bagian 3: unexpected

87 12 4
                                    

Bola mata Dirga bergerak mengikuti perempuan dengan rok polkadot yang berjalan keluar kelas. Ia segera menyusul gadis itu setelah sukses melepaskan diri dari Bara dan teman-teman yang terus mendesaknya untuk ikut mabar game online.

"Gue gak tau kalo kita satu jurusan," ucap Dirga begitu kakinya yang panjang berhasil membawanya tiba di samping Diandra, tetangga apartemennya.

Keduanya berjalan bersisian di koridor gedung fakultas yang terasa lebih panjang dari biasanya bagi Diandra. Gadis itu mengabaikan Dirga yang mulai nyerocos, membicarakan betapa membosankannya kelas Pak Cipto, hingga betapa pemuda itu merindukan bakso murah meriah bikinan Mbak Lis di kantin FISIP yang tutup selama libur semester.

Dirga tidak menyangka dunia benar-benar sesempit ini. Tidak mengherankan jika mereka satu universitas, sebab penghuni apartemen yang mereka tinggali memang kebanyakan mahasiswa kampus ini. Tapi berada di jurusan yang sama? Pemuda itu tidak pernah menduganya. Maka ketika pagi tadi ia menemukan gadis dengan rambut tergerai itu berada di kelas mata kuliah yang sama dengannya, Dirga tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Seingatnya, ia tak pernah melihat Diandra di lingkungan fakultas. Lingkar pertemanan Dirga itu luas, hampir semua dosen dan mahasiswa dari berbagai angkatan jurusannya mengenal pemuda yang gemar mengulang mata kuliah itu. Keahlian mengocehnya juga membuat Dirga dikenal satpam kampus hingga Pak Nuh yang sering membersihkan perpustakaan, ia bahkan tahu berapa jumlah anak dari pria itu.

"Abis ini lo mau kemana?" tanya Dirga, menyudahi monolognya.

Diandra berhenti secara tiba-tiba, ia memiringkan tubuhnya dan menatap dingin manik hitam milik Dirga. "Gue gak bakal bunuh diri lagi, jadi jangan ngikutin gue. Gue gak butuh dikasihani."

Setelah hari itu, Diandra memang tetap menjalani hidup. Dirga sesekali berpapasan dengan tetangganya itu selama seminggu ini, membuktikan bahwa Diandra serius dengan ucapannya barusan.

Diandra menelan salivanya sebelum melanjutkan, "Akan lebih bagus lagi kalo lo gak berlagak kenal gue."

Untuk ukuran kalimat pertama, kata-katanya terdengar pedas. Tapi, bagi seorang seperti Dirga, kata-kata itu hanyalah angin lalu.

"Ini pertama kalinya gue denger suara lo," Dirga berdecak kagum. Bukan hanya karena ini kali pertama ia mendengar Diandra bicara, tapi kenyataan bahwa gadis itu mengingat dirinya.

"Gue gak lagi mengasihani lo," suara Dirga melembut. Ia mengulas senyum tipis.

"Gue cuma mau ngajak lo sekelompok sama gue buat matkul Pak Cipto," lanjutnya. Pemuda itu memberi jeda pada kalimatnya, mencari alasan.

"Gue gak ada yang kenal sama anak kelas lo," terang saja ia berbohong.

"Gue gak perlu kelompok."

"Gimana deh? Tugas kelompok ya mesti dikerjain secara berkelompok. Tenang aja, gue gak akan jadi beban kok. Hehe," ujarnya disertai cengiran yang menyebalkan.

Diandra berhenti lagi secara tiba-tiba. Ia baru saja akan kembali membuka mulut, namun ia memilih menyerah, menghela napas, dan pergi meninggalkan Dirga. Terserah pemuda itu saja.

Untuk hari ini, Dirga berhenti mengekori Diandra dan membiarkan punggung gadis itu menghilang di belokan.

°°°

"Lo belum ada kelompok kan Ga, buat tugas presentasi Pak Cipto? Gabung sama kita aja," ujar Dio di sela-sela suapannya.

Dirga dan sekelompok adik tingkatnya---Bara, Dio, dan Agam--- itu kini berada di kantin fakultas setelah Bara berhasil menyeret Dirga lagi untuk bergabung bersama mereka. Entah mengapa pemuda itu begitu terobsesi pada dirinya.

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang