PIM-5

6.1K 1.1K 26
                                    




Dalam rumah tangga, wajar kalau ada pertengkaran. Mungkin yang hampir tidak pernah bertengkar itu keluarga Adam dan Hawa, selain karena tidak punya mertua dan ipar, saat itu Hawa juga belum mengenal uang belanja.

-Anonim-

Aku dan Mas Farzan tiba di rumah pukul delapan malam, saat memasuki rumah dan mengucapkan salam, Mama tidak menanggapinya padahal beliau sedang makan sambil menonton televisi. Hal ini menguatkan argumenku kalau Mama marah karena aku pergi ke rumah ibuku. Jujur aku kesal sekali dengan hal seperti ini. Setiap kali aku menceritakan pekerjaanku Mama seperti tidak ingin tahu, dia selalu mengalihkannya dengan menceritakan dirinya dan juga Om Yani tentu saja, sampai aku lelah sekali mendengarnya.

"Mama marah tuh," ucapku begitu selesai berganti pakaian dan berbaring di samping Mas Farzan.

"Nggak ah, Mama tuh lagi nonton tadi."

Aku menghela napas lalu memilih tidur membelakangi Mas Farzan.

"Yang, tadi Mas transfer uang ke kamu empat juta."

Aku berbalik ke arahnya. "Udah kasih Mama?"

"Kamu aja yang kasih."

Aku mengangguk dan kembali membelakanginya. Soal uang aku tidak perhitungan, kalau memang Mas Farzan ingin memberikan uang pada ibunya ya itu memang haknya. Sama sepertiku jika aku ingin memberi ibuku, itu juga salah satu alasan kenapa aku tetap harus berdaya secara finansial walaupun suamiku berpenghasilan. Tapi sayangnya ibu mertuaku yang katanya menganggapku sebagai anak kandung itu tidak mengerti dan tidak mau mengerti pekerjaanku. Baginya pekerjaan ya ada kantornya, dia tidak mengerti kalau sebagai konten kreator yang mempublikasikan video di Youtube itu bisa menghasilkan uang. Pakai dollar lagi dibayarnya.

Dia tidak tahu kalau kadang penghasilanku bisa lebih besar daripada Mas Farzan. Baginya wanita karier itu ya seperti Mbak Rena yang selalu dibanggakannya. Kadang ia sering menyindirku, mungkin ia selalu melihatku belanja. Secara tersirat ia mengatakan kalau harusnya aku menyontoh Mbak Santi yang hemat. Tentu saja Mbak Santi harus hemat, karena hanya Mas Hadi yang mencari uang dan penghasilan Mas Hadi juga tidak begitu besar. Malah bisa dikatakan pas-pasan. Mama tidak tahu saja kalau Mbak Santi sering WA ke Mas Farzan untuk minta uang.

Beginilah derita tinggal di rumah mertua. Bullshit kalau dulu Om Yani mengatakan kalau Mama itu tidak ikut campur urusan anaknya. Ah, aku jadi teringat betapa marahnya aku saat pembicaraan dengan Om Yani saat itu.

*****

Mas Farzan pulang hampir pukul sepuluh malam, ia harus lembur hari ini. Biasanya aku memilih untuk tidur, tetapi tidak malam ini, aku tidak bisa tidur sebelum mengeluarkan unek-unekku padanya. Kebetulan juga hari ini Mama pergi bersama Om Yani, menginap di Jurumudi.

"Kenapa belum tidur, Yang?" tanya Mas Farzan sambil membuka pakaiannya.

"Mas," panggilku pelan.

"Ya?"

"Mas keberatan nggak kalau aku sering ke rumah Ibu?"

"Nggak, kenapa sih?"

"Kenapa Om Yani keberatan? Dia siapa sih? Papa Mertua? Kan nggak diakui?" Aku mulai mengkonfrontasi Mas Farzan. Aku tahu Mas Farzan tidak salah, tetapi aku tidak tahan kalau memendam ini sendiri.

"Kenapa sih, Yang?" Mas Farzan duduk di sampingku, ia membawa tanganku ke pahanya lalu menggenggamnya. "Om Yani bilang apa?"

Aku menceritakan semuanya pada Mas Farzan, saking kesal dan marahnya kau sampai tidak bisa mengontrol air mataku. "Lancang dia bilang begitu, sedangkan Mas aja nggak pernah melarang aku. Aku ke rumah ibu itu karena itu ibuku! Dan kerjaanku memang ada di sana. Kenapa sih Mama nggak pernah mau ngerti kalau aku tuh kerja. Kelihatan kayak nggak kerja ya? Apa aku kayak istri yang foya-foya uang suami?!" teriakku kesal.

"Yang... sabar dulu."

"Mas harus bilang ke dia! Lancang banget dia bilang begitu. Dia nggak punya hak ya untuk bilang begitu ke aku." Aku tidak bisa lagi mengontrol emosiku. Aku tahu Mas Farzan tidak salah, tetapi aku tidak tahu lagi harus mengungkapkannya pada siapa.

"Om Yani itu nggak tahu kalau kamu kerja, makanya dia bilang begitu. Udahlah, yang penting kan Mas nggak pernah ngelarang kamu."

"Tapi dia lancang, Mas. Nggak ada hak dia ngatur-ngatur aku."

"Iya, Mas paham kamu marah."

"Mas harus ngomong sama dia, aku nggak mau ya diatur-atur apalagi posisi dia itu nggak jelas, dibilang mertua juga kok kayaknya nggak diakui," ceplosku. Untungnya suamiku ini tipe penyabar, alih-alih marah ia mengusap kepalaku dan menyandarkan kepalaku itu di bahunya. Sikapnya yang seperti inilah yang selalu membuatku luluh. "Dimaklumi dulu ya untuk kali ini, kalau nanti Om Yani ngomong macem-macem, Mas bakalan tegur."

"Kenapa nggak tegur aja, nanti dia kebiasaan, Mas! Atau Mas mau aku yang jawab omongan dia, biarin deh dikira kurang ajar. Orang kayak gitu harus tahu diri."

"Jangan lah, Yang. Nggak enak sama Mama. Udahlah kan dia juga nggak tiap hari ke sini."

"Aku nggak mau lagi ketemu dia ya. Benci banget aku sama dia."

"Jangan gitu, kalau ada dia kayak biasa aja, salaman terus abis itu mau masuk ke kamar ya terserah."

Aku masih belum bisa memaklumi semua ini. Dia yang bukan siapa-siapa saja mengatur-atur kehidupan rumah tanggaku. Lagipula selama suami mengizinkan, tidak masalah aku mau pergi ke mana pun yang aku mau. Pantas saja kalau dia tidak dianggap oleh Mbak Rena dan Mas Hadi. "Janji ya, kalau sekali lagi dia ikut campur masalah rumah tangga kita, Mas harus ngomong sama dia. Kalau nggak, Mas tahu kan aku gimana orangnya?"

Mas Farzan mengangguk. "Iya, Sayang. Iya," janjinya.

*****

Sejak kejadian itu Om Yani tidak pernah lagi bicara padaku, maksudnya aku yang menghindarinya agar tidak meledak. Dia sering datang ke rumah ini untuk menjemput Mama. Hubungan mereka ini benar-benar tidak sehat, Mama selalu ketakutan kalau para tetangga tahu kalau dirinya menikah lagi, belum lagi kalau ketahuan anak-anaknya, Mama benar-benar takut sekali. Mas Farzan pernah cerita kalau Mas Hadi marah besar saat tahu Mama menikah lagi, bahkan sempat ingin memukul Mama, tetapi akhirnya ia sudah minta maaf.

Menurut Mas Farzan, Mbak Rena dan Mas Hadi mengira kalau Mama dan Om Yani sudah berpisah. Mereka tidak tahu kalau si botak itu selalu datang ke sini, bahkan yang memilih cat dan interior rumah adalah Om Yani. Aku ingat sekali bagaimana Mama menjelaskan kalau cat warna biru yang menghiasii rumah ini adalah warna kesukaan Om Yani.

Jujur saja aku merasa Mama tidak menghargai almarhum Papa. Bagaimana pun rumah ini dibeli oleh Papa, hasil keringat beliau. Lalu setelah beliau meninggal, dengan seenaknya suami barunya datang masuk ke kamar yang dulu ditempati oleh Mama dan Papa. Membayangkannya saja membuatku jijik setengah mati.

Oh ya, menurut cerita Mama, Om Yani itu tidak menyukai Mbak Santi. Karena pernah saat lebaran mereka bertemu, lalu Mbak Santi membuang muka. Dari situ Mbak Santi dicap sebagai menantu kurang ajar.

Fakta lainnya tentang hubungan Mama dan Om Yani adalah, laki-laki itu tidak bekerja. Kata Mama sih dulu ia punya usaha, agen bawang yang memasok bawang merah, bawang putih dan bawang bombay ke penjual di pasar, lalu usahanya bangkut karena istri keduanya. Aku tidak tahu persis bagaimana peristiwa bangkrutnya terjadi, katanya sih, istri keduanya itu membawa lari uang Om Yani untuk selingkuh dengan orang lain. Jadi saat ini, Om Yani itu pengangguran. Aku jadi berburuk sangka apa selama ini Mama menyokong hidupnya? Secara Mama masih menerima uang pensiun Papa. Oh ya, Mama masih mendapatkannya, pernikahannya dan Om Yani secara sirih, jadi tidak ada buku nikah yang bisa menjadi bukti agar gaji pensiun Papa dihentikan.

Aku pernah menanyakan hal ini pada Mas Farzan, katanya sih tidak, Om Yani itu kan makelar tanah, terus dia juga berkebun, sepertinya uangnya sehari-hari didapatkan dari sana. Kalau menurutku wajar saja Mas Hadi mengatakan seperti ini, "Kalau Mama mau nikah lagi, kucarikan yang kaya, Ma. Jangan sama dia! Udah nggak kerja, istrinya banyak!" Tetapi Mama selalu mengatakan padaku, ia tidak pernah berniat untuk menikah, semua terjadi begitu saja. Sangat tidak masuk akal bukan? Memangnya saat menikah Mama dihipnotis?

Tetapi ya, aku bersyukur saja karena Mama menikah, itu artinya ia tidak 24 jam, tujuh hari di rumah ini. Bayangkan saja kalau tidak ada Om Yani, pasti aku lebih tertekan lagi.

****

Pondok Indah MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang