Padma tahu seharusnya ia bersyukur. Oh, sangat bersyukur. Di tempat kerja mana lagi ia bisa digaji besar dan masih dibelanjakan baju-baju bagus yang harganya hampir semua jutaan? Lengkap dengan sepatu, sampai pakaian dalam pula?
Cuma di rumah Sultan.
Namun bagaimana bisa Padma sebersyukur itu, saat ia dibikin malu dan ... seluruh barangnya—yang tidak sedikit itu—dibawa sendiri? Ia bahkan kesulitan melangkah saking banyaknya kantong kertas yang ia tenteng. Tidak, tidak terlalu berat. Yang ia bawa hanya sekitar lima belas sampai dua puluh baju baru, beberapa sandal dan sepatu, juga pakaian dalam yang hampir sama jumlahnya dengan pakaian yang tadi Sultan belikan, hanya saja ... susah. Tangan Padma tidak muat, sialnya Sultan tidak mau tahu. Jangankan membantu, menoleh padanya pun tidak. Lelaki itu tetap saja melimbai santai tanpa beban. Sama sekali tidak berperasaan.
Padma yang akhir-akhir ini suka mengeluh, tentu saja mengomel dalam hati sejak keluar dari toko pakaian, bahkan sampai mereka tiba lagi di lantai dasar untuk pulang. Dengan bibir cemberut, ia berusaha mengambil satu langkah turun dari eskalator, lalu terhuyung-huyung saat lututnya tak sengaja menabrak kantong-kantong kertas yang ditenteng dengan agak keras.
“Kamu bisa lebih cepat sedikit, tidak?” Adalah kalimat pertama yang keluar dari katup bibir tebal berbentuk hati yang ... tidak lagi Padma kagumi semenjak mengetahui bibir itu ternyata lebih berbisa dari piton. Si tampan yang sekejam sipir penjara itu menoleh sedikit, hanya sedikit, cukup untuk memastikan posisi mereka cukup jauh.
Padma mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak meneriaki lelaki itu. Ingat dua puluh juta, Padma. Dua puluh juta bisa untuk biaya sekolah Arsa sampai sarjana.
Menghitung satu sampai tiga dalam hati, Padma membuka mulut, siap menyahut dengan kalem, saat suara familier dari balik punggungnya terdengar menyapa sang majikan.
“Loh, Pak Sultan?”
Padma langsung mengatupkan bibirnya mendengar suara berat itu. Pun jemarinya yang langsung mencengkeram salah satu tali kantong kertas erat-erat.
Takdir tidak akan sekejam itu dengan mempertemukan mereka di sini, kan? Padma mohon, tidak.
“Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Bapak dengan siapa?”
Sultan menoleh sepenuhnya. Satu tangan ia masukkan ke dalam saku celana saat menatap pada seseorang yang berada di balik punggung Padma.
“Oh, Addie!” seru majikan kejamnya.
Addie. Padma mengulang nama itu dalam hati seraya memejamkan mata erat-erat. Ia lelah, menghadapi bos yang menyebalkan dan masih harus bertemu ... mantan suami? Ah, ini perpaduan yang luar biasa. Padma ingin menjerit histeris sekaligus tertawa keras-keras bersamaan.
Menarik napas panjang, Padma memutuskan, ia tidak ingin menjadi pengecut. Kenapa kalau Addie mengetahui ia menjadi pengasuh? Setidaknya, biar lelaki itu tahu, anak mereka—oh, bukan, anaknya—makan dengan baik dan rezeki yang halal. Agar Addie juga tahu, tanpa Addie sekalipun, Arsa akan hidup aman, nyaman, dan terjamin. Padma bakal memastikan Arsa mengenyam pendidikan yang pantas. Putranya tidak akan kekurangan kasih sayang dan uang!
Tepat sebelum Sultan menjawab, Padma berbalik susah payah, tapi gagal. Salah satu kantong kertasnya yang entah berisi apa, jatuh. Tapi, siapa peduli?
“Bareng saya,” katanya, tersenyum sopan, jenis senyum yang tadi diperlihatkan para pramuniaga saat melayaninya berbelanja.
Sultan yang semula hendak menjawab sapaan Addie, hanya mengangkat satu alis. Lantas mendengus atas kelancangan pengasuh baru adiknya yang memang ... sepertinya tidak diajari sopan santun seorang babu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Padma
RomanceTidak ada kisah yang sempurna, yang sejak mula tiada pernah menemukan cela. Pun begitu dengan garis takdir Padma. Wanita muda yang harus menjalani kisahnya dengan sedikit warna. Abu-abu nyaris mewarnai tiap lembar hari Padma. Abu-abu terang, dan gel...