Percaya?

20 5 2
                                    

"Kau-" Rio terkejut hingga hampir tidak dapat berbicara.

"Senior Rizal?" Kata Windy ketika melihat seorang laki-laki yang memegang busur panah.

Rizka yang melihat kedatangan empat orang tersebut memasang ekspresi tidak senang sama sekali. Marah. Bagaimana tidak? Mereka lah yang menembakkan anak panah ke punggung Ashura. Anak panah tersebut menancap cukup dalam. Ashura mendesah kesakitan.

"Jangan pura-pura kesakitan. Kau bisa menyembuhkan luka itu dalam waktu beberapa menit saja bukan?" Kata seorang perempuan dengan rambut panjang terurai.

"Adin, apa maksudmu?!" Teriak Rizka sembari membantu Ashura untuk berdiri.

Farah Adina. Biasa dipanggil Adin. Seorang mahasiswi yang ikut mendaki bersama Ashura sebelumnya.

"Rizka, biarkan Ashura duduk aja dulu. Anak panah itu masih menancap." Windy khawatir.

"Aku tahu. Tapi dia-" Rizka melirik Ashura.

"Kenapa kalian ada disini? Adin, Diva, dan kau Wahyu?" Tanya Ashura yang masih menahan rasa sakit.

Wahyudi Putra dan Diva Permata. Dua orang mahasiswa/i yang sebelumnya juga ikut mendaki bersama Ashura.

"Kami mencari mu. Karena pembunuh enggak boleh sampai bebas berkeliaran di hutan ini." Adin menyilangkan tangan di dadanya.

Wahyu menancapkan sebuah tombak ke tanah. "Dia benar." Lalu, meludah.

Rizka yang masih sangat marah, berjalan mendekati Adin dengan kepalan tangan yang siap untuk memukul wajahnya.

"Kau mau memukul ku?" Adin terlihat tenang dengan senyuman.

Rizka mengayunkan tinjunya. Namun, ditahan oleh Rizal. Tidak terima tangan kanannya di tahan, Rizka menendang tengkuk Rizal. Membuat nya tersungkur ke tanah dan tinju Rizka juga mengenai pipi kanan Adin disaat yang hampir bersamaan. Semua yang berada di tempat itu pun terkejut menyaksikannya. Kecuali, Ashura yang baru saja mencabut anak panah yang ada di punggungnya.

Rizka menatap Wahyu dan Diva. Wahyu seketika terlihat pucat. Sedikit menggeser kakinya ke belakang. Seolah tatapan dari Rizka menimbulkan shockwave. Diva tertunduk.

Rizal bangkit dari tanah. "Wah, baru kali ini aku merasakan tendangan seorang perempuan." Katanya sembari memegang tengkuk dan menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Sialan! Wajahku!" Teriak kesal Adin ketika baru saja bangkit. Terlihat matanya yang berkaca-kaca menahan tangis.

Rizka masih sangat marah. Kepalan tangannya tidak melemas sedikit pun.

"Cukup. Disini enggak ada rumah sakit." Ujar Ashura yang sedang di baluti perban oleh Windy.

Rizka mengatur emosi nya. Beberapa kali ia menarik nafas panjang, lalu membuangnya. Rizka berjalan menghampiri teman-temannya sembari membuka setengah resleting hoodie-nya. Mengibaskan tangannya. "Panas." Katanya.

"Kami menemukan sebuah gubuk. Kalian bisa bergabung dengan kami." Kata Diva yang dari tadi menunduk.

"Hei!" Teriak Adin.

"Enggak nanya." Rizka membuka hoodie-nya. Kemudian mengikatkan kedua lengan hoodie ke pinggangnya.

Diva tertegun. Ia melirik Adin. Seolah memberikan sebuah kode. Adin membuang nafas kasar.

"Ayo ikut! Kami punya banyak stok makanan." Adin mengajak Rizka dan yang lainnya dengan wajah yang terlihat kesal. "Oh ya, kecuali Ashura."

Rizka tersenyum kecil. "Kamu pikir kami-"

Zwischen Uns (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang