Perasaan ini tak akan pernah mau berubah, semuanya seakan tak mempan untuk diriku. Mencintai dirimu karena paksaan, adalah hal terburuk dalam dunia ini.
-
Langit berubah menjadi sedikit mendung, apa kabar langit diujung sana? Sudah lama ia tak berjumpa, dengan langit serta dirinya. Perasaan bahagia dibalut sedikit perasaan kacau, adalah hal yang wajar ia rasakan. Semua seketika menyatu dalam benak, sungguh berisik ketika hal ini terjadi. Benaknya menjadi berisik tak beraturan.
Kali ini, burung-burung kicauan di sore hari tidak hadir dalam harinya. Hanya suara petir serta rintik hujan berjatuhan. Jaket yang ia pakai masih membuat tubuhnya dingin, kopi hangat yang dibelinya pun terasa tidak berguna. Gatal rasanya, benaknya sedari tadi mengumpat untuk mengambil keputusan. Apakah ia harus terjun di rintik hujan kali ini atau tidak.
"Serius, belum mau pulang?" Benaknya berhenti berdebat, seketika menjadi sunyi. Kedua manik mata biru laut itu menjadi sorot mata pandang pertama, ketika ia berbalik badan ke belakang. Laki-laki ini, selalu. Selalu berada di belakangnya.
"Gelap," tak ada cahaya bersinar di belakang punggung laki-laki di depannya, gelap gulita. Hal paling menakutkan di dunia ini, ia menatap lekat ke arah belakang punggung Gojo.
"Kampus bentar lagi mau tutup, jadi jelas gelap. Lampunya dimatiin toh," laki-laki ini.
"Gue juga tahu, punya mata." Kedua manik mata hitamnya menangkap seulas senyum smirk laki-laki itu, sedikit. Untuk apa pula laki-laki ini menunjukkan hal tersebut. Ya, terserah dirinya saja.
"Ayo pulang, hujannya nggak bakal berhenti kalo lo yang mandangin." Ia mengangkat tubuh tinggi rampingnya, lantas segera pergi dari pandangan Gojo Satoru. Sudah dua minggu lebih ia, dan laki-laki bernama Gojo Satoru ini dekat tapi tak dekat-dekat sangat, mereka tidak menjalin hubungan-tidak sama sekali. Mereka hanya sebatas manusia, laki-laki yang mempunyai hubungan dengan kedua sahabatnya. Shoko Ieri. Suguru Geto.
-
Mereka tidak banyak berbicara, ah rasanya memang tidak ada pembicaraan. Hanya sebatas mengingatkan jangan lupa memakai seatbelt, dan arah jalan pulang-apartemen Utahime. Kedua insan berbeda gender dengan aroma kehidupan ganjil ini, sibuk dengan isi pikirannya masing-masing. Kalau dipikir-pikir memang lebih baik begini saja. Sunyi, nyaman bukan?
Telepon genggam Utahime berdering nyaring, suasana sunyi itu seketika menjadi mengejutkan. Reaksi Gojo sedikit lucu, kedua bahunya terangkat. Sebelum suara nyaring telepon itu mulai reda, Utahime sudah mengangkatnya. Ternyata dari sahabatnya, Ieri Shoko. Jujur saja, Gojo tidak terlalu memperhatikan. Ya, sekedar menoleh untuk melihat reaksi perempuan di sebelahnya. Datar, harapan apa juga yang diinginkan Gojo? Ingin melihat perempuan ini tertawa puas atau tersenyum bahagia? Coba saja.
"Jadi, kenapa?" Utahime menoleh sebentar ke arah laki-laki menyetir di sampingnya, belum ada beberapa detik sudah menoleh balik ke kaca jendela mobil. Memang apa menariknya?
"Tugas kampus," ketus Utahime. Gojo hanya ber-oh ria, tenggorokannya cepat sekali kering jika berbicara dengan Utahime. Bahkan seribu topik yang Gojo miliki jika berbicara dengan teman baru kampusnya, seketika cepat sekali habis-bersama Iori Utahime. Anggap saja ini tantangan, sudah seharusnya. Semangat!
"Lo tinggal sendiri?" Sunyi beberapa detik, sial jangan sampai Gojo menjadi gugup karena pertanyaannya yang diacuhkan (lagi, dan lagi). Kali ini berbeda!
"Ya, kenapa?" Ah, ada kesempatan! Jawaban apa yang cocok untuk pertanyaan kali ini? Gojo jelas bingung, hari ini otaknya bekerja lebih lama. Cepat, cepat dan cari jawabannya.
"Ah, nggak. Nanya aja, lo juga kerja paruh waktu, kan? Kalo nggak salah." Posisi duduk Utahime tiba-tiba berubah, kedua manik mata hitam pekat itu menatap wajah Gojo. Kalau begini, artinya apa?
"Lo tahu dari mana?" Mampus sudah, kegugupannya semakin bertambah. Sayangnya, pertanyaan itu mungkin akan menjadi bayang-bayang di mobil Gojo. Menunggu, adalah jalan satu-satunya bagi Utahime. Ia berani menunggu.
"Terima kasih, dan maaf kalo gue udah ngerepotin lo setiap hari." Gojo mengangguk di selimuti oleh senyuman manisnya, tangan kanan kekar itu berlabuh tepat di puncak kepala Utahime. Elusannya pelan, hangat. Utahime mengangkat wajahnya, menatap kedua manik mata biru laut, bibir pink kecil yang dimilikinya terangkat keatas. Sedikit.
"Sial, sial lama-lama gue bisa gila beneran. Kalo gitu gue pulang dulu, kalo ada apa-apa hubungin gue, oke!"
-
Tersisa satu tahun lagi, ia harus meninggalkan tempat berstatus kampus kuliahnya. Ia harus pergi dari sini, setelah itu melanjutkan hidup secara normal. Sebagaimana mestinya. Persis tiga tahun hidup di kampus ini, Utahime merasakan banyak rasa. Setidaknya ia tak harus mengeluarkan banyak tetesan air mata, segi positif yang sangat besar. Enam bulan, entah sudah berapa milyiar bahkan triliunan detik ia habiskan dengan laki-laki bermanik mata biru salju itu. Hidup tiga tahunnya berubah, dampaknya begitu besar.
Rasa cemburu, dan sedih selama beberapa bulan ini nyaman sekali menghinggapi benaknya. Alasan apa pula ia kembali merasakan rasa itu? Apa hal itu akan terjadi kembali? Mencoba untuk mengalihkan hal itu dalam pikirannya, malah membuat pusing. Semakin. Namun, ia rasa hari ini tepat hari ini. Dimana awal tahun akan menyambut dirinya lagi, kembali mengiringi dirinya untuk terus maju-akan berbeda daripada awal tahun sebelumnya. Satu pertanyaan bayang-bayang itu akan terungkap jawabannya, hal itu mesti menjadi pembukaan. Karena satu pertanyaan yang sebenarnya, hari ini (akan) terungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
another side - Gojo x Utahime.
RomanceBiarlah awal kita berjumpa begitu kaku, namun awal perasaan ini tak berujung kaku. Diriku ini begitu lemah ketika bertatap dengan dirimu, dimana perasaan itu masih diantara satu insan. Bagaimana caranya, agar dirimu mampu melihat diriku, tanpa harus...