0.2 Pilihan

118 21 4
                                    

Jihan berjalan dengan lunglai. Ia baru saja mengantarkan adik-adiknya ke sekolah dengan berjalan kaki. Letak sekolah yang tidak terlalu jauh membuat adik-adiknya merasa senang berangkat bersama walau dengan berjalan.

Hari ini perkuliahan libur, tugasnya telah rampung dan hanya menunggu jadwal wisuda. Jihan bersyukur atas kerja kerasnya selama ini, tentunya berkat Ibu dan Sena yang mau membantu biaya kuliah Jihan.

Jihan bertekad jika ia sudah bekerja, gaji pertamanya akan ia belikan hadiah untuk Ibu dan Sena. Walaupun tidak seberapa perbandingannya, setidaknya Jihan harus tahu bagaimana caranya berterima kasih.

Jalanan kecil yang ia susuri menuju rumah dipenuhi tetangga-tetangganya yang tengah beraktivitas. Jihan menyapa ramah sambil tersenyum. Menundukkan kepalanya beberapa kali ketika melewati tetangganya yang menyapa.

Sampai dirumah, ia sendirian kali ini. Ibu pergi dan Sena sudah berangkat kerja. Tak banyak hal yang bisa ia lakukan selain bersantai karena rumah juga sudah rapih, cucian telah berjejer di halaman belakang.

Jihan memilih sedikit bersantai menggunakan waktu luangnya untuk membaca buku. Ia duduk di depan meja belajar yang menghadap ke arah luar, tepat kos-kosan milik Ibu. Sambil sesekali melirik ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai. Kembali membaca bait-demi bait yang dirangkai menjadi kata-kata indah nan cantik. Membawa pikirannya jauh terbang ke angkasa. 

Suara berisik terdengar dari depan, Jihan kembali menatap lurus. Seorang ibu yang tengah memarahi putri kecilnya karena bermain tanah. "Lia" sapa Jihan. 

Gadis kecil yang tengah menangis itu menatap Jihan kemudian tersenyum lebar. "Tante Jihan!" Tangan mungil Lia menyapa pandangan Jihan, melambai-lambaikan kedua tangannya untuk Jihan. Tetapi wajah ceria Lia tiba-tiba menghilang. Kini gadis itu murung menatap Jihan. 

"Ibu marah-marah mulu  tan, aku kan sebel" Jihan menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya, menatap Lia dari jendela yang terbuka lebar. "Kok bisa dimarahin, Lia ngapain sampe bikin ibu marah?"

Lia merengut menatap ibunya yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada. "Lia main tanah" Suara kecil Lia masih terdengar di telinga Jihan. Perempuan itu menatap mbak Naya-ibu Lia dengan sedikit tertawa. 

"Lia, ibu bukan marah. Ibu perhatian sama kamu. Kalo kamu main tanah kan nanti kotor, tuh lihat kuku kamu" Lia sontak mengangkat kedua tanganya dan memperhatikan kukunya secara seksama. 

"Ih item banget. Itu banyak kumannya, sayang" Naya menatap putri kecilnya kemudian beralih pada Jihan yang tersenyum penuh arti kepada Lia. Perempuan itu pasti ingin seperti Lia. Setidaknya ia mau dimarahi saat membuat kesalahan-kesalahan kecil oleh ibunya-ibu kandung nya. 

"Han, mbak pulang dulu ya. Bersihin Lia, kotor banget." 

Jihan mengangguk "Iya mbak"

Mbak Naya lekas menggendong Lia. "Pamit dulu sama tante Jihan" 

"Dadahhh" Lia melambaikan tangan nya pada Jihan. Ia membalas senyuman ceria Lia yang semakin menjauh. 

Sekarang pandangan di depan Jihan kembali kosong. Ia tersenyum sedikit sebelum kembali membaca. Ibu. Apakah sudah saatnya ia mencari siapa orang tua kandungnya? Jihan sudah dewasa, ia berhak menentukan pilihannya sendiri. Namun sebelum itu Jihan harus menyiapkan diri, bersiap dengan segala kemungkinan yang akan ia terima dikemudian hari. 

Ia merasa sudah cukup lama untuk menerima kenyataan namun tetap saja, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia belum siap. Entah alasan apa yang akan dikatakan padanya saat bertemu dengan orang tuanya. Sebuah kelahiran yang tidak diinginkan? Anak yang tidak terduga? Tidak bersiap untuk kelahirannya? Jihan berkali-kali memikirkan alasan apa yang sebenarnya membuat dirinya berada disini, jauh dari kedua orang tua kandungnya. 

Yogyakarta, I'm in Love with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang