yang tadinya setinggi kepala, kini sudah mulai turun hingga dada. Meski belum sepenuhnya bebas, setidaknya sekarang Aku bisa lebih leluasa melihat ke depan.

Satu hal yang baru ku sadari, yaitu keberadaan langit bertabur bintang yang terasa amat dekat dengan ubun kepala. Entah bagaimana Aku menjelaskannya. Pemandangan itu terlihat amat nyata, tetapi di saat yang bersamaan juga terasa seperti mimpi.

Aku menghentikan langkah ku sejenak. Mata yang ku pikir sudah kering ini kembali mengeluarkan air dan membasahi wajah. Masih tak bisa ku percaya kalau Aku baru saja mati akibat terjatuh dari ketinggian. Aku kembali menggosok mata, memaksa agar netra ini tak lagi membanjiri wajah ku dengan air yang ia keluarkan.

Tanpa ku sadari, cahaya kuning itu kini sudah berada tepat di hadapan. Dan ilalang di sekitar ku, tingginya bahkan tak ada se-mata kaki pun.

Seorang gadis muda berpakaian putih abu―seragam SMA, sedang duduk diam di sana. Di sebuah kursi panjang berbahan kayu tua yang sudah lapuk, sama seperti punya ku. Bersampingan dengannya, sebuah lampu taman―sumber cahaya yang ku lihat―mencuat tinggi di atas tanah. Tiangnya bahkan dua kali lebih tinggi dari ilalang di tempat aku sadar tadi.

ARCHIPELAGO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang