-Resep baru Vanila-

19 2 0
                                    

"Aku gak salah dengar kan, Al."

"Kebo."

"Ha, sahabatku disamakan sama kebo."

Berbagai macam pertanyaan bahkan Vanila sampai berani mengejekku. Entahlah apa yang ada dipikiran laki-laki aneh itu.

Aku hanya memikirkan siapa laki-laki itu sampai dia berani menyamakanku dengan bobot hewan seperti kerbau. Padahal kalau dihitung-hitung berat badanku terbilang langsing.

"Al, tadi udah dimasukin garam belum sih?" Vanila berdiri di hadapan kompor dan panci yang berisikan sayur di dalamnya.

"Belum kayaknya."

Setelah mendengar jawaban dariku Vanila pun memasukkan satu sendok makan garam ke dalam masakan yang sedari tadi pagi membuat kami sibuk di dapur.

Kebetulan hari itu kami mendapat tugas untuk membantu Kak Ara di dapur. Sebelum Kak Ara pergi karena ada urusan mendadak yang harus ia selesaikan saat itu juga maka semua tanggung jawab untuk memasak makanan diberikan kepada Aku dan Vanila. Namun, kami hanya bisa pasrah sambil berusaha. Setidaknya kami ada besik memasak air dan memasak mie.

"Al, soal kecoak itu. Sebenarnya kecoaknya udah mati. Aku bukan pembunuh kok. Aku juga gak tega kalau harus membunuh kecoak. Sejijik jijiknya aku sama kecoak aku juga kasihan sama kecoak. Mungkin aja kecoak itu punya keluarga. Gak tega aku."

Begitulah Vanila. Aku mengenalnya dengan orang yang sangat ceria dan periang. Penuh kasih sayang dan sangat perhatian. Terkadang ia tampil diluar dugaanku.

"Dari mana kamu dapat keberanian megang kecoak?" Tanyaku.

Vanila tersenyum simpul dengan tangan yang sibuk menyiapkan peralatan makan di meja. Ia pergi membawah piring dan sendok tanpa menjawab satu kata pun dari mulutnya. Setelah itu aku menyusulnya dengan membawah beberapa masakan yang sudah kami masak bersama.

Setelah menyiapkan hidangan makan siang di bawah pepohonan yang teduh Aku dan Vanila bergegas untuk memanggil teman-teman lainnya yang tengah sibuk mengecat pagar halaman tempat tinggal kami.

"Kak, Ara." Orang pertama yang aku panggil adalah Kak Ara. Ia membawah tumpukan buku ditangannya menghampiriku.

"Wah wah wah makanannya terlihat enak semua. Gak salah menunjuk kalian untuk membantu kakak." Puji Kak Ara.

Kak Ara kemudian mengambil mangkuk dan sendok lalu ia dentingkan dengan penu semangat.

"Untuk semuanya harap menghentikan kegiatan. Sekarang udah waktunya makan siang. Silahkan bergabung bersama kami."

Kegiatan siang itu pun dihentikan sejenak untuk mengisi tenaga yang cukup terkuras sejak pagi tadi. Teman-teman yang lainnya beranjak untuk makan. Jujur, ini kali pertama aku membuat masakan untuk banyak orang. Ini juga kali pertamaku memasak makanan yang belum pernah aku masak sebelumnya seorang diri. Pernah masak ginian tapi itupun hanya membantu bunda di dapur tanpa tahu  cara masaknya. Dan, silahkan menikmati makanan dari resep terbaru Vanila.

"Ih asin banget. Ini apaan sih," keluh salah satu senior kami.

"Iya, asin."

"Ayamnya belum matang."

"Nasinya juga belum matang."

"Kalau gak bisa masak gak usah masak."

"Mubazir kan jadinya."

"Aelah, modal rebahan jadinya kek gini."

Keluhan dan hinaan dari mulut mereka keluar tanpa memikirkan perasaan Aku dan Vanila yang sudah bersusah payah untuk membuat makanan. Memang aku dan Vanila tidak tahu menahu tentang memasak. Namun, apakah kami pantas dihina seperti itu?

Melihat wajah Vanila membuatku sangat iba. Aku tahu apa yang sedang Vanila rasakan. Tapi,aku salut atas usaha Vanila. Meskipun ia kurang mahir dalam perdapuran akan tetapi ia sangat ingin memasak untuk teman-teman kami. Andai saja Vanila tidak Mengiyakan permintaan Kak Ara untuk melanjutkan masakan Kak Ara mungkin tidak ada makanan yang tersedia di siang itu. Malangnya, kami malah dibalas hinaan tanpa rasa terima kasih.

"Vanila, Alya," panggil Kak Ara.

Aku dan Vanila menghampiri Kak Ara dengan langkah yang lumayan berat. Kami sedih karena hinaan dari mereka.

"Untuk teman-teman semua mohon perhatiannya."

Aku dan Vanila berdiri di samping Kak Ara menghadap  ke depan. Menatap satu persatu wajah dari mereka yang tega menghina kami.

"Saya akui masakan Alya dan Vanila adalah masakan yang terburuk. Tidak layak untuk dimakan. Bahkan tidak layak untuk disebut makanan." Kata Kak Ara. Betapa terkejutnya aku ketika mendengar kalimat yang Kak Ara katakan dengan lantang. Tiba-tiba saja kakiku terasa lemas tanpa tulang sebagai penyangganya.

"Apakah kalian puas?" lanjut Kak Ara dengan lantang.

Namun, tak satu pun orang yang berani menjawab pertanyaan Kak Ara. Suasana menjadi hening hanya tiupan angin yang terdengar lembut di telinga di siang itu.

"Bayangkan itu adalah masakan dari ibu kalian. Apakah kalian berani berkomentar seperti tadi? Apakah kalian tega membuat ibu kalian sedih? Kalau kalian tidak ingin memakannya jangan dimakan. Lebih baik kalian diam. Setidaknya Alya dan Vanila ada usaha untuk membuat makan siang untuk kalian semua. Kalau gak ada Alya dan Vanila kalian mau makan apa? Okey, saya minta maaf karena saya lalai dari tugas saya. Saya tidak tahu kalau mereka tidak becus memasak makanan. Saya akui itu. Tapi, alangkah baiknya kalau kalian bersyukur atas nikmat siang ini. Sayurnya keasinan, ayamnya belum matang, nasinya juga mentah itu semua hanyalah ujian dari kekompakan dan kebersamaan kita. Hargai mereka."

"Kami minta maaf, Kak." Salah satu dari mereka berani bersuara untuk meminta maaf.

"Jangan minta maaf ke saya. Minta maafnya ke Alya dan Vanila," kata Kak Ara kesal.

"Kami minta maaf, Al, La."

"Iya, kami minta maaf."

"Maafin, aku."

"Maaf, Al, La."

Akhirnya dengan permintaan maaf dari teman-teman membuat hati kami yang awalnya sakit karena hinaan dari mereka kini terobati oleh permintaan maaf yang tulus. Kami juga ingin meminta maaf karena membuat makan siang kalian tidak seenak biasanya. Kami akan berusaha untuk memasak makanan yang bisa dimakan dan dinikmati.

"Setidaknya diam adalah cara untuk menahan kalimat yang akan menyakiti hati seseorang."

Kamu Mana Tahu Kalau Aku MengagumimuWhere stories live. Discover now