Itu bahkan belum jam makan siang, tapi Jiho yang kebetulan berpapasan dengan si sahabat itu dipaksa dia yang terlihat uring-uringan keluar, dengan iming-iming akan membelikan es krim kesukaan; tapi sampai setengah jam berlalu dan dua bungkus makanan dingin milik Kim Jiho habis, Yoobin tetap tak berkata apapun, hanya sibuk melakukan apa yang tadi terus dilakukannya --menghela nafas berkali dengan wajah lesu.
"Kita masih akan tetap disini 'kan?" Pertanyaan Jiho menggerakkan bola mata Yoobin yang memang sejak awal hanya terpaku pada orang lalu-lalang melewati tempat mereka duduk. "Kalau begitu boleh aku tambah--"
"Lagi?"
Jiho mengangguk. "Kau bilang akan mentraktirku es krim jika menemanimu."
"Tapi tidak sebanyak itu juga--"
"Kau sedari tadi hanya menghela nafas seperti orang yang tak punya semangat hidup, hanya diam tanpa mengajakku bicara. Jadi yang kulakukan juga terus memakan es krim, sampai akhirnya jadi cepat habis begini."
Yoobin tak berkomentar, lagi nafasnya dihembuskan panjang. Sebelum kemudian merogoh kembali dompetnya dan memberikan Jiho uang yang sama seperti saat 'ronde pertama' traktiran es krim tadi.
"Tapi serius Yoobin-ah. Sampai kapan kau akan terus begini?"
"Hm?"
"Kau bisa benar-benar bangkrut jika hanya diam dan membiarkanku terus-terusan membeli es krim," kata Jiho sembari mendorong uang yang diberikan Yoobin. "Kita memang tak terbiasa bertanya masalah yang lain sebelum yang mengalami memberitahu sendiri," ia melanjutkan. "Tapi melihat kau begini... rasanya sungguh aneh saja. Maksudku, kau tidak pernah diam menikmati masalahmu sampai seperti ini--" ada jeda cepat dalam ucapannya; Jiho tiba-tiba saja ingat satu hal. "Apa ini gara-gara Winwin?"
Yoobin tersedak salivanya sendiri dan Jiho tahu, jika tebakannya tepat sasaran.
"Jadi? Jadi?" daripada berusaha menenangkan Yoobin, perempuan ini lebih keliatan antusias sekarang. "Apa yang Winwin lakukan sampai membuat kau jadi galau karenanya begini--"
"Aku tidak galau karena dia ya!" Yoobin protes, tapi meyipitnya mata Jiho membuatnya tak tahan untuk berdehem rendah. "Ya-yaaaah, mungkin sedikit?" Kalimat selanjutnya lebih menjurus ke tanya. "Ta-tapi bukan dalam artian yang seperti itu--"
"Lalu yang seperti apa?" Jiho memutus, alisnya dinaik-turunkan dengan tangan yang sudah menopang pada dagu. "Hm? Hm? Ayo ceritakan semuanya pada Eonnie cantik ini..."
Wajah Yoobin memanas, kejadian semalam membuat semburat itu perlahan muncul sampai pandangnya dari Jiho diputus.
"Kau tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh 'kan--"
"Se-sesuatu yang aneh apa?! Tentu saja tidak--"
"Ah, biar ku koreksi. Kalian itu 'kan suami-istri, jadi mau melakukan apapun, tak ada yang namanya aneh..." kali ini Jiho menyela. "Termasuk yang orang-orang sebut bermain di ranjang--"
"SUDAH KU BILANG TIDAK SEPERTI ITU YA!"
Jiho terkekeh. Menggoda Yoobin sampai gadis itu 'mencapai batas', memang sangatlah menyenangkan.
"Tapi wajahmu sudah sangat memerah begitu--"
"Ini karena cuacanya panas--"
"Bahkan setelah kau minum satu botol kopi dingin dan sebungkus es krim?"
Yoobin bungkam. Pertanyaan Jiho jadi skakmat baginya yang memang juga merasa tak masuk akal jika merasa kepanasan secepat itu --jika tak ada sesuatu lain yang memicu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown Marriage✔
FanficIa bahkan tidak mengenal siapa lelaki yang diperkenalkan ayahnya sebagai Dong Sicheng ini, tapi kenapa tiba-tiba saja Beliau bilang jika dia adalah suaminya? Dan lagi-- Bagaimana Yoobin bisa tidak mengingat apapun soal pesta pernikahan yang seharusn...