●○●○●○●○
"Han, itunya mana?" kata Gea. Alis Hana bertemu ketika mendengarnya. "Itu apa?"
Gea meraba tengkuknya yang tak gatal sambil berujar pelan, "Kunci."
Mata Hana terbelalak. Ingatannya mengenai lembaran yang telah ia sobek tadi membuat gadis itu tersedak. "Ge .... G-gue ...."
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Dahi Gea menyerengit melihat Hana yang terbata-bata dengan ucapannya. "Gue? Gue apa?" tanya gadis itu tak sabar.
"G-gue .... Anu .... Itu ...."
"Apa, sih, Han? Yang jelas dong kalo ngomong!"
Hana melirik takut Gea yang memasang wajah curiga, sembari menggigit bibir bawahnya. "Sorry, Ge! Kertasnya nggak sengaja gue tinggal!"
Gea terdiam. Matanya membulat, disusul dengan bibir menganga tak percaya. "Lo tinggal kemana, Han?!"
Hana meremas rambutnya frustrasi, matanya juga berkaca-kaca. "K-kalo nggak salah, di lab kimia, soalnya itu tempat terakhir gue pegang kertasnya," lirihnya.
Gea menutup kelopak mata. Indra penciumannya mulai menghirup udara dan perlahan menghembuskannya. Ia mencoba setenang mungkin menerima kenyataan. "Oke .... Oke .... Setidaknya kita udah tau kunci jawabannya ada dimana," ujar Gea sembari menepuk tangan.
"Habisin minuman lo, kita harus ke lab kimia sekarang juga!" suruhnya.
Hana dan Gea bergegas menaiki anak tangga. Kini, kedua gadis itu dibalut rasa keresahan. Hana yang berjalan tepat di belakang Gea, tak kuasa menelan saliva karena perasaan bersalah yang membuat Gea ikut andil dalam hal ini.
"Han .... Gue bakal masuk ke lab, lo jaga depan pintu, okay?"
Suruhan itu mendapat anggukan dari Hana. Gea ikut melalukan hal serupa, kakinya kemudian melangkah sedikit demi sedikit menuju ke arah pintu lab.
Sebelum membuka, Gea melirik Hana, memberi kode agar gadis itu siap pada tempatnya.
Decitan pintu terdengar membuat Hana tak kuasa menahan senyum. Artinya, Gea berhasil memasuki laboratorium tersebut. Membuat ia tanpa sadar menaruh harapan besar pada Gea.
Semangat, Ge! Batinnya.
Berbalik ke Gea, kepala gadis itu tak tinggal diam. Ia mulai mencari ke penjuru laboratorium, tetapi nihil, tak ditemukan sesuatu yang mereka cari di sana.
Walau begitu, sang gadis tak berhenti melakukan pencarian. Gadis itu kembali menghampiri Hana, dan menanyakan tempat sahabatnya membuang kunci jawaban itu.
"Dimana, ya? Nggak inget, gue lupa!"
Gea memijat pelipisnya pelan. "Udah, lah, Han. Besok kita kerjain semampunya aja."
Hana menggeleng tak terima. Dengan air mata yang mulai menderai, perempuan itu tak ingin menghentikan semua ini. "Nggak! Nggak bisa. Pokoknya kita harus nemuin itu sekarang juga!" tegas Hana.
Gea tersentak. "Gue udah nyari itu di lab, tapi tetep nggak ketemu, Han. Kalo mau, lo bisa cari sendiri di sana."
"Plis .... Plis, Ge. Lo tau, kan? Besok ujian fisika. Gue nggak mau lagi dapet nilai jelek kayak tahun lalu!" Hana menggapai tangan Gea dan menaruhnya tepat di depan dada.
Gea menatap iba gadis di hadapannya. Dengan penuh pertimbangan, perempuan itu mengiyakan berpikir bahwa hal itu merupakan langkah tepat untuk saat ini.
"Oke, gue bantu cari, tapi--"
Perkataan gadis itu terjeda akibat keduanya mendengar teriakan yang berasal dari Pak Boni, pria tua berkumis putih yang telah menjabat sebagai penjaga sekolah selama dua puluh tiga tahun.
"Hei! Kalian berdua ngapain di sini?" ucapan yang menggunakan nada khas, membuat sahabat itu menunduk.
"Maaf, Pak. Barang kami ada yang hilang di sini." jawab Gea sesopan mungkin.
"Aduh, ya sudah, saya saja yang carikan barangnya. Bahaya kalau kalian, siswa-siswi yang masih usia belasan gini, masuk laboratorium kimia tanpa pengawasan."
Hana mendongak. "Nggak usah, Pak!" ucapnya spontan.
"Nggak usah cari?"
"B-bukan. Maksudnya, biar kita aja yang ambil," terang Gea.
"Kalau begitu, saya temani kalian masuk. Usahakan, jangan lama-lama kalian mencarinya."
Keputusan itu disetujui semua pihak. Hana kemudian masuk, ikut menyusul Gea mencari kertas itu.
"Tadi seinget gue di sini buangnya," katanya sembari menunjuk kolong meja yang mereka tempati tadi.
"Minggir." Tubuh Hana menyingkir, membebaskan Gea yang tengah menunduk, melakukan apapun yang perempuan itu mau.
Dengan cekatan, si gadis berambut pendek merogoh kolong meja. Sesekali matanya ikut memeriksa apakah terdapat sesuatu di sana.
"Gimana?" tanya Hana antusias melihat Gea yang bangkit dari posisinya semula.
"Nihil," ujarnya sambil berkacak pinggang.
"Bagaimana? Ketemu?" kata Pak Broto yang datang menghampiri keduanya.
"Belum, Pak."
"Nah, kan. Sudah, biar saya saja yang mencarikannya. Apa bendanya?"
Hana menggeleng. "Nggak usah, Pak. Benda itu sudah tak kami butuhkan. Terima kasih, kami pamit."
Setelah mengucapkannya, Hana menarik tangan Gea meninggalkan tempat itu. Tersirat rasa kekecewaan, kali ini bukan di wajah Hana, melainkan Gea.
Hati Hana berdenyut. Kesalahan bodoh ini membuatnya ingin berbaik hati memperbaiki segalanya.
"Ge .... Pulang sekolah, ada yang mau gue omongin sama lo."
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Gea menatap intens Hana yang masih bungkam. "Lo mau ngomong apa?" ucapnya memulai percakapan mereka.
Hana berdeham. Kemudian berkata, "Kita bakal ke lab nanti malem."
"Lo ngomong apa, sih, Han? Gue udah nggak mau, ya, berurusan lagi sama kelakuan lo yang konyol kayak gini," tegas Gea.
"Tapi, Ge, kita harus dapetin kunci jawaban itu!"
Gea bangkit dari posisinya yang semula duduk. Dengan tatapan kesal, gadis itu mencetus, "Lo gila, Han! Sampe segitunya, ya, terobsesi sama nilai?"
"Lho?! Kok, lo gitu sama gue? Gue kayak gini juga karena mikirin lo, Ge! Gue merasa bersalah sama lo!" tungkas Hana.
"Lo kira gue nggak tau? Pasti lo berharap juga, kan, sama kunci jawaban itu? Karena apa? Karena nilai ujian lo tahun lalu selalu jelek."
Napas Hana terengah selesai mengucapkan itu. "Intinya, kalo lo mau bantu gue nyari, hari ini pukul delapan malem, lo dateng ke sekolah."
Gea tak menjawab. Namun, Hana sudah pergi melaluinya. Gadis itu ditelan rasa bimbang, yang membuatnya tak bisa berkutik.
Pilihan mana yang bagus? Tetap diam atau membantu Hana? Batinnya.
●○●○●○●○

KAMU SEDANG MEMBACA
20.57
Mistério / SuspenseGea menyukai laboratorium Kimia, sebelum insiden ledakan yang merenggut nyawa Hana. Kejadian itu membuat Gea trauma dengan tempat tersebut. Gea juga tau, tragedi yang menimpa sahabatnya itu, menyembunyikan banyak kejanggalan yang tak diketahui publi...