PIM-3

5.4K 1.2K 38
                                    



-Mertua yang tidak diakui, kadang jauh lebih merepotkan karena suka bertindak bossy.-

"Ma, aku sama Utari ke rumah Ibu dulu ya. Utari mau kerja," pamit Mas Farzan. Sementara mertuaku terlihat tak acuh, ia masih sibuk dengan ponselnya.

"Ma, pergi dulu," ucapku. Sama saja, tidak mendapat tanggapan. Aku mengembuskan napas dan mengikuti Mas Farzan yang berjalan menuju carport. Setelah masuk ke mobil dan mobil berjalan meninggalkan rumah kami, aku buka suara. "Kenapa Mama? Marah karena aku mau main ke rumah Ibu?"

Mas Farzan menoleh ke arahku. "Nggak lah, Mama tuh lagi sibuk baca Facebook."

"Nggak lah, masa kita pamitan aja nggak ditanggapi begitu."

"Udahlah, nggak usah dibesar-besarkan. Mama tuh nggak pa-pa."

"Bukannya dibesar-besarkan, Mas. Tapi memang Mama kayak nggak suka. Kenapa sih? Mama tuh ngerti nggak kalau aku juga ada kerjaan!" Emosiku mulai terpancing.

"Ya Mama tuh tahu."

"Oh ya? Tapi aku merasa sebaliknya. Kenapa karena aku nggak kayak Mbak Rena yang kerja kantoran, PNS di Kementerian gitu?" Rena adalah kakak perempuan Mas Farzan, ia memang bekerja di bawah naungan Kementrian Hukum dan HAM, lebih tepatnya bertugas di klinik yang ada di Lapas Anak. Hidupnya hampir sama dengan Talia, punya suami kaya raya. Tentu saja Mbak Rena itu selalu dibanggakan oleh Mama.

"Kok jadi melantur sih, Tar. Mama tuh nggak pa-pa. Kamu aja yang sensitif, lagi dapet kan?"

Aku tidak menanggapi pertanyaan Mas Farzan. Aku yakin sekali ibu mertuaku itu marah padaku karena aku pergi ke rumah ibuku. Ia tidak jauh beda dengan Om Yani. Ya, mereka punya kesamaan makanya bisa bersama, kan?

Dua minggu setelah menikah...

Aku mengembuskan napas sambil menyusun baju-bajuku ke lemari yang ada di kamar Mas Farzan. Selamat datang kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Bulan maduku sudah berakhir, dan seperti kebanyakan perempuan, aku harus tinggal mengikuti suamiku. Berat rasanya meninggalkan rumah dan ibuku. Apalagi ibuku sendirian. Tetapi, mau tidak mau aku harus turut suami, karena kata Ibu, surgaku sekarang ada pada ridhonya.

Sejak berpacaran dulu, aku memang sudah tahu kalau Mas Farzan akan membawaku ke rumahnya jika kami menikah. Karena, ibunya juga tinggal sendiri, dan dia satu-satunya anak yang tinggal di kota Tangerang ini. Kedua anaknya yang lain semua berada di luar kota. Mbak Rena tinggal di Bandung, sementara Mas Hadi di Klaten. Mas Farzan tidak mungkin keluar dari rumah ini, karena menurut mamanya rumah ini sudah balik nama menjadi nama Mas Farzan, yang otomatis ini adalah rumah Mas Farzan. Berulang kali ibu mertuaku mengatakan kalau ini rumahku dan Mas Farzan, meskipun aku tidak pernah ada rasa kepemilikan atas rumah ini. Bagiku ini tetap rumah waris, ada hak kakak-kakaknya dan juga ibu mertuaku di rumah ini.

Sebelum memutuskan menikah, Talia dan Sekar sudah memberitahuku tentang risiko tinggal di rumah mertua. Namun, aku dengan percaya diri mengatakan kalau aku pasti tahan, karena menurut Mas Farzan, mama akan lebih banyak menghabiskan waktu di Jurumudi daripada di Serpong. Karena mengurus nenek Mas Farzan yang sudah sepuh.

Namun, setelah kenyataan tinggal bersama mertua itu kuhadapi, aku merasakan ada yang aneh. Rumah ini terasa asing, bagaimana besok saat Mas Farzan pergi bekerja? Aku berdua saja dengan mertuaku di sini. Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu, aku yakin aku bisa akur-akur saja dengan ibu mertuaku.

****

Pagi hari, realita di mulai. Setelah salat subuh, aku menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, ternyata sudah ada ibu mertuaku yang sibuk memasak nasi goreng. "Kok udah bangun? Masih pagi lho ini," katanya dengan nada ramah.

"Nggak pa-pa, Ma. Mama masak nasi goreng, ada yang bisa Tari bantu?" tanyaku.

"Nggak usah, kamu duduk aja. Mama udah biasa ngerjain semuanya sendiri. Nggak pa-pa lho, kalau mau bangun siang. Mbak Santi juga dulu tinggal di sini bangunnya siang nggak pernah Mama marahin." Santi adalah istri dari Mas Hadi, yang menurut cerita Mama, pernah juga tinggal di sini, selama tiga tahun. Mama selalu bilang kalau dia mertua yang tidak pernah ikut campur urusan anak, buktinya Mbak Santi saja tahan tinggal dengannya, kalau bukan karena pekerjaan yang mengaruskan Mas Hadi pindah, pasti mereka masih tinggal di sini.

Membayangkan harus tinggal bersama mertua dan ipar membuatku bergidik. Aku lebih baik ngontrak daripada bercampur-baur seperti itu.

Beberapa saat kemudian, suamiku keluar dari kamar, ia mengenakan kemeja navy dan celana dasar berwarna hitam, pakaian yang aku pilihkan untuknya. Mas Farzan bekerja di PLN, aku bertemu dengan dirinya karena dikenalkan oleh temanku yang juga bekerja di sana. Mas Farzan ditempatkan di bagain legal—Divisi Hukum Korporat— sesuai dengan jurusannya waktu kuliah dulu.

Hari ini adalah hari pertama ia kembali bekerja, setelah menghabiskan cuti menikahnya. Artinya hari ini aku hanya berdua saja dengan mertuaku. Jujur saja, sejak kami berpacaran aku tidak terlalu dekat dengan ibu mertuaku ini, aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Tidak mungkin kan aku menghabiskan waktuku dengan di kamar hingga Mas Farzan pulang.

"Ini Mama masak nasi goreng," Mama menaruh piring di depan Mas Farzan. Aku berinisiatif membawakan minum untuk Mas Farzan, tetapi sudah didahului Mama. Perasaanku jadi tidak enak.

"Duduk aja, nih buat Tari," ucap Mama sambil menaruh piring nasi goreng di depanku. Aku mengucapkan terima kasih dan menyantap masakan Mama. Hambar. Tentu saja aku tidak mengatakan itu dengan lantang. Kata Mas Farzan, Mama itu hipertensi, jadi memang membatasi konsumsi garam. Tetapi, ini terlalu hambar.

"Mas pergi dulu. Ma, aku pergi dulu," ucap Mas Farzan padaku dan Mama. Aku menyalami tangan Mas Farzan, sementara Mas Farzan menyalami tangan Mama. Setelah Mas Farzan pergi, dapur menjadi hening, tetapi tak lama kemudian, Mama kembali bersuara.

"Tari, ada yang mau mama omongin." Mendengarnya, aku jadi panas dingin, apa kira-kira yang akan dikatakan oleh mertuaku ini.

"Iya Ma, kenapa?" tanyaku. Aku mengikuti beliau yang duduk di lantai sambil memetik sayur bayam.

Ia menatapku kemudian mengambuskan napas. Aku jadi makin senewen. "Terserah kalau Tari mau benci sama Mama atau nggak nerima Mama nanti setelah Mama cerita."

Oke, ini intro yang menarik, sepertinya Mama ingin menceritakan rahasianya. "Maksud Mama?"

"Mama udah menikah dengan Om Yani."

Aku menelan ludah, tidak terlalu terkejut. Karena sebelumnya aku sudah mengira-ngira hubungan Mama dengan laki-laki paruh baya yang sering aku temui setiap aku ke rumah ini. Awalnya aku mengira Om Yani itu adik dari Mama, tapi aku ingat Mas Farzan pernah bilang kalau adik Mama semuanya perempuan dan hanya punya satu saudara laki-laki dan itu kakaknya, dan tentu itu bukan Om Yani. Kecurigaanku bertambah saat Om Yani selalu ada di rumah ini saat rumah ini di renovasi, mengawasi tukang yang bekerja, bak tuan rumah. Aku pikir, adik mana yang berdedikasi tinggi sekali kepada kakaknya seperti Om Yani ini. Belum lagi dari cerita-cerita Mas Farzan, Mama selalu minta temani Om Yani ke mana-mana.

Tentu saja aku curiga, dan akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Mas Farzan saat kami belum menikah dulu, tentang siapa Om Yani. "Oh, masih saudara," jawabnya saat itu. Jawaban yang kurang meyakinkan buatku, karena ia seperti menutupi sesuatu. Ternyata kecurigaanku benar, Mama sudah menikah dengan Om Yani.

"Mama udah menikah empat tahun ini. Mbak Rena, Mas Hadi, Mbak Santi, bahkan adik-adik Mama semuanya nggak setuju," lanjut Mama dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Jujur saat ini aku bingung harus menanggapi apa.

"Cuma Farzan dan Pakde yang kasih restu. Mama dinikahkan sama Pakde, waktu itu anak-anak nggak ada yang tahu, Mama baru bilang waktu kami sudah menikah, sebenarnya Mama cuma bilang ke Farzan. Dia nangis, tapi akhirnya kasih restu. Beda sama Mbak Rena dan Mas Hadi, mereka benar-benar nggak terima. Padahal Om Yani tuh baik sekali, dia pacar pertama Mama. Kami tuh cinta lama belum kelar."

Dan aku semakin bingung harus menanggapi apa.

*****

Happy reading

Pondok Indah MertuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang