-Dari mana asal jaket denim itu?-

61 2 0
                                    

Malam itu kami tiba di tempat tujuan setelah mengalami kendala dalam perjalanan yang lumayan serius. Kendala kami kala itu ialah hujan deras dan medan yang harus dilalui terbilang cukup berbahaya. Karena itu alat transportasi yang membawah kurang lebih lima puluh penumpang itu diharuskan berhenti selama hampir 2 jam untuk menunggu hujannya reda serta memastikan jalanannya aman setelah diguyur hujan deras tanpa jeda.

Ketika tiba di kamar masing-masing aku melepas jaket denim yang lumayan menghangatkan dalam perjalanan. Jaket denim? Benda istimewa yang mampu membuat jantungku berdetak kencang malam itu.

"Al, kamu kedinginan?" Tanya Vanila cemas. Wajar saja Vanila cemas melihatku malam itu. Aku orang yang sangat tidak cocok dengan cuaca dingin apalagi dengan situasi seperti itu.

"Harusnya aku memakai jaket yang dibelikan bunda," kataku sambil memeluk badanku sendiri karena tidak tahan dengan cuaca dingin yang mampu menusuk tulang-tulangku.

"Al, kamu kedinginan. Ah, sial jaket aku ada di dalam koper. Al, kamu tunggu disini. Aku harus mengambil jaket."

"Gak usah, La. Aku baik-baik aja."

Tiba-tiba ...

"Woi, kak."

Salah satu kekurangan Vanila adalah kepercayaan dirinya yang kelewat batas. Tentu saja itu adalah kekurangannya.

"Woiii. Eh yang pake jaket denim punya kuping gak sih."

Seketika hawa di dalam bus itu terasa sangat panas. Sangat panas. Wajahku serasa terkena tiupan angin panas yang sangat panas. Aku tidak lagi merasakan kedinginan.

Tiga laki-laki yang berjaket denim langsung berbalik badan secara bersamaan. Mereka melihat ke arahku dan Vanila sedang duduk di kursi paling belakang. Entah kenapa aku merasa malu dan sedikit takut. Beberapa dari laki-laki itu adalah senior di kampus. Beberapa dari mereka manatap heran, marah, dan salah satunya tersenyum simpul.

"Eh, buset pasaran banget tu jaket." Kata Vanila mengejek dengan suara pelan.

"Apa yang kamu lakukan barusan, La?"

"Hai kakak-kakak. Apa kabar? Sehatkan semuanya. Kenalin aku Vanila dari jurusan,,,"

"Gak ada sopan santun." Tiba-tiba salah satu yang mengenakan jaket denim memotong perkataan Vanila yang santai dan sedikit ceria sok akrab. Bisa dibilang itu adalah kekurangannya juga.

"Sorry, kak. Memang sih tadi aku sedikit kurang sopan. Tapi, kayaknya kakak lebih tidak sopan deh."

"Dasar junior gak punya etika."

Kalau bukan karena satu laki-laki bertopi hitam yang melerai mungkin nasib Vanila bisa sekarat di malam itu. Selain ribut dengan senior bisa saja Vanila akan mendapatkan kecaman dari senior lainnya.

"Udah, Lif."

$$$

Melewati malam ke pagi di desa itu tentu saja bukanlah satu hal yang mudah bagiku. Selain tak suka dingin, aku juga tidak suka gelap. Karena kami memilih untuk melakukan satu kegiatan dari kampus di salah satu desa mau tidak mau kami harus siap dengan resiko dan kendala yang akan kami hadapi. Salah satunya ketiadaan listrik di desa itu. Para penduduk desa hanya mengandalkan penerangan dari pelita di malam hari. Juga tidak melakukan kegiatan pada malam hari itulah mengapa desa itu dijuluki "Desa Bisu".

"Alyaaaaa," teriak Vanila dari kamar mandi.

Bukan hanya aku saja yang terkejut tapi Vanila juga membuat teman-teman yang sedang mengantri di depan kamar mandi yang terbuat dari bahan kayu itu ikut terkejut.

"Ada kecoak," lanjut Vanila.

"Kecoak?"

"Dimana?

"Besar nggak kecoaknya?"

"Ya ampun padahal udah kebelet tapi aku takut kecoak."

"Bunuh aja kecaoknya."

"Habis dibunuh nanti kita kubur sama-sama."

"Iya, iya nanti kita kubur sama-sama trus didoain."

"Yang mimpin doanya Aryan."

"Wah, kalau yang mimpin doanya Aryan jangankan kecoak kubur semut aja aku mau."

Keheboan akibat kecoak di pagi itu benar-benar tidak bisa dihindari lagi. Semuanya sibuk berlarian dan ada pula yang sibuk membicarakan tentang ketampanan laki-laki yang bernama Aryan.

"Andai saja Mas Aryan mau jadi suami aku, apapun akan aku lakukan untuk Mas Arya."

"Udah ganteng, baik pula."

Kebanyakan dari gadis-gadis yang memuja ketampanan laki-laki yang bernama Aryan adalah senior dan aku hanya diam mendengarkan. Dan entah kenapa aku teringat dengan satu laki-laki yang memberikan jaket denim di malam itu. Aku penasaran siapa laki-laki itu dan bagaimana bentuk wajahnya. Aku sulit mengenalinya karena cahaya yang remang-remang di dalam bus. Meski begitu aku selalu penasaran dan ingin mengembalikan jaket itu.

"Al." Vanila memperlihatkan kecoak mati yang ia pegang.

"Arghhhhhhhhh." Aku berteriak dan mengambil langkah mundur yang sangat cepat karena terkejut dan takut dengan kecoak.

"Vanila, kamu pembunuh," lanjutku.

"Al, di belakang kamu."

BRUKKKKKKK.

Langit yang begitu cerah. Berwarna biru tanpa berawan. Burung-burung berterbangan kesana kemari. Kupu-kupu cantik terbang dengan anggunnya. Sungguh pemandangan yang indah.

"Al, kamu baik-baik aja, kan?" Kalimat itu berulang kali aku dengarkan tanpa tahu dari mana asalnya. Tak lama suaranya semakin terdengar jelas.

"Kamu baik-baik aja, kan?" Suara itu terdengar jelas ditelingaku.

"Suaranya. Suara itu. Dimana?" batinku.

"Al, sini aku bantuin." Vanila membantuku untuk bangun. Aku terduduk dan merasa sedikit tidak enak dengan keadaan disana. Semua mata tertuju kepadaku dan terpaku diam.

"Belakangku. Tulang-tulangku sepertinya patah karena tertindih kebo." Suara yang tak asing itu terdengar kesakitan namun sepertinya ia sengaja mengejekku yang tidak sengaja jatuh bersamanya ke tanah yang terjadi beberapa menit yang lalu.

Aku hanya melihatnya berjalan sambil memegang punggungnya. Jalannya normal namun ia terdengar seperti sangat kesakitan. Manusia aneh.

Kamu Mana Tahu Kalau Aku MengagumimuWhere stories live. Discover now