Bab 3

12 0 0
                                    

RUANG guru itu terkunci dari dalam. Diskusi sedang berlangsung antara para guru, wali siswa dan pak IP. Kemarin, ada beberapa murid yang ketahuan mengikuti tawuran dengan SMA Taruna, rival dari sekolah kami.

Tawuran? Betapa kuno. Untuk apa menyakiti diri sendiri dan orang lain. Dunia ini bukan lagi hukum rimba.

Aku tersaruk mundur saat pintu ruang guru terbuka, yang sangat menyesal kukatakan kalau aku hampir tersandung kaki sendiri.

"Kok kamu masih disini?" tanya pak IP. Gara-gara melihat wajahnyalah aku mendadak salah tingkah.

Dengan sopan aku menjawab, "anu, pintunya tadi dikunci, jadi..."

Pak IP menyela, "Adam nggak jemput kamu? Sepuluh menit yang lalu saya bilang ke dia Try Out di perpus saja."

Terima kasih kepada bapak berbudi luhur ini yang tanpa sengaja keluar ruangan dan melihatku.

Adam sialan. Ternyata kamu pendendam ya?

"Baik, Pak, makasih infonya. Saya nggak tau makanya saya nunggu disini," kataku dramatis.

"Yaudah ke perpus. Udah sediain pensil, kan? Minta kertas soal dan jawabannya sama Adam."

Bah! Aku tidak suka meminta apapun darinya! "Otw, Pak."

Ruang perpustakaan mungkin menjadi tempat paling sering diacuhkan oleh para siswa. Namun tidak sedikit pula murid-murid yang penasaran dengan ruangan tersebut. Misalnya, dalam drama romansa, kebanyakan perpus menjadi saksi mata untuk adegan-adegan manis yang dimainkan pemeran utama.

Jadi, menurut spekulasiku, 70 persen penghuni disana adalah bangsa cewek-cewek.

Aku melepaskan ikatan rambutku, membiarkannya tergerai di kedua sisi agar membingkai wajahku yang bulat. Berdoa saja semoga Adam tidak mengenali aku yang tadi berdebat dengannya di kantin.

Ketika melewati pintu kaca ganda, aku memberikan tanda pengenalku kepada si penjaga perpustakaan. Seorang wanita usia 30an.

"Buku apa yang mau kamu pinjam?" tanyanya.

"Bukan mau pinjem buku," jawabku, "saya mau Try Out."

Wanita itu menatapku datar sejenak, seolah aku baru saja membuat lelucon garing untuk dirinya. Atau, sebenarnya ia hanya tidak senang karena kedatanganku kemari bukan untuk mengagumi buku-bukunya. Yang manapun, sepertinya dia dan aku tidak akan bisa akrab.

Aku diantar menuju ruangan berpintu cokelat berkayu mahal. Ketika aku dijejalkan masuk ke dalam, terlihat penampakan tiga pemuda yang tadinya sibuk dengan kertas ujian mereka, kini mendongak menatapku.

"Lea, kamu kemana aja?" seru Septian.

Risih karena diperhatikan begitu lekat oleh Adam, aku menghampiri bangku di samping Septian sambil menunjuk pintu yang sudah tertutup kembali, "sori, apa cuma gue yang merasa atau mbak perpus itu emang ngeselin banget?"

"Dia emang nggak banyak omong," kata Septian, yang kedengarannya seperti memuji. "Lea, ini kertas jawabanmu, dan yang ini soalnya. Kamu makan apa sih kok bisa pinter biologi?"

Nyaris saja aku tersedak. Kulihat Adam melakukan gestur seolah kepalanya berdenyut, sedangkan Jafar yang tidak sabaran ini angkat suara, "bisa nggak lo tutup mulut, An? Daritadi gue gak bisa fokus."

"Siap, bosque," Septian menyengir.

"Makasih, ya," aku menyambut pemberian Septian.

"No problem." Septian memerhatikan ketika aku menulis namaku, lalu berbisik, "Oh, jadi Krystal Lea itu dua suku kata?" komentarnya takjub.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OLIMPIADE SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang