Part 14

348 47 0
                                    

Matahari hampir mencapai atas kepala. Sinarnya sudah menerangi bumi hingga semut sekecil debu pun dapat dilihat oleh mata telanjang manusia. Aktivitas di sekitar berjalan seperti biasanya. Kini, justru banyak orang yang mempercepat kinerja mereka agar dapat keluar untuk makan siang lebih awal, atau setidaknya tidak melewatkan jam makan siang yang ada.

Panas yang terik membuat produksi keringat menjadi berlebih. Maka tak heran kalau melihat banyak pria maupun wanita yang memakai pakaian minim atau tipis di jalanan. Mereka bukan murahan, tapi karena kondisi cuaca-lah yang memaksa mereka untuk mengenakannya.

Dan disaat-saat seperti ini, penjual minuman dingin ataupun es krim akan laku keras.

Namun, hal lain justru terjadi pada orang-orang yang berada di dalam sebuah kamar hotel mewah ini. Lihatlah, salah satu dari ketiganya baru saja membuka mata dan mencoba mendudukkan diri, padahal hari sudah siang.

Ia mengedarkan pandangan ke sekitar; mencari jam. Lalu dilihatnya jam yang hampir menunjukkan pukul dua siang. Sontak ia membulatkan mata terkejut. Sudah siang? Oh God! Jam berapa semalam dirinya tidur?

Rambut di usak kasar dengan helaan napas panjang yang menyertai. Oh iya! Renjun!

Dengan cepat ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu ketemu-lah oknum bernama Huang Renjun di sisi kirinya yang sedang tertidur pulas. Lantas ia menghela napas lega. Ia sudah khawatir sekali kalau Renjun tidak akan pulang— karena Jaemin pikir, Renjun marah kepadanya.

Entah apa alasan yang membuat si manis  berpikir demikian. Tapi.. Tunggu!

"Kenapa wajah Renjun ada banyak lebam? Apa mereka berantem?" dipandanginya wajah Renjun lekat-lekat, guna memastikan apa yang dilihatnya kini tidaklah salah.

"Apa mereka berantem karena Nana?" Jaemin memasang ekspresi hendak menangis. Ia menolehkan kepala ke samping, dan melihat Jeno tengah nyaman dengan mimpinya. Entah bermimpi apa.

Tangannya tergerak mengguncang tubuh kekar Jeno, dan tak lama setelahnya, Jeno nampak mengerjap pelan. Ia berpikir jika ini masih malam hari— tidak melihat adanya sinar matahari yang menyilaukan mata menembus jendela transparan— dan berniat untuk melanjutkan tidurnya sebelum sebuah tangan kembali mengguncangkan tubuhnya dengan kuat.

Jeno mengerang protes, dan akhirnya membuka mata dengan kerutan tajam di dahi. Baru saja ia hendak melontarkan kata-kata mutiara sebelum retina-nya menangkap siluet sosok kelinci manis kesayangannya. Lantas dengan cepat ia mendudukkan tubuhnya, yang berakhir dengan erangan yang keluar dari mulutnya. Kepalanya sangat pusing seolah dihantam oleh palu! God!

"Sialan!" desisnya lirih.

"Ada apa, Jeno?" Jaemin memegang bahu Jeno dan memberikan remasan kecil di sana. Ia memandang dengan raut khawatir.

"Enggak papa. Gue aja yang ceroboh." ia mendongak, memberikan Jaemin senyuman lebarnya. Padahal, yang asli ia tengah menahan denyutan di kepala yang semakin menjadi.

Refleks yang menyebalkan!

Jeno lalu menoleh ke samping dan mendapati Renjun yang tengah tertidur. "Tu makhluk belum bangun?" tunjuknya pada Renjun yang ditanggapi anggukan oleh si manis.

"Apa kalian berantem lagi? Apa karena Nana? Hiks,, jangan berantem! Marahin aja Nana, hiks." ia memukul pelan lengan Jeno dengan tangis yang semakin menjadi.

"Na, kita gak berantem. Berhenti nangis. Gue gak suka liat lu nangis kek gini." Jeno meraih Jaemin dan membawanya ke dalam rengkuhan hangat.

"Jeno bohong, 'kan?"

"Enggak, gue gak bohong. Serius. Tanya aja sama si bocil ini."

/Plak/

"Heh! Cil! Bangun anjing!"

Erangan keras terdengar, yang kemudian berganti menjadi ringisan lirih kala luka di wajah tergores kain bajunya.

Renjun membuka mata perlahan, dan pandangannya langsung jatuh pada Jeno yang hampir melayangkan tangan untuk memukul lengannya lagi. "Kalo mau ambil piso aja sekalian." sinisnya, menghentikan Jeno dari aksinya hendak memukul.

"Ya abisnya lu gak bangun-bangun. Siapa suruh. Gue gaplok lah." balas Jeno enteng.

"Nih, kasih penjelasan ke Nana. Gak usah bikin ulah lagi lu ye! Udah cukup dramanya. Mo mandi gue." katanya lagi dengan kaki yang melangkah menuju kamar mandi.

Se-perginya Jeno ke kamar mandi, suasana di antara dua anak adam ini menjadi canggung. Renjun sadar kalau ada bekas air mata di wajah Jaemin. Dan ia juga paham kalau maksud dari perkataan Jeno tadi itu Jaemin sudah melihat lebam di wajahnya.

Sial! Padahal ia sudah berniat untuk bangun lebih awal agar Jaemin tidak melihat lebam di wajahnya. Tapi apalah daya, rasa lelah lebih mendominasi.

"Na, maafin gue ya? Gue gak tau kalo Nana nungguin gue balik. Maaf juga kalo kata-kata gue kayak orang lagi marah kemaren. Gue enggak lagi marah, kok. Cuma lagi buru-buru aja, jadi enggak fokus dan gak sengaja ngomong pake nada kayak gitu." ujarnya sembari meremas jemari Jaemin yang ia genggam.

Jaemin tersenyum tipis, satu tangannya ia tumpukan di atas tangan Renjun dan membalas remasan sang dominan. "Enggak papa, Injun. Nana ngerti, kok. Maaf kalo udah buat kalian khawatir. Nana enggak bermaksud kayak gitu."

"Tapi wajahmu kenapa? Kamu berantem sama siapa? Tadi aku udah tanya Jeno, tapi Jeno bilangnya gatau dan enggak berantem sama Renjun. Terus luka-luka ini karena apa?"

Renjun meraih tangan Jaemin, "Ini bukan apa-apa. Gak usah khawatir kayak gitu." ujarnya sembari memberikan remasan pelan. Tangan Jaemin terasa hangat, berbeda dengan tangannya yang terasa dingin.

Entah hanya perasaannya saja atau bagaimana. Tapi, ia merasa sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu demam. Tunggu sebentar."

Jaemin beranjak menuju kopernya dan tampak mencari sesuatu di sana. Sementara Renjun memandangnya dalam diam. Kepalanya tiba-tiba berdenyut menyakitkan, dan suhu tubuhnya meninggi. Oh God! Ini buruk.

Alarm merah sudah berbunyi di kepalanya. Tapi ia bahkan tidak bisa beranjak atau bergeser dari tempatnya saat ini. Tubuhnya justru terasa seringan kapas dengan mata yang perlahan mulai memanas.

Tunggu! Ada apa dengannya? Kenapa sampai seperti ini?

"Renjun!"

Dan pekikan nyaring Jaemin menjadi hal terakhir yang Renjun dengar sebelum gelap menjemput.

To be continued

[2] My First And Last || Nominren ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang