PART 9 : PANIC

208 37 32
                                    

Hallo, guys.

Maaf ya telat lagi hehe. 

Semoga next time bisa sesuai jadwal update ya, sebenarnya tuh kemarin draft part 9 udah ready tapi aku perlu edit beberapa hal biar nggak ngebosenin banget karena ini part lumayan panjang ya menurut aku. Takut jadi nggak enak dibaca kalo pemilihan katanya monoton.

guys? sadar ngga sih ternyata update part sebelumnya aku salah ngetik part wkwk. harusnya masih part 8 udah aku tulis part 10 wkwk. Ini udah aku ganti, belum lama sadar.

So, untuk part ini mohon tenang dan jangan ikut emosi aja sih.

Jika berkenan tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya, itu juga yang kadang bikin semangat buat mau lanjutin ini kisah hehe. 

soooo, happy reading ya. 

Gue panik!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue panik!!!

.

.

.

.


Beberapa bulan berlalu....


---YURI

Aku menahan napas sejenak, mencoba menguatkan diri, rasanya semuanya tampak seperti mimpi. Kulihat nisan yang masih terlihat baru meski nyatanya sudah seminggu terpasang. Tangan lemahku meletakkan sebuket bunga di atas gundukan tanah merah yang sebentar lagi akan diberi keramik itu, mengelus nisannya sekali lagi.

"Pa? Ini Yuri. Sama.... a-nu... ini.."

Aku tiba-tiba terbata, sulit mengucapkannya.

"Sama Saga, om" sahut saga yang kini ikut berjongkok di dekat gundukan tanah dimana papaku disemayamkan. Aku masih tidak menyangka, justru saga yang mengajakku kesini lagi.

"Papa seneng nggak akhirnya Yuri kesini lagi? Hehe udah kangen soalnya..."

"Nggak om, bohong. Saga yang ajak..."

Aku menahan tangisku, entah sejak kapan Saga jadi sedikit jahil meski memang masih cuek saja. Heran.

Dengan sedikit berjinjit, aku mencium nisan papa, merasakan cairan bening turun ke pipi. Menghangat, membasahi wajahku.

"Ini...."

Tiba-tiba tangan Saga menyodorkan sesuatu, membuatku mundur dan menatap mata sipitnya yang akhir-akhir ini jadi makin sipit karena ikut begadang di acara pemakaman papa, mengurus semua hal soal kepergian papa. Belum dia juga masih mengurus pekerjaan.

Aku tahu pasti dia lelah, tapi sungguh setidaknya untuk sementara waktu dia tidak menjauhiku. Benar-benar berada di sisiku.

Mungkin kasihan saja,
Tidak benar-benar peduli padaku.

"Apaan?" tanyaku, sembari menerima surat warna pink kecil itu.

"Dari Om Arman..."

Dahiku berkerut, dia masih menatapku lurus. Kini arah mataku tertuju pada amplop kecilnya, membukanya buru-buru dan perlahan membaca,


"Anakku, Yuridhista. Kalau surat ini sudah kamu baca, tolong tersenyum ya.

Papa tahu Yuri putri papa yang paling kuat dan tegar. Gadis papa yang paling mandiri dan ceria. Papa sangat bangga punya Yuri. Papa tidak yakin apakah surat ini bisa ditulis dengan rapi, napas papa makin tersengal, batuk papa makin menjadi.

Ketika papa menulis ini, kamu sedang menunggu papa di rumah sakit, dengan setia menjaga papa sampai tertidur di samping ranjang rumah sakit yang papa tempati.

Nak, papa mungkin sudah tidak ada disisi kamu saat kamu baca ini, surat ini sengaja papa titipkan pada manusia yang mungkin akan munguatkan kamu entah sementara atau entah selamanya.

Papa tidak akan tega kalau mama baca ini duluan, maka biarlah kamu yang sampaikan pada mama soal surat ini. Nak, tidak semua hal di dunia ini harus kamu miliki, kamu boleh berjuang tapi tolong jangan biarkan kamu sakit sendirian. Kamu terlalu berharga untuk menahan semuanya sendiri, jika ingin berhenti. Berhentilah.

Nak, semoga ini tidak membebanimu ya.
Tapi Papa benar-benar titip mama, dia permata paling berharga selama hidup papa.

Senyumlah nak, papa akan lega jika kamu tersenyum.

Salam sayang.
Papa."

Aku menelan ludahku pelan, bagaimana aku bisa tersenyum saat paragraf pertama saja sudah amat menyanyat hatiku. Perih sekali hidungku, rasanya kepalaku pening. Cairan bening mengalir deras, isakku terdengar begitu keras. Hingga tangan Saga menepuk pundakku, aku tetap tidak bisa menahannya.

Aku merasakan Saga mengenggam lenganku kuat, seakan tidak membiarkan badanku tersungkur ke tanah.

Surat itu jatuh.
Aku bahkan merasakan tubuhku juga jatuh.
Lemas, pening.
Napasku tersengal. Kurasakan semuanya blur untuk sekian detik setelahnya pandanganku jadi sangat hitam.

Gelap.

Pa? Yuri nyusul aja, boleh?

---YURI POV OFF

SAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang