I

7 1 0
                                    

Rintik-rintik air turun dari awan dengan abu-abu yang mendominasi. Kali ini, hujan kembali hadir diiringan gemuruh yang begitu keras. Kilat-kilat petir juga terlihat memenuhi sebentar kamar Gea yang penuh dengan kegelapan, melalui ventilasi jendela.

"AAKHHHH!" teriak gadis yang tersadar dari mimpi.

Keringat dingin mengalir, membanjiri tubuh perempuan yang berusaha mendudukkan dirinya. Dengan wajah pucat pasi, sang empu memandang sekeliling kamar lewat tatapan penuh keputusasaan.

"Sial, mimpi itu lagi!" gumam Gea sembari mengusap-usap wajahnya frustrasi.

Gadis itu kembali diingatkan dengan kejadian lampau satu minggu yang lalu. Ketika sahabatnya, Hana, harus kehilangan nyawa akibat sebuah ledakan.

Tangannya tanpa sadar meraih bingkai foto bercorak putih, menampilkan sepasang perempuan yang saling memeluk, tersenyum cerah seolah tak pernah merasakan kepahitan dunia.

Gea mengamati gambar itu dalam diam. Bisa dirasa jelas kehangatan terpancar dari senyuman Hana. Gadis itu ikut menyungging senyum, dengan memori lama yang semula terlintas sekarang mulai terekam jelas. Dadanya terasa sesak tatkala ia mengenang insiden itu.

Saat-saat dimana Gea tak pernah berhenti menitikkan air mata setiap kali mengingatnya.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃


Mulut Gea ternganga dengan tatapan mengarah pada kertas putih bertuliskan kunci jawaban yang terdapat di hadapannya. Kedua mata Gea juga sesekali melirik sang sahabat yang tersenyum dengan dada membusung.

"L-lo .... Lo dapet itu darimana?" tanya Gea kemudian, sambil menunjuk kertas yang tergeletak di atas meja. Hana menggeleng pelan, dengan bahu terangkat ia menjawab, "Siapa peduli, yang penting besok kita bisa dapet nilai sempurna!"

Nada bangga yang terucap oleh Hana, membuat Gea mengidik ngeri. "Nggak habis pikir gue sama lo, Han!"

Hana mengangkat kertas itu sambil meremasnya. "Ini, harus kita jaga baik-baik. Kalo ketauan, fix, satu sekolah bakalan ngejek gue!" dengan penuh penekanan di setiap kata, suruhan Hana hanya disambut dengan anggukan tak minat.

Gea kembali mengalihkan pandangannya ke novel yang sempat terjeda. Gadis itu membaca lekat dengan pipi kiri ditopang menggunakan telapak tangan yang searah, sedang satunya lagi ia pakai membalik halaman buku.

"Han .... Han .... Kantin, nggak?" yang dipanggil membalikan badan, memandang wajah yang tak asing bagi perempuan berusia tujuh belas tahun itu.

Dengan cepat, ia berlari menghampiri sekumpulan gadis berparas ayu. "Ayo! Sekalian gue mau ngeliat muka Dio."

"Eh, iya, udah lama juga gue nggak ngeliat, tuh, cowok," saut salah seorang dari mereka.

Yang lain hanya mengangguk setuju. Basa-basi itu berlangsung seperkian detik, sebelum sekelompok gadis remaja tersebut beranjak dari tempatnya semula.

Gea hanya bisa menyaksikan punggung Hana yang perlahan menghilang dari pandangannya. Gadis yang berstatus sebagai sahabatnya itu memang diketahui amat populer. Selain cantik, Hana kerap kali mengikuti berbagai lomba. Seperti membaca puisi, menyanyi, monolog, dan masih banyak lagi. Bahkan ia pernah terpilih sebagai kandidat ketua OSIS. Jadi, tak heran jika Hana begitu diagungkan di sekolah.

Berbanding terbalik, Gea justru merupakan siswa yang biasa-biasa saja. Tak pintar, berwajah oval dengan rambut bermodel bob layer, benar-benar tak ada yang spesial dari dirinya.

Namun, ada satu hal yang membuat Gea jauh lebih unggul melebihi Hana. Kulit putih milik gadis itu diam-diam membuat iri siapapun yang melihatnya. Tak terkecuali Hana, ia bahkan terang-terangan menampilkan rasa tak suka. Walau begitu, tetap saja, Gea takan pernah bisa menyamakan atau melebihi gadis populer itu. Selain tak berminat, ia juga sadar diri.

Bel masuk kembali berbunyi. Bu Endang selaku guru kimia mereka, tergesa-gesa menginstruksi siswa-siswi kelas XI IPA 4 untuk bersiap memasuki laboratorium yang identik dengan tabel periodik. Ketika siswa lain sibuk memilah barang-barang yang akan mereka bawa, Hana dan Gea justru berdebat untuk mengamankan kunci jawaban yang berada di tangan mereka.

"Dibawa aja, lah! Nanti ilang kalo ditinggal di kelas," usul Hana. Namun, Gea menentang keras hal tersebut.

"Lo gila?! Itu kunci jawaban, lho, Han. Nggak mungkin kita bawa-bawa. Kalo ketauan gimana?!"

"Nggak bakal, sini, biar gue simpen." Hana merenggut kertasnya, kemudian berlari menuju lab, meninggalkan Gea yang membisu dengan seribu kekhawatirannya.

Pandangan Gea terpenuhi dengan botol-botol kaca yang diberi label nama beserta alat-alatnya berjajar rapi, membuat kagum sang penikmat yang baru saja memasuki ruangan tersebut. Aroma aroma khas yang asing juga ikut menyambut perempuan itu.

"Lab kimia emang selalu keren, salut!" serunya riang.

Gea dengan senang berjalan menuju Hana. Meminta perempuan itu untuk pindah ke kursi di sebelahnya. Mata Hana memutar, dengan setengah hati ia mengindahkan permintaan Gea, membiarkan si sahabat untuk duduk di tempatnya semula.

Pelajaran kimia berlangsung sejak lama. Namun, tanda-tanda ketertarikan dari kedua sahabat itu sama sekali tak ditunjukkan. Hana memilih menggambar di belakang lembaran kertas berharga, yang satunya lagi justru asik mengamati benda-benda yang berada di sana dengan mata berbinar.

"Ini gemes banget," ujar Gea spontan. Retinanya menangkap takjub botol erlenmayer, yang mungkin sudah tak asing di mata sebagian orang.

Gea menyikut tangan Hana, menciptakan goresan panjang yang mengenai gambar perempuan itu.

"Ish .... Apa, sih?!" tanyanya berbisik. Gea menatap Hana sekilas. Jari telunjuknya kemudian terangkat menunjukkan botol yang berhasil membuatnya tertarik setengah mati.

Refleks, Hana mengikuti sesuatu yang ditunjuk Gea. Tatapan biasa yang semula diberikan gadis itu, mulai memincing kesal.

"Ya ilah! Gue kira ada yang penting." Gadis itu kembali berkutat pada gambar. Namun, rasa tak puas yang muncul membuat Hana merobek kertas itu menjadi dua bagian dan meremasnya hingga tak berbentuk.

Waktu berjalan dengan lambat, tentunya hanya bagi Hana. Untuk Gea, ia cukup puas berada di laboratorium selama satu jam lebih. Tentu, perempuan berambut pendek itu menikmatinya dengan menyaksikan benda-benda unik yang berada di ruangan tersebut.

Gea merasakan tangannya digandeng oleh seseorang. Sontak, kepala gadis itu menoleh. Menemukan sosok Hana dengan bibir mengerucut kesal. Gea menduga, Hana memasang air wajah bosannya. Ya, dari kecil, ia selalu begitu.

"Suntuk, ya, di lab?" tanya Gea basa-basi.

Benar saja, pertanyaannya mendapat anggukan pelan dari Hana. Gea mendesah gusar. Sembari tangannya menggenggam Hana, gadis itu membawa sahabatnya menyusuri kantin demi menghilangkan kejenuhan yang Hana rasakan.

"Nih, es teh lo. Gue traktir," Gea mengunci pandangan Hana dengan es teh yang berada di genggamannya. Perempuan itu dengan senang hati menerima pemberian Gea.

"Thanks," saut gadis itu. Gea mengangguk. Ia melirik penampilan Hana yang kini tampak cukup senang. Namun, gadis itu teringat lembaran kunci jawaban kalau matanya tak sengaja memandang pulpen yang berada di kantong Hana.

"Han, itunya mana?" kata Gea. Alis Hana bertemu ketika mendengarnya. "Itu apa?"

Gea meraba tengkuknya yang tak gatal sambil berujar pelan, "Kunci."

Mata Hana terbelalak. Ingatannya mengenai lembaran yang telah ia sobek tadi membuat gadis itu tersedak. "Ge .... G-gue ...."

●○●○●○●○

20.57Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang