0.1 Kehidupan yang Berbeda

99 21 9
                                    

Wisnu—laki-laki dengan jabatan tinggi, berkuasa dalam perusahaan sang ayah. Lelaki tampan, cerdas dan bijaksana. Calon penerus perusahaan Keluarga Johari. Itu yang orang-orang bilang tentang Wisnu.

Kenyataannya, jauh dari itu. Wisnu yang orang lihat hanyalah karakter buatan sang ayah. Yang dipaksa selalu bisa melakukan ini dan itu tanpa kesalahan. Ayahnya sukses menciptakan 'Wisnu' yang disukai banyak orang. Tapi tidak dengan dirinya sendiri. 

Muak. Satu kata yang menggambarkan diri Wisnu yang sebenarnya. Ia muak melihat kelakuan sang ayah yang terus-terusan membuat dirinya kehilangan jati diri, kehilangan impian dan cita-citanya. 

Wisnu kehilangan dirinya yang  sebenarnya. Ia bukan lagi laki-laki yang murah senyum dan bahagia. Sang bunda tahu itu, tapi tak bisa berbuat banyak karena besarnya pengaruh ayah Wisnu. Mungkin, sudah berkali-kali Wisnu mengatakan ingin pergi, entah sekedar pergi dari rumah atau pergi meninggalkan dunia. Tapi semua itu tak bisa ia lakukan karena bundanya. 

Perempuan lemah lembut yang terjebak perjodohan bisnis dua keluarga. Perempuan yang selalu mencintai Wisnu sepenuh hatinya. Kata-katanya selalu mengalun indah memasuki telinganya. 

"Wisnu sudah makan?" Wisnu menuruni tangga dengan setelan jas hitamnya. Menatap bunda yang tengah mencuci piring bekas sang ayah. Kemudian matanya menangkap siluet ayahnya di halaman belakang. 

"Sudah, bunda" 

Langkahnya menuju halaman belakang. Manghampiri ayahnya yang sedang menghisap rokok. "Ayah kan tahu bunda punya asma, kenapa merokok disini?" Tata bahasanya halus, sesuai ajaran sang bunda. Namun nadanya agak meninggi. 

"Sana berangkat, rapat pagi ini harus ada hasil. Jangan seperti kemarin." Bukannya menjawab pertanyaan Wisnu, sang ayah justru menglihkan pembicaraannya pada hal lain. Namun itu kembali dibalas Wisnu. 

"Jangan merokok dekat bunda kalau ayah masih mau warisan dari eyang." Wisnu meninggalkan ayahnya dengan tatapan tajam. Bukan rahasia lagi kalau ayah Wisnu memang mengincar warisan dari keluarga istrinya. 

"Bunda, Wisnu berangkat. Jangan kecapean dan ngelakuin hal berat." Wisnu mencium tangan sang bunda, kemudian berbalik mencium kening bundanya. "Hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut-ngebut." 

Wisnu beralih pada sang ayah yang masih diam di halaman belakang. Tidak ingin berpamitan. Kemudian ia pergi berlalu begitu saja keluar dari rumah mewah yang terasa begitu sesak. 

Bunda memperhatikan Wisnu yang sudah menghilang dari hadapannya. Berjalan mendekati sang suami yang kemudian menyadari kehadiran nya. Ia mematikan rokok dan menyemprotkan pewangi untuk mulutnya. Lalu menatap istrinya yang terlihat murung, namun ia jelas tahu apa penyebabnya. 

"Jangan kayak gitu sama Wisnu, mas. Dia kan anak kamu, perlakukan Wisnu dengan lembut. Gimana dia gak benci sama ayahnya kalau sikap kamu begitu?" Julia menatap suaminya dengan raut wajah bingung. 

"Dia harus tegas buat mimpin perusahaan." 

"Iya, itu kan bisa kamu terapin di kantor. Sekarang itu di rumah mas, dia itu anak kamu loh."

"Kita udah sering bicarain ini, Julia. Mas harap kamu ngerti." Haris mendekati istrinya kemudian mencium keningnya. Ia mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas meja makan. Kemudian pergi begitu saja dari rumahnya. 

Lagi-lagi, rumah mewah itu terasa sesak di hati Julia. 

***

Jihan mengemas pakaian kotornya, ia menaruh beberapa pasang baju yang belum sempat ia cuci beberapa hari kemarin. Sibuk menyelesaikan bimbingan kuliah dan skripsi. Jihan menatap keluar kamar, beberapa anak kecil terus berlarian di sekitarnya. Itu yang membuat dirinya harus belajar dan mengerjakan tugas di malam hari, agar tidak merasa terganggu karena suara anak-anak. 

Yogyakarta, I'm in Love with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang