Part 16

336 35 1
                                    

Setelah kemarin beristirahat seharian penuh, kini Renjun sudah sepenuhnya sehat. Demamnya sudah turun dan kepalanya tidak lagi pusing. Tapi ada satu hal yang mengherankan bagi dirinya.

'Kenapa ayah tidak menghubungiku lagi?'

Saat sedang melamun, Jeno datang dan membuyarkan lamunan lelaki Huang ini.

"Jangan ngelamun. Kesambet mampus lu."

"Gak usah nyumpahin juga sialan!"

Jeno mengendikkan bahu acuh, "gak tu. Berarti lu kerasa." katanya.

"Lu—"

"Ya! Gak usah berantem! Ini masih pagi demi Tuhan! Kalian itu! Beres-beres aja sana gak usah berantem." Jaemin mendorong tubuh keduanya menjauh mendekati koper.

"Lah, gue 'kan udah beres-beres semalem. Tu si bocil yang tidur mulu dari kemaren! Beres-beres sono, kunyuk!"

Untung saja Renjun memiliki stok kesabaran lebih sehingga tidak membalas pukulan Jeno.

'Sabar, Renjun. Sabarrr. Sabarr ngadepin anak setan kek Jeno."

//

Jadwal penerbangan mereka pukul sepuluh pagi. Dan kini mereka sudah berada di dalam pesawat yang tengah terbang menuju ke Benua Eropa.

Seulas senyum tipis terpatri di bibir. Hal yang sudah Jeno nanti-nantikan akhirnya terlaksana juga. Sebab, ia sudah tidak bisa menunda hal ini terus-menerus. Ia haruslah profesional dalam pekerjaan dan bertanggung jawab atas janji yang sudah ia buat bersama sang ayah.

"Renjun kenapa kok senyum-senyum terus?"

Si empu menoleh menatap Jaemin yang memandang dirinya penuh tanda tanya. "Gak papa. Cuma nyokap yang ngirim pesen ke gue aja." balasnya.

"Lu akrab sama nyokap lu?"

Renjun menaikkan sebelah alisnya bingung. "Lah, kan itu nyokap gue, ya kalik gue gak akrab. Waras lu?"

"Ya maksud gue 'kan gue kira lu ada problem sama keluarga lu." balas Jeno sembari mengendikkan bahu.

"Cuman bokap, gak sama nyokap. Karena ya, gara-gara nyokap gue bisa sampe kayak sekarang ini."

"Maksdunya?"

"Gak papa. Cuma cerita panjang yang gak menarik sama sekali." balasnya sambil mengusak rambut Jaemin.

"Oh ya. Na, lu gak jadi jalan-jalan ya? Padahal gue udah janji mau ajak lu jalan-jalan."

Jaemin tersenyum kecil, lalu menjawab, "Enggak papa. Jeno udah janji kok sama Nana kalo kita bakal ke sini lagi kapan-kapan terus jalan-jalan bareng, hehe." ujarnya dengan tawa kecil yang mengalun.

"Suatu saat juga kita bakal balik ke sini lagi." kata Jeno sembari menyesap kopi panas di tangannya.

"Gue paham."

//

Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari lamanya di China, ketiganya kini tengah berada di bandara Perancis. Negara yang Jeno maksudkan adalah di sini. Di negara ini, Jeno sudah menyusun dan melengkapi semua fasilitas yang ada. Bahkan, gedung perusahaan yang akan ia urus sudah berdiri kokoh sejak dua bulan yang lalu— sesuai kesepakatan yang terjalin antara Jeno dengan orang tuanya.

Kesepakatan yang rumit dan hanya Jeno dengan orang tuanya-lah yang tahu.

Se-keluarnya dari bandara, sudah ada seorang sopir yang menunggu kedatangan mereka. Ia menyambut kehadiran mereka bertiga hangat, terlebih sempat memanggil Jeno dengan sebutan 'Tuan' guna menghormati sang majikan yang baru ditemuinya secara langsung.

Di sepanjang jalan, Renjun juga Jaemin sudah sampai ke alam mimpi. Sepertinya mereka kelelahan, terlebih Renjun yang baru sembuh dari demamnya. Jeno memaklumi itu. Ia membenarkan seatbelt keduanya agar tidak jatuh saat ada guncangan.

"Uncle, have you lived in the mansion?" ujar Jeno memulai pembicaraan di antara mereka.

"Yes, sir. Thank you for your generosity sir." balas sang sopir dengan senyum yang merekah.

"Has everything been okay so far? I didn't have time to visit here because I was busy." tanya Jeno lagi, kini dengan sedikit mengeluh akan hidupnya.

Sang sopir tersenyum tipis sebelum menjawab, "Sir calm down. Everything goes the way you want. Nothing misses your mark. And I thank you because you sent several bodyguards to guard the mansion before you got here, so that nothing untoward happened." jelasnya panjang lebar.

"It's good that all is well."

"Is there a long way to go?"

"No, sir. We're almost at the mansion."

"More quickly, Uncle. A friend of mine has just recovered from his illness this morning."

Sang sopir mengerti. Ia lantas menekan pedal gas dan melajukan mobil lebih cepat dari semula. Hingga akhirnya mereka sampai di mansion Jeno. Mansion yang sudah ia bangun dengan hasil keringat sendiri.

Jeno membangunkan Renjun dan Jaemin yang terlelap, sementara sang sopir sudah mengeluarkan beberapa koper dari bagasi untuk ia bawa masuk ke dalam mansion, yang tentunya sudah mendapatkan izin dari Jeno pula.

"Ungh.. Udah sampai?" lenguh Jaemin dengan tangan yang menggosok-gosok matanya.

"Iya, udah. Ayo bangun." Jaemin mengangguk dengan mata yang setengah terpejam seraya menguap. Ah, ia masih mengantuk! Hanya ranjang yang terbayang dalam kepalanya.

Karena melihat Jaemin yang berjalan lunglai seperti orang mabuk, Jeno lantas menghampirinya lalu menggendong tubuh kurus itu ala bridal style menuju mansion. Sementara itu, Renjun di belakang menyusul langkah Jeno yang terbilang cepat— atau mungkin dirinya saja yang lambat akibat dari bangun tidur?

Ah entahlah, tapi yang pasti ia merasa sedang tidak baik-baik saja saat ini. Jadi ia harus cepat-cepat bertemu dengan ranjang agar tidak merepotkan orang lain lagi.

Lalu, saat melihat Jeno masuk ke dalam sebuah kamar, Renjun berhenti dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah— mencoba mencari kamar kosong untuk ia singgahi.

"Masuk." tapi perkataan Jeno membuyarkan atensinya. Ia menatap Jeno dengan tatapan bertanya.

"Jangan kek orang tolol ngapa, cil. Sini masuk. Atau mau gue tendang keluar ke jalanan?"

Dan tanpa diperintah dua kali Renjun langsung masuk ke dalam kamar yang tadi Jeno masuki, karena Jeno sudah melakukan pemanasan untuk mengangkat tubuhnya— mungkin.

"Terus gue tidur di mana, setan?!"

"Mata lu picek apa gimana sih?! Ranjang segede gaban masih gak keliatan?! Kalo rabun tu bilang, ntar gue beliin kaca mata kuda!"

"Si kampret! Lu kira gue hewan, hah?!"

"Lah, emang kuda tu manusia? Bego jangan di telen, bocil. Dah sono tidur. Banyak bacot gue lempar lu dari balkon biar diem."

"Itu namanya lu bunuh gue, setan!"

Tanpa menghiraukan teriakan Renjun yang memekakkan telinga, Jeno keluar dari kamar menuju dapur. Ia haus dan butuh makanan juga. Dari pada meladeni Renjun yang tidak ada habisnya, lebih baik ia menghabiskan waktu di dapur untuk makan dan menanyakan beberapa hal kepada kepala pelayan.

Di saat sedang menikmati makanannya, Jeno menggebrak meja dengan cukup kencang hingga beberapa maid di sana terkejut dan menghampirinya.

"What's wrong, Sir?"

"Sialan!"

To be continued

[2] My First And Last || Nominren ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang