"Mama dan Papa akan bercerai, terserahmu mau ikut dengan siapa," ucap seorang wanita dewasa dengan wajah lelahnya.
Si anak yang diajak bicara hanya diam, menatap surat resmi yang menjadi keputusan final kedua orang tuanya.
Nafeesa Alie Reinanda.
"Tenang saja, aku bisa tinggal di Apartement. Lagipula rumah nenek tidak jauh dari sini." Akhirnya Alie menjawab ucapan ibunya setelah ia mendapatkan kembali kewarasannya.
Meski Alie hanya menampakkan wajah datar, namun perasaannya tentu hancur. Siapa anak yang rela kedua orang tuanya berpisah? Apalagi sampai harus memilih akan tinggal dengan siapa.
"Kenapa kau begitu keras kepala?" Tanya Nyonya Fira yang tidak menerima wajah datar dan jawaban dari sang putri. Wajah lelahnya berubah menjadi raut kasar, matanya menyorot tidak suka pada putri sematawayang nya.
"Apa yang keras kepala? Aku bahkan tidak menolak keputusan kalian. Sudahlah Ma, mau aku tinggal di manapun, kalian sebenarnya juga tidak peduli, bukan?"
Setelah mengucapkan hal itu, Alie bergegas masuk ke dalam kamar, tidak lupa menguncinya seperti biasa. Merebahkan tubuhnya yang lelah, menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong. Entah apalagi yang harus ia pikirkan, terlalu banyak hingga tidak ada satupun yang mampu ia beri tempat dikepalanya.
"Kali ini apalagi?" Tanya sosok yang sedari tadi berdiam di kamar tersebut.
Alie bergulir mencari sosok tersebut, ternyata tengah duduk santai di kursi belajar menghadap ranjang tempatnya berbaring. Dirinya tersenyum, "tebak apa yang terjadi." Hanya itu yang keluar dari belah bibirnya dengan nada tanpa tanya.
Sosok itu juga tersenyum, menghela napas kembali menatap Alie. "Apa mereka memutuskan untuk berpisah?"
Alie terkekeh, "kau selalu tahu apa yang terjadi, Sada."
Sosok yang dipanggil Sada itu ikut terkekeh, menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku tidak tahu dari manusia menyedihkan seperti dirimu, Alie?" Tanya Sada yang mengudara.
Alie memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Namun, tidak bisa. Ah, mungkin tidak akan bisa. Ini baru pukul sebelas, bukan waktu Alie biasa tidur.
"Tidurlah Alie, kau butuh istirahat." Sada berbicara sambil menghampiri Alie yang kembali menatap langit-langit kamarnya.
"Kau tahu, Sada? Dari semua hal yang terjadi, perpisahan mereka adalah hal yang tidak aku inginkan." Alie menghiraukan ucapan Sada, memilih mengucapkan kalimat yang benar salahnya sudah mengambang.
"Tapi itu dulu, sebelum kau lelah dengan mereka yang egois. Selalu tidak menghiraukan perasaanmu, bahkan mereka tidak pernah ingin tahu tentang apa yang terjadi padamu." Sada beribacara dengan nada dan tatapan serius miliknya. Benar, Sada memberikan fakta.
Mendengar Sada berbicara demikian, Alie hanya meliriknya lalu tersenyum. "Kau benar, Sada. Itu yang terjadi, hahaha terima kasih sudah mengingatkan."
Sada berdecih karena muak mendengar nada tawa tersebut. Menghela napas, ikut berbaring di sebelah Alie. "Butuh pelukan?" Tanya Sada dengan suara lembut.
Tanpa menjawab, Alie mengangguk.
Malam ini keduanya habiskan untuk berbaring sambil memeluk. Sada membiarkan Alie merasakan, jika wanita itu tidak pernah sendirian. Dan seperti biasa, Alie selalu menikmati hangat satu-satunya yang ia miliki.
___
Pagi ini, rumah besar itu kosong seperti pagi biasanya. Tidak ada dialog sembari sarapan layaknya keluarga lain lakukan. Bahkan, dapur dan ruang makan terlihat sangat hampa bersama kosong yang ada. Apalagi, keputusan akhir yang kepala keluarga itu ambil bersama sang istri, menambah kesan tidak berguna bagi suasana pagi yang hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadajiwa
Teen FictionRapuh jiwanya dipeluk hitam, mengharap tenang padahal angan. Tiap langkahnya berduri, kaki hanya dibalut kepercayaan diri. Hidup memang sulit. Bahkan lebih sulit lagi menuntut harap bahagia yang sejatinya selalu ada bersama lara.