"Kang, pripun? Sampun angsal pesenanku nopo dereng?" ucapku pelan dan lirih ketika berbicara dengan kang santri dibalik tembok untuk menanyakan pesanan novel titipanku.
" Sampun dereng kang?" tanyaku sambil mengeraskan sedikit suaraku.
Belum ada jawaban dari kang santri itu, aku lalu mengambil batu krikil dan melemparkannya ke atas, dan...
"aa.. kenapa bisa kembali jatuh ke aku sii? "
"Eheem ..." subuah deheman yang khas di balik tembok. Dengan suara berat dan merdunya. Langsung menyadarkan dan membuatku untuk segera berlari masuk ke pondok putri. Aku tidak jadi mengambil novel pesananku. Alhasil jantngku terus berdetak tak berdetak tak karuan karena deheman itu.
"Sa ...! "
Aku berusaha menetralkan jantungku kembali, dengan kulantunkan sholawat yang kubisa.
"Sa ...!"
Semakin lama, aku terlarut dalam pejaman sholawat yang kulantunkan dan tersenyum sumringah sambil membayangkan siapa yang berada dibalik tembok itu.
"Aneesa, ngapain kamu memegang buku sambil senyum-senyum sendiri begitu?" tanya Nurma sambil menatapku selidik.
"eee.. engga kok, aku hanya sedang bahagia, hehe"
"Pantesan, kamu lho dari tadi aku panggil nggak nyaut-nyaut. Eh, bentar-bentar.. kening kamu normal kok, ndak panas juga."
"Nurma, aku tu nggak sakit. Aku lagi bahagia."
"kenapa? Ayoo dong Sa cerita.."
"emmm.. rahaasia" aku berlari menghindar dari pertanyaan Nurma yang seperti mau mengintrogasiku. Dan bersiap untuk ke dapur.
Cuaca disini kalau malam hari menjadi lebih dingin di bandingkan siangnya. Pondok pesantren ini terletak di kawasan lereng gunung Sindoro. Meskipun jaraknya masih jauh dari gunung, tapi hawa dingin disini bisa sebanding dengan di lerengnya pas. Di samping pondok, ada area persawahan dan perkebunan. Di sini , segala urusan pertanian akan di kerjakan oleh santri putra. Dan hasil dari pertanian tersebut, kemudian diolah oleh santri putri.
Antara kebun dan dapur hanya di sekat tembok yang tingginya dua meter. Di sebelah ujung tembok ada pintu yang biasanya untuk menyerahkan hasil panen kebun dari santri putra ke santri putri. Sebelum ke pintu itu, di dapur santri putri dibatasi dengan skat bunga dalam pot. Sehingga santri putra tak bisa mengintip santri putri ketika sedang memasak. Kunci dari pintu itu dipegang oleh dua orang. Yaitu keamanan santri putra , kang Ardi dan keamanan santri putri, mbak Jannah.
Bagiku dan beberapa santri baru di sini, sangat penasaran dengan kebun yang di rawat oleh kang santri. Karena setiap yang dihasilkan dari kebun, selalu segar dan berkualitas. Para mbak-mbak jadi makin semangat dalam memasak.
Meski baru dua minggu aku mondok disini, aku bisa menitip beli novel pada kang santri. Buktinya sampai sekarang, sudah ada 2 novel yang bisa kubaca setiap hari kamis-jumat. Tapi, saat mau mengambil novel ke tiga itu, suara deheman dari kang santri yang suaranya sangat legendaris bagi santri putri terdengar olehku. Membuatku kabur dan tak jadi mengambil novel ke tigaku.
Setelah selesai nadhoman asmaul husna di masjid, semua santri berkelompok menuju kelas pembelajarannya masing-masing. Ada yang belajar kitab fikih, jurumiyah, Al-qur'an, yanbu'a , dan sebagainya. Ada juga yang belajar berkhitobah, sholawatan, dan tilawah. Umik selalu menyimak muroja'ah dari mbak-mbak tahfidz selepas maghrib. Dan Baba adalah tokoh yang selalu menyemangati santrinya dalam belajar. Melalui ceramah-ceramahnya yang unik dan di kemas begitu memukau para santri.
Aku memperhatikan mbak-mbak yang sedang setoran muroja'ah bersama umik. Ada yang melantunkan ayat suci dengan terbata-bata , ada pula yang sangat lancar. Ada yang dengan suara pelan, ada juga dengan nada yang tinggi. Maklum bagiku, karena santri di sini bukan hanya berasal dari Jawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aneesha
RomanceAneesha seorang santri baru yang ingin menemukan makna tentang kedamaian batin. Dalam perjalanan ia bertemu sosok kang santri dengan suara emasnya dan ia menemukan kedamaian lain dalam bentuk cinta. Akankah kapal yang Esha tumpangi akan berlabuh did...