bagian 1: 20 tahun

171 12 0
                                    

Lilin berbentuk angka 20 di atas kue tart berukuran kecil yang didominasi warna putih itu padam setelah tiupan ketiga. Ruangan yang semula temaram menjadi gelap gulita. Diandra tak punya niat untuk sekadar berdiri dan menyalakan lampu, tidak juga bernafsu untuk menyantap kue yang Diandra yakin dikirim oleh ibu tirinya itu. Ia hanya duduk dengan lutut tertekuk menghadap meja makan. Matanya melihat apapun hitam pekat yang ada di depannya, berharap pengap yang ia rasa dapat menghentikan napasnya saat itu juga.

Cukup lama ia bertahan dengan posisi itu, hingga suara telepon yang memecah keheningan menggerakkan gadis berambut legam itu untuk bangkit menemukan saklar lampu dan ponselnya. Diandra melihat sekilas layar ponselnya yang menampilkan panggilan video dari nomor tak bernama. Gadis itu lebih dari tahu siapa yang menghubunginya, ia hanya enggan untuk menyimpan nomor tersebut.

"Happy birthday, Sweetie," suara lembut dengan wajah ceria Mirna menyambut Diandra begitu ia menggeser tombol hijau di layar.

"Tart-nya udah sampai, kan? Maaf ya mama gak bisa ikut rayain," ujar wanita cantik itu seraya memelas.

Diandra tidak bersuara, tak juga memberikan reaksi atau eskpresi. Ia hanya menatap lurus wajah ibu tirinya yang kini mengucapkan banyak doa untuknya. Jujur saja, mendengar suara wanita itu membuat Diandra muak.

"Minggu ini kita rayain ya, sweetie. Sama papa dan kak Gia juga. Sekalian kamu ajak Jean. Kalian sering ketemu di kampus, kan?" Mendengar tiga nama itu membuat suasana hati Diandra yang sedari tadi tidak baik menjadi semakin berantakan.

"Kamu mau mama masakin apa?"

Diam. Masih tidak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut Diandra.

"Ma, Diandra ngantuk. Udah dulu, ya," dustanya. Ia bahkan tak bisa tidur sekalipun raganya lelah luar biasa. Ia hanya beralasan karena tidak tahan berlama-lama melihat wajah yang terlihat begitu bahagia itu. Terlebih saat Mirna mulai mengarahkan kamera depan ponselnya pada sosok pria yang duduk di sampingnya. Membuat rasa benci kian tumbuh subur dalam hati gadis itu.

"Oh, iya, Nak. Sleep tight, sweety. See you on sunday. Love you," kalimat itu ditutup dengan kecupan dan lambaian tangan dari Mirna.

Setelah layar ponselnya mati, Diandra berdiri dan ekor matanya melirik ke arah kue tart yang belum juga ia sentuh dan kini sudah mulai meleleh. Ia mengangkat kue cantik itu dan melemparnya ke tong sampah disertai dengan sedikit bantingan. Diandra menghela napas, ia butuh udara dan sesuatu yang menyegarkan.

°°°

Diandra kembali dari minimarket dengan sekantung penuh es krim berbagai varian dan sebuah plastik dengan label nama salah satu apotik di area tempat ia tinggal. Pintu lift baru saja akan tertutup saat seorang pria jangkung masuk dengan tergopoh-gopoh. Diandra sedikit menggeser posisinya lantaran dua tumpuk kardus yang berada di pelukan pemuda itu terus-menerus mengenainya.

Selang beberapa detik, ponsel di saku jins pemuda itu berdering. Ia bingung karena saat ini kedua tangannya sibuk memegang kardus berat. Entah kelewat bodoh atau bagaimana, ia tidak berpikir untuk meletakkan barangnya sejenak di lantai, seolah benda dalam kardus coklat tersebut akan kabur begitu ia melepasnya.

Laki-laki itu terus berusaha menjangkau ponsel di saku belakangnya. Terlihat konyol bagi siapapun yang menyaksikannya, kecuali Diandra. Gadis itu lebih memilih untuk fokus pada bayang dirinya yang memantul di pintu lift, meskipun pikirannya melayang jauh.

Suara benda yang terjatuh cukup keras mampu membuyarkan lamunan Diandra. Gadis itu menoleh ke sumber suara dan mendapati ponsel yang menelungkup di ujung kakinya.

Diandra memungut ponsel dengan case berwarna hitam itu, berbarengan dengan lift display yang menunjukkan bahwa saat ini ia sudah berada di lantai tujuh. Diandra menyerahkan ponsel pada pemiliknya dan melenggang pergi sebelum pria itu sempat mengucapkan terima kasih. Pemuda itu ingin menyusul, namun kardus sialan di tangannya terus menyulitkan jalannya. Ia hanya dapat melihat punggung gadis itu lenyap setelah memasuki unit yang bersebelahan dengan miliknya.

°°°

Makan es krim tengah malam mungkin terdengar tidak waras bagi sebagian orang, karena selain sensasi dingin dari es krim terasa tidak cocok untuk tengah malam, mengonsumsi es krim di waktu ini juga dapat menumpuk kalori. Tapi untuk Diandra, es krim di tengah malam sudah menjadi bagian dari night routine-nya selama dua minggu ini, ketika pil tidur tidak juga mampu menina-bobokan tubuh dan pikirannya yang lelah setengah mati.

Gadis itu akan duduk di depan jendela apartemennya yang terbuka sembari menikmati berbungkus-bungkus es krim berbagai rasa, seperti malam ini, di jam dua dinihari ini. Ia suka rasa dingin yang memenuhi rongga mulutnya, satu-satunya rasa yang bisa ia terima beberapa waktu belakangan. Itulah yang Diandra lakukan hingga matahari terbit, menyambut hari pertama di mana ia memasuki usia kepala dua.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang