12. They Are Lost

2.5K 240 58
                                    

"Kita melakukan kesalahan besar, Draco."

Pandangannya mengawang jauh. Tubuhnya yang kurus makin terlihat kuyu dengan wajah pucat dan mata kosong menyiratkan rasa sakit yang bahkan sudah tak tergambarkan lagi bagaimana rasanya.

Di sampingnya, seorang pria juga hanya bisa duduk diam. Tak menyangka kalau ini semua bisa terjadi.

"Aku terlalu memaksakan apa yang sebenarnya bukan menjadi milikku. Sehingga aku kehilangan sesuatu yang memang sudah aku miliki sejak awal." napasnya berat. Jari-jari kurusnya saling bertaut gelisah. "Sialnya, aku baru sadar setelah aku kehilangannya."

Astoria sudah tidak bisa menangis lagi. Tubuhnya sudah teramat lelah dan sakit.

"Ruby.. hanya ingin pergi denganku, Draco. Dia hanya ingin aku. Tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaannya. Sampai akhirnya dia menyerah dan pergi sendiri." kini mata sayu itu menoleh, "Aku kehilangan dia."

Draco ikut menatap mata itu dalam diam.

"Kau tahu? Rasa sakitnya tak tergambarkan." Astoria kini menatap langit malam di depannya, "Aku sudah menerima hukumannya.

Ia menengadahkan kepalanya dan menutup mata, "Ruby.. aku baru sadar kalau dia adalah setengah jiwaku. Sekarang aku sudah mati, Draco. Aku akan hidup dengan semua rasa bersalah ini."

Wanita itu meraih tangan Draco dan menggenggamnya dengan tangan rapuhnya, "Maafkan aku."

Draco menggeleng, "Aku yang salah. Aku."

Kini Astoria mengangguk, "Ya, kau salah. Aku salah. Kita bersalah. Tapi aku tetap akan meminta maaf. Maaf karena sudah mengikatmu. Sebenarnya dari awal aku tahu, hatimu tidak sepenuhnya untukku. Aku tahu semua itu. Tapi aku tetap ingin berada di dekatmu. Aku tetap menahanmu."

Draco menyatukan tangannya pada tangan Astoria, "Aku juga minta maaf. Kalau bukan karena aku, mungkin kau tidak akan melewati semua rasa sakit ini."

Wanita itu memeluk Draco, "Kembalilah, Draco. Aku tidak mau kau merasakan apa yang aku rasakan. Jangan kehilangan mereka. Karena rasa sakitnya akan membunuhmu."

...

Pukul 11 malam.

Draco memasuki rumahnya yang anehnya masih menyala terang. Sehabis mengurus pemakaman Ruby, Draco membeli sekotak strawberry dan kue cokelat kesukaan Hermione dan anak-anaknya.

Kaki panjangnya melewati ruang tamu dan menuju kamar anak-anaknya. Namun mereka tidak berada di sana.

"Rose? Scorp? Hermione?"

"Rose dan Scorp ada di rumahku." sebuah suara datang mengejutkan Draco. Dilihatnya Harry Potter yang datang entah dari mana.

"Di rumahmu? Kenapa?"

Harry tak langsung menjawab. Matanya menyorot kesedihan yang amat dalam. Perlahan mata kelabunya melihat sebuah pintu yang terbuka sedikit.

Itu, kamarnya.

Tanpa berkata apapun lagi, Draco langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia mengernyit ketika melihat ayah dan ibunya berdiri di depan pintu itu. Menatapnya dengan tatapan yang sama ketika Harry melihatnya.

Jantungnya sungguh berdebar. Lebih masuk ke dalam, Ia melihat Ron, Ginny dan.. Theo?

"Apa yang terja-" kalimatnya terhenti ketika dia melihat Hermione yang terbaring di atas tempat tidur dengan kedua tangan terlipat di atas perutnya. Kedua matanya tertutup rapat. "Hey, Hermione? Kau kenapa?" Ia langsung berlutut di samping ranjang istrinya itu dan mengusap kepalanya.

"Ada apa ini?! Kenapa Hermione tidak bangun!"

Semuanya diam dan menunduk. Napas Draco jadi tak terkendali. Ia melihat Harry yang baru masuk, lalu meraih kasar jubahnya, "Hermione kenapa? Apa yang terjadi."

SkeletonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang