PIM-1

14.5K 2.3K 143
                                    


-Senyaman-nyamannya rumah mertua, lebih aman ngontrak rumah.-



Aku terbangun ketika mendengar suara berisik dari dapur, kulirik jam yang tertempel di dinding, pukul lima pagi. Sudah subuh, pantas saja ibu mertuaku sudah bersuara di dapur sana. Aku melirik tangan yang melingkari pinggangku, Mas Farzan masih tertidur lelap. Perlahan aku menyingkirkan tangannya, aku butuh ke kamar mandi karena kantung kemihku sudah penuh.

Hari ini hari Sabtu, jadwal ibu mertuaku di rumah ini. Rumah ini memang miliknya, walaupun sudah berulang kali ia mengatakan kalau rumah ini sudah menjadi milik Mas Farzan. Meskipun sudah dibalik nama menjadi atas nama suamiku, tetap saja aku merasa ini bukan milikku, ini tetap rumah waris, ada hak ibu mertuaku dan juga kakak-kakak suamiku di dalamnya.

"Mas, bangun subuh dulu," panggilku sambil mengguncang pelan tubuhnya.

"Jam berapa?" tanyanya dengan mata yang masih menutup.

"Jam lima lewat."

"Bentar lagi."

Aku mengembuskan napas. Aku sedang haid jadi tidak salat. Biasanya saat tidak ada ibu mertuaku, subuh begini aku masih bersantai, tetapi karena dia ada di rumah, terpaksa aku menjelma jadi menantu yang sok rajin. Aku membawa keranjang baju kotor ke bagian belakang rumah, melewati ibu mertuaku yang sedang sibuk di dapur.

"Nanti aja nyucinya, masih subuh," ucapnya yang sedang memegang pisau di tangan kanan dan bawang merah di tangan kiri.

"Nggak pa-pa, Ma," jawabku. Aku memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci satu lubang, kemudian menuangkan detergen dan pewangi pada tempatnya.

"Itu baju Mas Farzan yang putih jangan dimasukin mesin, cuci pakai tangan aja," perintahnya.

"Iya, Ma."

Aku memisahkan pakaian putih milik Mas Farzan dan merendamnya di dalam ember.

"Nyuci pakai mesin tuh nggak bersih, Om di sana tuh gitulah, nyucinya di laundry kalau nggak ada Mama, cuma wangi aja, bersih nggak."

Aku mengembuskan napas, entah sudah berapa kali ibu mertuaku mengatakan hal ini. Seolah-olah menyindir diriku yang mencuci menggunakan mesin. Memang apa salahnya memanfaatkan teknologi?

"Mama dulu, nyuci baju sampai dua ember, punya adik-adik Papa."

Lagi-lagi ia membahas ini. Mungkin ibu mertuaku ini ingin aku melakukan hal yang sama, tapi tolonglah, di rumahku dulu saja aku tidak pernah mencuci pakaian. Lalu, setelah menikah aku disuruh mencuci dengan tangan? Padahal urusanku mau mencuci pakai apa saja, apalagi mesin cuci ini kubeli dengan uangku sendiri. Catat ya, uangku sendiri, bukan uang anaknya!

Setelah menyalakan mesin, cepat-cepat aku langsung masuk ke kamar lagi, kalau tetap di sini, ibu mertuaku pasti akan ngoceh lebih panjang. "Tari mau sarapan apa?" teriak ibu mertuaku.

"Ada oatmeal, Ma. Tari makan itu aja."

"Diet lagi? Duh udah nikah ini jangan takut gendut, lagian diet-diet gitu, makan kayak nggak ada gizinya aja, gimana mau hamil."

Aku segera menutup pintu kamar. Selalu begitu, rasanya apapun yang aku lakukan di rumah ini selalu salah. Lalu soal kehamilan? Ah, sudahlah aku selalu sedih kalau mengingatnya.



Tiga bulan lalu...

Mas Farzan memegangi tanganku yang terasa dingin. Mataku nanar menatap layar yang menampilkan hasil USG-ku, janin yang ada dalam kandunganku tidak berkembang. Kata dokter aku mengalami hamil BO—Blighted Ovum—hamil kosong. Penyebab BO sendiri tidak bisa dipastikan. BO itu seperti undian, siapa saja bisa mendapatkannya. Bukan salah siapa-siapa, tetapi belum rezekinya saja, begitu kata dokternya.

"Saya resepkan obat peluruh, tiga hari lagi periksa lagi ke sini, kita lihat masih ada sisanya tidak, kalau masih ada kita akan melakukan tindakan kuretase."

Duniaku terasa hancur, dua bulan yang lalu aku merasa begitu bahagia karena bisa hamil. Tetapi kemarin aku merasakan perutku sakit sekali dan ada flek yang keluar, tidak menyangka kalau hasil pemeriksaan menyatakan aku hamil kosong.

Setelah selesai diperiksa dokter, aku pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus menangis tanpa suara, Mas Farzan berusaha menenangkanku, tetapi semuanya sia-sia, penghiburannya tidak akan mengembalikan anak kami. Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar, malas menghadapi ibu mertuaku, biar anaknya saja yang memberi penjelasan.

"Gimana? Tari beneran hamil, nggak?"

"Hamil, Ma. Tapi hamil kosong, kata dokter janinnya gak ada, nggak bisa berkembang."

"Kenapa itu? Makannya kali kan dia suka diet-diet."

"Udahlah, Ma. Belum rezeki aja."

Di dalam kamar, aku mendengar semuanya. Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel lalu menelepon ibuku.

"Halo, Nak?" sapa ibuku.

Aku tidak bisa mengatakan apapun kecuali menangis, di seberang sana, ibuku berusaha menenangkanku, tetapi aku hanya ingin menangis sejadi-jadinya. Rasa sakitku bertambah saat mendengar ucapan mertuaku itu.

***** 

Halooo... 

Kenalan dulu sama cerita baru. Ini yang aku posting di Instagram beberapa hari lalu. Ternyata banyak yang mau diposting dulu di Wattpad, kenalan sama tokohnya. Oke kalau gitu, monggo kenalan. 

Tapi aku nggak janji bakal upload sampai selesai ya, karena rencananya memang mau langsung dibukukan. Aku kasih tahu di awal biar nggak ada yang marah-marah huehehe... 


Happy reading...

Pondok Indah MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang