Rumah

70 11 0
                                    

Langit berwarna biru dan hanya ada beberapa awan tipis yang membuat kamis siang itu cukup panas. Rizka meminum ice cappuccino-nya yang hampir tak tersisa disebuah café langganannya. Membuat suara yang tidak nyaman bagi yang mendengarnya. Beberapa pasang mata menatap kearah Rizka. Tidak terkecuali Windy yang sedang duduk disampingnya.

"Hei, Ka! Cuaca siang ini panas, kamu jangan membuat suasana hatiku juga panas. Kamu juga mengganggu orang lain tahu."

"Tugas kampus dari Pak Rico bikin pusing, ditambah ada sedikit masalah dengan komikku. Sepertinya, aku butuh refreshing." Keluh Rizka yang masih menggigit sedotan.

"Jadi, sekarang kamu lagi badmood gitu?"

Rizka membuang nafas kasar. Lalu, mengangguk.

"Aku baru ingat, bagaimana kalau kamu ikut mendaki akhir minggu ini bareng Laura?" Ujar Windy.

Masih menggigit sedotan, Rizka melihat Windy. Menyipitkan matanya. "Mendaki? Kurasa itu malah akan semakin merusak mood-ku" ucap Rizka dalam hati. Rizka membayangkan gunung yang sangat tinggi, tas yang berat, dan perjalanan yang ditempuh hingga berjam-jam.

Rizka merupakan seorang gadis berumur 20 tahun yang --biasanya cukup aktif. Jika sudah bergerak, maka tidak akan bisa berhenti. Jika sudah berbicara, maka tidak akan bisa diam. Jika sudah tertawa, maka tidak akan bisa mengecilkan suara tawanya. Tetapi, pada hari itu ia sedang badmood. Rizka menatap langit-langit cafe yang didekorasi cukup berkelas. Lampu gantung yang ditutupi dengan keranjang rotan dan beberapa daun yang terbuat dari plastik sebagai pelengkap. Beberapa detik, ia kembali melihat Windy.

"Kamu ikut?" Tanya Rizka.

"Kalau kamu ikut, maka aku akan ikut." Ucap Windy sedikit tersenyum.

"Baiklah. Siapa saja yang ikut?"

"Hmm... Kemarin kata Laura ada Roja, Rio, Yuda, dan Faiz."

"Apa masih bisa mengajak orang lagi?"

"Mau ngajak siapa?" Tanya Windy yang penasaran.

"Ashura." Jawab Rizka sambil memainkan sedotan yang dipegangnya.

"Wah, bagus tuh. Nanti aku masukkin kamu ke grup whatsapp-nya. Disana kita nanti saling sharing info."

"Oke."

Melihat jam dilaptop sudah menunjukkan jam 16.10, Windy menutup laptopnya. Memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tasnya. Begitu pula Rizka, mengemas barang-barangnya. Kemudian, mereka beranjak untuk segera pulang. Berjalan ke kasir. Membayar makanan dan minuman yang mereka pesan. Didepan café, mereka disambut oleh supir pribadi Windy. Membukakan pintu mobil. Sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Windy dan Rizka juga membungkukkan badan membalas hormat sang supir.

Windy, seorang gadis seumuran dengan Rizka merupakan seorang cucu dari seorang pemilik perusahaan besar yang ada dikota tempat mereka tinggal. Salah satu gadis paling populer dikampus karena fisik dan hartanya. Walau begitu, Windy bukanlah seorang gadis yang sombong. Ia juga tidak pernah memandang rendah orang lain. Berteman dengan siapapun, tidak memandang yang kaya, biasa, ataupun miskin. Windy berjalan memasuki mobil.

"Ka, ayo masuk." Ajak Windy.

Rizka sedikit mengangguk sambil tersenyum. Ketika hendak memasuki mobil, Rizka melihat ada seorang lelaki yang ia kenal duduk diatas sepeda motor tidak jauh didepan mobil Windy.

"Win, sorry ya. Aku pulang sama 'dia' aja." Kata Rizka sembari menunjuk lelaki tersebut.

Windy melihat kearah lelaki yang ditunjuk Rizka. Lalu, tersenyum.

Zwischen Uns (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang