bagian 2: cigarette

112 11 2
                                    

cw: percobaan bunuh diri, rokok

°°°

Sesuatu dalam diri Diandra menyeret kakinya hingga kini berdiri di atas tembok pembatas rooftop apartemen. Ia memang sudah menyiapkan hari ini matang-matang selama beberapa minggu belakangan. Termasuk menulis surat untuk papa dan kakak perempuannya, serta mengunjungi makam mama untuk kali terakhir kemarin sore. Namun, Diandra tak pernah berpikir bahwa ia akan memilih cara ini untuk mengakhiri hidup.

Gadis itu sedikit menunduk untuk melihat jalanan yang ada di bawah. Segala sesuatu terlihat kecil, dan lututnya terasa lemas. Ah, seharusnya Diandra cukup menenggak banyak pil tidur saja, atau sianida mungkin? Dia tidak akan merasakan sakit yang terlalu hebat. Tetapi jika begitu, tidak akan ada yang menemukan jasadnya nanti, sebab tak ada yang tertarik untuk mencarinya. Diandra tersenyum miris.

Ia memejamkan mata, melawan rasa takut sekaligus menikmati semilir angin sore bercampur polusi yang menyapa kulit dan menggoyangkan ujung gaunnya. Selangkah lagi, lalu tubuh Diandra akan terbang dan jatuh dengan kecepatan tinggi. Selangkah lagi, maka ia bisa bertemu dengan mama yang selalu ia rindui.

"Lo mau lompat?" suara yang datang tiba-tiba itu membuat Diandra tersentak dan kehilangan keseimbangan. Raganya pasti sudah menyentuh aspal di bawah sana jika pemuda gila yang mengagetkannya itu tidak menangkap dan menarik tubuhnya.

Diandra memejamkan mata dengan jantung yang masih berdegup, napasnya memburu begitu ia terjatuh di dada pemuda yang tengah melenguh kesakitan lantaran punggungnya membentur lantai rooftop dengan cukup keras. Keduanya bersitatap untuk beberapa sekon, sebelum akhirnya si pemuda menarik tangannya dari pinggang gadis berwajah dingin itu dan bangkit.

Diandra masih ngeri membayangkan berbagai kemungkinan jika saja ia benar-benar terjatuh beberapa menit yang lalu: apakah tulangnya akan patah? Ataukah tempurung kepalanya akan pecah? Tubuhnya akan hancur lebur?Memikirkannya saja membuat Diandra ngilu, melompat dari ketinggian ternyata bukanlah pilihan yang pas untuk bunuh diri. Atau, sebenarnya dia hanya terlalu takut untuk mati?

Sedangkan, 'penyelamat' yang tadi memutar-mutar sendi bahunya itu kini berdiri di samping Diandra dan menyalakan rokok. Ia menatap lekat wajah gadis yang berdiri bertumpu pada tembok pembatas, mata gadis itu menatap lurus udara kosong dihadapannya. Ia yakin bahwa gadis ini adalah orang yang sama dengan perempuan yang ia temui di lift semalam. Ingatannya kuat.

Kulit gadis itu putih pucat, dengan rambut hitam panjang yang menutupi kedua bagian samping wajahnya, kakinya yang telanjang tampak kotor lantaran menginjak lantai rooftop yang berdebu tanpa alas kaki. Sekilas, penampilan perempuan yang mengenakan gaun putih sebetis itu mengingatkannya pada sosok hantu dari salah satu urban legend Jepang yang terkenal, Sadako.

Diandra tidak risih dengan tatapan meneliti yang dilayangkan pemuda itu, atau mungkin ia tidak sadar karena sedari tadi ia sibuk sendiri dengan pikirannya. Gadis itu tidak bergeser sedikitpun dari titik ia berdiri.

"Lo gak apa-apa?" ia dengan tenang bertanya setelah mengembuskan asap pertama. Pertanyaan bodoh yang tak membutuhkan jawaban, karena anak balita pun tahu bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja hanya dengan melihat penampilannya. Diandra melirik, bukan pada lawan bicara, melainkan pada rokok yang diapit oleh jari tengah dan telunjuk si pemuda.

"Lo mau?" tawarnya, Diandra mengangguk.

Si pemuda mengeluarkan kotak rokok dari saku hoodie-nya dan menyodorkannya pada Diandra. Ragu, gadis itu mengambil sebatang. Laki-laki itu kemudian menyalakan pemantiknya untuk membakar ujung rokok yang kini terselip di belahan bibir Diandra.

Ada rasa manis saat lidah Diandra menyentuh ujung filter rokok, namun terasa mengganggu dan sesak ketika asap dari cacahan tembakau itu menjalar di tenggorokan dan rongga dadanya. Diandra sedikit terbatuk. Gadis itu tidak pernah mengonsumsi nikotin, ini kali pertama baginya.

Pemuda yang merasa lucu dengan reaksi gadis itu hanya terkekeh, "Jadi lo belum pernah ngerokok? How cute."

"Tapi lo udah cukup umur, kan?" Laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya untuk kembali mengamati Diandra. Wajah cantik gadis itu masih terlihat seperti bocah, walaupun netranya yang gelap terlihat menyimpan begitu banyak kesedihan dan beban.

"Gue Dirga." Merasa tak kunjung mendapat jawaban dari semua pertanyaannya, lelaki itu mengubah topik. Rupanya ia tipe lelaki yang tidak gampang menyerah.

"Kita ketemu semalem, kalo lo inget. Waktu di lift. Kardus," Dirga berusaha menata kalimatnya. Tentu saja, tidak ada reaksi dari gadis yang kini terlihat sudah cukup lihai dan terbiasa mengisap rokok itu.

"Gue baru pindah ke apart sebelah lo, in case lo butuh temen cerita. Gue ke sini cuman mau ngerokok, dan gak sengaja ngeliat lo," bebernya.

"..."

Dirga berhenti berceloteh setelah Diandra masih betah dengan bungkamnya. Keduanya merokok dalam diam, hanya ada dua kepulan asap yang saling beradu di hadapan mereka. Bara merah perlahan memendekkan puntung rokok mereka, seiring dengan langit yang mulai menggelap.

"It's alright to cry. Even my dad does sometimes," vokal rendah Dirga yang mengalunkan potongan lirik lagu gubahan Ed Sheeran itu akhirnya menghentikan kesunyian panjang di antara keduanya.

"So don't wipe your eyes
tears remind you you're alive
it's alright to die
cause death's the only thing you haven't tried
but just for tonight ... hold on."

RengatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang