Bab 1

18 0 0
                                    

"OI, Kucir Kuda!"

Tangan seorang pemuda memukul meja tepat di samping buku latihanku yang baru saja tercoreng.

Kucir kuda gigi lo! Aku mendongak tak terima, menatap pemuda tengik di depanku, dan membalas, "Apa sih?"

Namanya Reki. Sebenarnya kalau dilihat lagi, tubuhnya tidak begitu pendek. Kira-kira berada lima senti di atasku. Hanya saja, di dalam kelas ini ia lelaki terkecil. Dan kami semua sepakat memanggilnya 'Cebol'. Namun aku tidak berani menyebutnya demikian karena ia punya dendam pribadi kepadaku.

Lihat, aku yang sejak tadi diam saja dikatai Kucir Kuda. Bagaimana kalau aku meneriakinya dengan kata W-t-f, Cebol?! Kurasa dia bakal mengejarku ke liang lahat.

Semua bermula ketika aku tak sengaja mengulurkan kaki di lorong kelas karena pegal, dan ketika itu pula Reki memutuskan untuk lewat hingga membuatnya terjungkang dalam posisi memalukan.

Garis bawahi ini, dia hendak memukulku kalau saja tidak ditahan oleh teman-temannya. Mudah emosi dan tidak ber-prikemanusiaan, itulah Reki.

"Sini buku Hana!" pemuda itu ngegas sambil menarik buku contekanku. "Gue uda ijin."

"Oke. Tapi gue belom selesei-"

"Bodo."

"Ih, Reki!"

"Jangan sebut-sebut nama gue, Pirang!" tandas Reki seraya berjalan menuju kawan-kawannya yang berjumlah empat orang, dengan seringai senang menyaksikan interaksi kami.

Dari sekian banyak hinaan yang bisa ia lontarkan, sepertinya gaya rambutku adalah favoritnya. Aku menggertakkan gigi sambil meremas penaku. Hana dan kelompoknya sedang tidak ada di kelas sehingga Reki berbuat sesukanya.

Yang membuatku kesal, aku tidak diberi hak penuh atas buku latihan itu!

Sejujurnya, aku dan Hana bukan tipe teman seperjuangan yang menghadapi pahit manis asam garam kehidupan sekolah. Entah untuk alasan apa kami memutuskan menjadi teman sebangku, bahkan berjanji akan terus begitu sampai kelas 3. Barangkali, kami berdua menganut sistem simbiosis-mutualisme.

Hana itu lambat sekali dalam mengejar catatan yang di diktekan oleh guru, sementara aku punya sentuhan tangan yang indah dalam hal catat-mencatat. Aku tidak bercanda. Diantara 40 siswa-siswi disini, hanya buku catatanku yang paling mumpuni untuk dibaca, bahkan sampai dipinjam oleh seisi kelas.

Awalnya kupikir karena itulah kami cocok.

Namun ketika kami meyadari bahwa kami berdua tidak terlalu pandai dalam tes soal, Hana merayu sohibnya--Rita--agar diberi contekan.

Benar.

Rita yang Juara umum itu. Dia lumayan baik. Tidak ada yang menandinginya dalam hitung-menghitung di kelas ini. Walau demikian, kata Hana, justru nilai UN tertinggi Rita saat SMP ada pada mata pelajaran IPA. Dan aku percaya dengan itu. Dia pasti hebat dalam kimia. Tidak diragukan.

Membicarakan teman-teman Hana, ada gadis imut bernama Fauza, si rangking 2, yang pintar dalam conversation. Jago berbicara bahasa inggris. Ramah terhadap guru-guru dan lingkungan. Ia kerap menjadi gadis manja termehek-mehek, lalu mendapat gombalan anak laki-laki di kelas.

Nah, Rita, Hana, dan Fauza ini tidak akan menjadi akrab kalau tidak disatukan oleh Dona, si gadis gagah dari 11 IPA 1.

Dari dulu aku menganut kamus: jangan pernah mencari gara-gara dengan Dona Larasati. Ia punya jaringan sosial yang sangat luas sampai ke luar sekolah. Teman-temannya tidak ada yang tidak populer. Lihat saja postur tubuhnya yang tinggi atletis dengan rambut bob mengkilap bak duta Shampoo.

Ciri-ciri perempuan yang bakal dapat surat atau coklat dari para adik kelas. Guru-guru bahkan lebih banyak mengingat nama Dona dibanding Rita. Singkatnya, Dona adalah ikon dari kelas 11 IPA 1.

Sementara aku? Bukan apa-apa. Cuma murid kuper yang hobi berebut buku dengan anak laki-laki.

Teman dekatku ada, tentu saja. Mereka bernama Lily dan Enjel. Lily menjabat sebagai sekretaris lagi, begitupun Enjel yang dipercaya memegang keuangan kelas. Mereka berdua ibarat sepasang sepatu atau anting-anting atau semacamnya, yang selalu lengket dimana pun dan kemana pun. Rambut sama hitam dengan hiasan bando nyentrik sebagai mahkota. Kami menganggap mereka sebagai "anak kembar". Mereka orang yang ceria dan penuh semangat.

Aku menoleh ke arah Lily yang sedang duduk di bangkunya, dua meja di belakangku. Dengan wajah memelas, aku meminjam bukunya dan berjanji hanya menyalin nomor 9 dan 10 saja.

"Nih, jangan asal nyalin," omelnya. "Bahasa tulisan kita harus beda."

Aku menyengir dan berkata, "of course, Ly." Meskipun aku menyontek, aku tidak segoblok itu untuk menjiplak jawabannya. HA!

***

Ketika itu, bel jam istirahat berdering.

Aku sudah menyimpan buku dan berlari menghampiri Lily dan Enjel. Tiba-tiba terdengar suara heboh di depan pintu kelas. Lily langsung mendongakkan kepala untuk melihat apa yang terjadi, sementara aku dan Enjel baru akan membicarakan menu makanan kami.

"Seblak ceker..."

"Pentol dower..."

Ujar kami bersamaan. Saat keributan itu makin terasa dekat, wajah Lily sekonyong-konyong tersipu menatap ke depan. Dia berbisik kepada kami, menyebut satu nama dengan girang, "Buset Septian!"

Mendengar itu, Enjel membuang mukanya dariku untuk melihat ke depan juga. Aku pun menoleh protes.

Dua pemuda.

Asing.

Mereka menyerobot masuk ke dalam kelas kami dan berdiri di samping meja guru.

Wah, ada apa ini? Mereka akan mencari masalah dengan siapa? Aneh. Jantungku agak berdebar melihat keduanya.

Well, mereka memang... ya. Mata manusia normal akan mengatakan mereka berdua tampan; bergaya dan rapi. Perbedaan dari keduanya adalah, yang satu berkulit putih memasang senyum penuh pesona dengan sorot mata jenaka, sementara yang satu lagi memiliki kulit kuning langsat, dan ia membawa wajah setengah mengantuknya yang seksi.

Kutebak, Septian adalah pemuda yang berkulit putih itu. Karena aku yakin saja. Atau, sebenarnya Lily pernah bercerita tentang Septian ini. Katanya sih agak seperti aktor Korea.

"Sori ganggu. Barusan gue disuruh Wakepsek jemput seorang murid dari kelas 11 IPA 1. Siapa yang bernama Krystalea?" tanya Septian dengan mata mencari-cari dan senyum miring bersahabat.

Aku mengerjap. Tangan kananku entah kapan sudah terangkat sehingga Septian dan temannya menatapku. Dan sekarang semua penghuni di kelas ini melihat ke arahku dengan penasaran. Bagus sekali. Aku jadi pusat perhatian.

Seandainya dunia ini bakal kiamat pun, kupikir aku bakal jadi orang terakhir yang akan mereka cari. Aku segera menurunkan tanganku, "ada apa?" tanyaku kaku.

Ya, apa?

Apakah aku melakukan kesalahan dalam soal latihan? Apa aku kentara sekali sedang menyontek? Kenapa ajudan yang datang kemari harus mereka? Memalukan sekali.

Pikiranku begitu kalut dan kakiku sangat lemas hingga rasanya aku ingin jatuh pingsan saja.

Mata Septian menilaiku dari atas sampai bawah dengan sorot ragu dan ketidakpercayaan, kemudian berkata, "kamu Krystalea?"

Aku masih memakluminya jika ia salah mendikte namaku, tapi pemuda itu memilih untuk melanjutkannya dengan pertanyaan bodoh? Kenapa ia masih bertanya? Jelas-jelas aku tadi spontan mengangkat tangan.

"Itu gue," jawabku.

Lelaki itu mengangguk, "okay, kita ditunggu Pak IP di ruangannya. Ayo," ajaknya.

Oh ayolah, aku bahkan belum makan apapun.

*****

OLIMPIADE SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang